Kamis, 18 Desember 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Kartini tidak Butuh Nyanyian dan Kain Kebaya

SEJAK dulu sampai sekarang gaya kepemimpinan orang tua di rumah sangat

Editor: Tjatur Wisanggeni

Pembelajaran di zaman kuno yang miskin dengan fasilitas, lingkungan yang otoriter sangat lumrah membuat banyak orang jadi tertindas. Bila ada yang mampu dan maju pribadinya, maka ia perlu dijadikan sebagai model dalam kehidupan. Memang ada, dia adalah Raden Ajeng Kartini. Ia hidup dalam zaman pembelengguan/ pingitan atas kaum perempuan.

Perempuan hanya layak sebagai tukang jaga dapur. Namun Kartini berjuang untuk bangkit, maju dan berusaha agar  kaum perempuan juga jadi maju dan tidak dilecehkan oleh kaum pria sepanjang masa.

Kisah perjuangan Kartini menginspirasi kaum perempuan agar bangkit menjadi cerdas- punya emansipasi/ hal azazi yang layak - dapat dibaca dalam kumpulan tulisannya yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang- Door Duisternis Tot Licht”. Untuk mengingat jasanya maka Komposer menciptakan lagu “Ibu Kita Kartini”. Sejak lagu ini diciptakan sampai sekarang lagu ini dinyanyikan oleh banyak siswa di berbagai sekolah, lebih lebih dalam bulan April, karena hari lahir  Kartini tanggal 21 April, maka lagu “Ibu Kita Kartini” makin bergema.

Juga untuk merayakan hari Kartni sebagai lambang perjuangan kaum perempuan untuk memperoleh hak azazi, nuansa lomba berkebaya dan bersanggul ala Kartini digelar di mana-mana. Sebuah refleksi untuk direnungkan bahwa “apakah Ibu Kartini memang butuh nyanyian dan butuh lomba bersanggul  dan berkebaya seperti itu? Apakah kartini memang hanya mengajarkan kaumnya untuk pintar bersanggul, berkebaya dan bernyanyi, atau apakah ini yang dinamakan sebagai pemodelan atas karakter Kartini ?

Yang anggun jalannya, elok wajah, sanggul dan kebayanya adalah pemenang. Apakah yang begini yang patut diberi “Kartini Award” ?. Ada baiknya kaum perempuan kembali melakukan flash back (kilas balik) atas kehidupan Kartini.

Raden Ajeng Kartini lahir pada tahun 1879 di kota Rembang. Ia anak salah seorang bangsawan, masih sangat taat pada adat istiadat. Setelah lulus dari Sekolah Dasar ia tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi oleh orangtuanya. Ia dipingit sambil menunggu waktu untuk menikah. Kartini kecil sangat sedih dengan hal tersebut, ia ingin menentang tapi tak berani karena takut dianggap anak durhaka. Untuk menghilangkan kesedihannya, ia mengumpulkan buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian dibacanya di taman rumah yang ditemani Simbok (pembantunya).

 Akhirnya membaca menjadi kegemarannya, tiada hari tanpa membaca. Semua buku, termasuk surat kabar dibacanya. Kalau ada kesulitan dalam memahami buku-buku dan surat kabar yang dibacanya, ia selalu menanyakan kepada Bapaknya. Melalui buku inilah, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa (Belanda, yang waktu itu masih menjajah Indonesia ).
Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan Indonesia . Perempuan tidak hanya di dapur tetapi juga harus mempunyai ilmu. Ia memulai dengan mengumpulkan teman-teman perempuannya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Ditengah kesibukannya ia tidak berhenti membaca dan juga menulis surat dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda. Tidak berapa lama ia menulis surat pada Mr.J.H Abendanon. Ia memohon diberikan beasiswa untuk belajar di negeri Belanda.

