Wisata Kalsel
Taman Hutan Raya Sultan Adam Asyik Buat Jalan-jalan, Tapi Sinyal Handphone Susah Amat!
Taman Hutan Raya Sultan Adam di Kabupaten Banjar menjanjikan keasyikan buat jalan-jalan santai. Sayang, sinyal handphone susah banget di sini!
TRIBUNNEWS.COM, MARTAPURA - Berwisata naik bukit sembari menikmati keindahan alam dan melihat bangunan peninggalan Belanda di Kalimantan Selatan bisa Anda dapatkan di Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.
Hutan seluas 112.000 hektar ini memiliki banyak pepohonan dan jalurnya menanjak berupa bukit.
Di sekitarnya banyak perbukitan seperti Bukit Pamaton, dan sebagainya.
Secara administratif, Tahura Sultan Adam ini berada di Kabupaten Banjar meliputi Kecamatan Aranio dan Karang Intan serta Kabupaten Tanahlaut meliputi Kecamatan Pelaihari, Batu Ampar, Jorong dan Kintap.
Di hutan yang luas, pengunjung bisa menemui berbagai jenis tumbuhan khas hutan Kalimantan seperti meranti, ulin, kahingai, angsana, damar, pampahi, kuminjah laki, keruing, mawai, jambukan, kasai, mahoni, trembesi, dan sebagainya.
Di sana juga banyak hewannya seperti bekantan, rusa, elang, owa-owa, lutung merah, beruang madu, landak, kancil, kijang mas, dan sebaginya.
Di sana ada penangkaran rusa.
Ada beberapa ekor rusa dan ayam yang dipelihara di sana.
Binatang-binatang ini bebas berjalan-jalan di area penangkarannya.
Dulu di sana juga ada binatang buasnya namun sekarang sudah tak ada lagi karena ramai dikunjungi wisatawan dan ada perkampungan warga sehingga aman untuk dikunjungi.

Papan nama Taman Hutan Raya Sultan Adam di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.
Udara di sana cukup segar, walau tak sesegar hawa pegunungan atau perbukitan di Jawa.
Daerah ini banyak anginnya.
Sinyal telepon sangat susah di sana.
Terdengar sekali desau angin menerpa dedaunan dan sesekali diselingi suara merdu burung-burung yang terbang bebas di sana.
Perbukitannya tampak hijau, namun ada juga di bagian lainnya yang tampak gundul karena pepohonannya ditebangi.
Jalan menanjak di Bukit Tahura ini mulus beraspal.
Tanjakannya ada yang curam ada juga yang landai.
Memasuki wilayah ini, ada simpang tiga.
Ke kiri, wisatawan disambut dengan beberapa bangunan pos pemantau hutan, musala, beberapa pendopo, warung, taman dan tempat outbond serta wahana permainan anak-anak.
Jika ke kanan, merupakan jalur pendakian dengan jalan beraspal.
Panjang berkilo-kilometer, meliuk-liuk dengan banyak tanjakan.
Jalannya kecil dan di tepinya hutan serta jurang yang cukup curam.
Di daerah ini agak sepi dengan pemandangan hutan dan perbukitan yang mengelilingi Tahura.
Sesekali ada sungai kecil dan para pengunjung atau warga setempat ditemui berhilir mudik dengan sepeda motor.
Sesekali ada juga rumah-rumah warga yang jaraknya jauh-jauh.
Di sepanjang perjalanan, ada beberapa anak muda yang bersantai menikmati keindahan alam.
Mereka kemari memakai kendaraan pribadi.
Mendekati puncaknya perumahan dan warung-warung agak ramai karena di dekat situ ada situs kolam pemandian peninggalan Belanda dan air terjun.
Warung-warung di sana buka tiap hari dari pagi hingga sore, kecuali Sabtu malam buka 24 jam karena banyak pengunjung bermalam Minggu di sana.
Sekitar empat kilometer naik lagi ke atas hingga ke puncaknya, ada villa yang oleh warga setempat disebut Benteng Belanda.
Namun sayang, sejak marak kabut asap dan kebakaran hutan, akses ke puncak dan Benteng Belanda ini ditutup petugas penjaga Tahura untuk mengantisipasi keselamatan pengunjung jika sewaktu-waktu ada kebakaran hutan.
Padahal biasanya pengunjung bisa bebas ke sana, bahkan di malam Minggu banyak yang berkemah di sana.
"Sekarang paling tinggi cuma sampai Kolam Belanda ini, naik ke atasnya lagi jalannya ditutup petugas," terang warga setempat, Susilawati.
Katanya, akibat kemarau, pepohonan dan rerumputan yang ada di sana sangat kering dan sensitif.
Terkena puntung rokok yang masih menyala saja bisa mengakibatkan kebakaran hutan.
"Kadang kan ada saja yang buang puntung rokok sembarang. Apinya langsung membesar terus merambat jadinya hutannya terbakar," katanya.
Kolam pemandian peninggalan Belanda itu sekarang juga tampak kering akibat kemarau.
Padahal, biasanya ada airnya yang segar dan jernih serta kerap dijadikan tempat mandi anak-anak setempat.
Di dekat situ ada tiga warung kaki lima yang menjual berbagai makanan dan minuman dengan harga yang murah, di bawah Rp 10.000.
Pengunjung biasanya bisa bersantai di warung-warung ini sembari makan dan menikmati keindahan alam di sekitarnya.
Di samping kanan warung pertama ada jalan setapak ke bawah.
Ada papan penunjuk arah dekat situ bertulisan air terjun.
Di bawah situ memang ada sebuah air terjun kecil buatan serta kolam kecil, khusus untuk wisatawan mandi.
Jalan ke bawah, menurutnya dekat saja sekitar 200 meter.
Faktanya memang sekitar 200 meter, namun karena jalannya ada yang landai ada juga yang curam sehingga untuk memudahkan pengunjung di sana dibuatkan tangga batu yang undakannya tak beraturan, yaitu ada yang lebar, landai dan jaraknya pendek namun ada juga yang tinggi.
Kondisi tangga batunya ada yang bagus ada juga yang rusak.
Jumlah anak tangganya mencapai ratusan buah, melewati semak belukar dan pepohonan rimbun.
Menapaki ratusan anak tangga ini sangat menguras tenaga, namun pemandangan perbukitan di sekitarnya cukup indah.
Sesekali terdengar suara binatang seperti burung.
Di bawahnya ada air terjun, kolam kecil dan sebuah pendopo.
Namun sayang, air terjun dan kolamnya tampak kering dan dipenuhi dedaunan kering yang berjatuhan akibat kemarau.
"Biasanya kalau nggak kemarau airnya dialirkan dari Kolam Belanda ke air terjunnya. Biasanya anak-anak yang suka sekali mandi di situ. Walau dikelilingi hutan di situ aman kok nggak ada binatang buasnya. Paling-paling ada burung di situ," jelasnya.
Kolam pemandian Belanda dan air terjun ini masuk wilayah Desa Mandiangin Barat, Kecamatan Karang Intan.
Seorang pengunjung, Putri, mengatakan daerah ini cukup nyaman untuk bersantai menenangkan diri karena suasananya tenang.
"Dikelilingi hutan dan bukit yang tenang. Apalagi di atasnya lagi, pemandangannya asyik banget, ada hamparan perbukitan yang hijau dan luas. Anginnya juga segar," katanya.
Memasuki daerah ini dikenai biaya retribusi Rp 2.500 per orang untuk dewasa, anak-anak Rp 1.500 per orang, turis dewasa Rp 20.000, turis anak-anak Rp 10.000, rombongan dewasa Rp 1.250 dan anak-anak Rp 750.
Untuk yang berombongan minimal jumlah pesertanya 25 orang dan harus ada surat keterangan dari Kepala Tahura Sultan Adam.
Khusus anak kecil di bawah usia lima tahun masuknya gratis.
Jika pengunjung membawa kendaraan roda dua dikenai biaya Rp 2.500 dan mobil Rp 10.000 per orang.
Jika ingin memanfaatkan lahan di sana bisa juga, bayarnya per tahun Rp 2 juta per hektar.
Bagi yang ingin outbond, tarifnya Rp 15.000 per orang untuk flying fox per sekali main, semua wahana Rp 25.000 dan semua permainan bagi yang berombongan Rp 15.000 untuk siswa sekolah, Rp 20.000 per orang untuk kantor pemerintahan dan umum Rp 25.000 per orang dengan syarat minimal rombongan 25 orang waktunya maksimal lima jam.
Untuk penyewaan pendopo rumah Banjar Rp 100.000 per hari.
Tak Ada Kendaraan Umum
Menuju ke Tahura Sultan Adam, tak ada kendaraan umum.
Pengunjung biasanya memakai kendaraan pribadi.
Akses jalannya mudah dan mulus.
Jika dari Banjarmasin, jaraknya 50 kilometer.
Anda harus berkendara lurus saja melewati Jalan Ahmad Yani ke kilometer 35, tepat ke tugu perempatan batas Kota Banjarbaru dan Martapura.
Dari sini, ambil jalan lurus saja hingga bertemu jalan mentok dan pertigaan, ambil arah ke kanan.
Dari sini, terus saja sekitar satu kilometer berkendara, ada jembatan kecil, turun dari situ, tak lama di sebelah kanan ada gerbang masuk ke Tahura Sultan Adam.
Jaraknya dari tugu tadi sekitar 15 kilometer.
Di sekitarnya ramai perkampungan warga.
Masuk saja di sini hingga sekitar satu kilometer, ada gerbang kedua dan pos penjagaan retribusi.
Dari sini, Anda sudah memasuki kawasan Tahura Sultan Adam.
Saat menuju jalan pulang, sepertinya pengunjung harus berhati-hati dan mengingat belokan tugu perbatasan Banjarbaru-Martapura tadi sebab tampaknya ada kesalahan peletakan arah penunjuk jalan.
Di papan penunjuk jalan dijelaskan arah ke Banjarbaru lurus dan belok kiri ke arah Biih.
Padahal sebenarnya sebaliknya, ke Biih lurus dan ke Banjarbaru belok kiri. (Yayu Fathilal)