Beasiswa yang didapatkan Kartini tidak sempat dimanfaatkannya karena ia dinikahkan oleh orangtuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat. Setelah menikah ia ikut suaminya ke daerah Rembang. Suaminya mengerti dan ikut mendukung Kartini untuk mendirikan sekolah perempuan. Berkat kegigihannya Kartini berhasil mendirikan Sekolah Perempuan di Semarang, Surabaya , Yogyakarta, Malang , Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah
“Sekolah Kartini”. Ketenarannya tidak membuat Kartini menjadi sombong, ia tetap santun, menghormati keluarga dan siapa saja, tidak membedakan antara yang miskin dan kaya.
Pada tanggal 17 september 1904, Kartini meninggal dunia dalam usianya yang ke-25, setelah ia melahirkan putra pertamanya. Setelah Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon memngumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul “Door Duisternis Tot Licht” yang artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Raden Ajeng Kartini sudah lama meninggalkan kaumnya namun ide, fikiran dan cita-citanya tentu selalu relevan dengan zaman sekarang. Namun bagaimana realita perempuan sekarang kalau kita rujuk kepada pribadi Raden Ajeng Kartini ?.

Umumnya perempuan sekarang memang sudah banyak yang memperoleh pendidikan. Ada yang memperoleh emansipasi dan pendidikan tinggi. Namun sebahagian besar baru sebatas bisa membaca (melek huruf) dan sebatas bisa berhitung (melek angka) dengan cita-cita masih yang kerdil atau tidak memiliki cita-cita sama sekali, karena bingung dengan kondisi masa depan. Pribadi mereka pun banyak yang masih rapuh- mudah putus asa. Ada yang terlalu manja dan terlalu cengeng.

Beberapa karakter mereka yang lain yang perlu dikritik karena begitu kontra dengan karakter kartini. Yaitu gaya hidup hedonisme (terlalu memuja kemewahan dan kesenangan hidup) dan konsumerisme. Gejala-gejala ini sudah terlihat sejak kaum perempuan duduk di bangku SLTA, menjadi Mahasiswa dan setelah dewsa kelak.

Agaknya Kartini tetap senang melihat kaumnnya menjadi cantik, namun ia akan gerah bila melihat para perempuan yang pemalas- malah bergerak, malas belajar, malas bekerja, banyak menggantungkan hidup pada orang tua, kakak atau terlalu menunggu komando dari suami. Karakter yang ideal dengan harapan Kartini- sesuai dengan kodrat perempuan timur/ perempuan Indonesia adalah seperti karakter yang terdapat dalam uraian singkat tentang Kartini tadi.

Bahwa Kartini tahu dengan adat istiadat dan tidak memungut adat/budaya  luar tanpa filter- adat yang menjunjung tinggi etiket (tata krama berpakaian, berbicara, bersikap) tanpa harus memungut gaya hidup yang glamour hingga lupa diri. Kartini takut dianggap sebagai anak durhaka (maka ia tidak mau menentang orang tua) berarti ia bersikap bijaksana dalam mengangkat harga diri.

Meskipun Kartini menikah tapi ia tidak berhenti dalam belajar. Ia masih setia mengoleksi buku (mengumpulkan buku-buku yang berkualitas) dan melakukan otodidak- belajar mandiri atau belajar sepanjang hayat (long life education). Ia melakukan korespondensi untuk bertukar fikiran dengan orang yang juga punya wawasan dan malah membuka diri untuk menguasai bahasa Asing (Bahasa Belanda).

Cukup kontra dengan kebanyakan perempuan sekarang yang hanya belajar hingga universitas atau selagi masih bersekolah. Kemudian tidak pernah menyentuh buku lagi setelah dewasa atau setelah berkeluarga sehingga fikirannya membeku atau mengristal. Maka cukup berbanding lurus kalau ibu yang berhenti belajar menciptakan keluarga/anak-anak yang juga kurang berhasil dalam bidang akademik atau kehidupan, dan lantas kemudian menuduh sekolah sebagai biang kerok kegagalan.

Sumber: Sriwijaya Post

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved