Minggu, 2 November 2025

Blog Tribunners

Menakar Kembali Keberanian Orang Bugis Makassar

Penulis: Raja Loci
Editor: Kisdiantoro

TIDAK perlu ditawar  lagi bahwa orang bugis Makassar memiliki tipikil pemberani (to barani), sejarah telah membuktikan bagaimana orang-orang Makassar selalu hadir di setiap kancah perjuangan di tanah air bahkan di mancanegara. Kita mengenal nama-nama besar seperti karaeng Galesong putra Makassar yang dianggap sebagai tokoh yang merintis lahirnya armada angkatan laut dan melanjutkan perjuangan melawan penjajah Belanda di tanah Jawa pasca Perjanjian Bongaya.


Tokoh besar sekaliber Syech Yusuf yang dengan keberaniannya meninggalkan kampung halamannya untuk mengobarkan semangat perlawanan terhadap Belanda di Jawa dan keberaniannya tidak  pupus sampai disitu bahkan berhasil membangun semangat heroisme bangsa afrika untuk bangkit melawan penindasan bangsa Eropa. Keberanian Sultan Hasanuddin yang kemudian ditakar oleh bangsa Belanda dengan sangat terhormat sebagai “ayam jantan dari Timur” atau jangan lakiya battu iraya. Mereka hanyalah sebagaian dari sederetan artefak sejarah yang mengabadikan keberanian orang bugis Makassar, tidak saja dalam kontek lokal, tapi juga dalam kancah nasional bahkan international.


Belum lagi catatan mengenai keberanian para pelaut Makassar yang telah menjelajah sampai ke ujung dunia, dengan Phinisi sampai ke Madagaskar dan pesisir Australia. Keberanian DG. Mangalle salah seorang bangsawan dari Makassar yang melarikan diri ke negeri siam pada tahun 1664 bersama 250 orang pengikutnya, yang kemudian melakukan pemberontakan terhadap kerajaan siam karena berbenturan dengan Konstantin Fhaulkon telah mewarnai perjalan sejarah bangsa Thailand (selengkapnya baca di www.tribunnews.com/2010/05/24/dari-revolusi-makassar-ke-kaus-merah).

Dalam kajian psikologi positif, keberanian (brave) merupakan salah salah strength good character (karakter unggul). Keberanian adalah sesuatu yang sebaiknya dimiliki oleh setiap orang. Hanya saja keberanian perlu dibingkai dengan karakter-karakter yang lain agar tidak terjerumus menjadi perilaku radikalisme atau kekerasan. Dalam hasanah bugis Makassar kita mengenal konsep “macca na warani”. Orang bugis sejatinya tidak saja berani (warani) tapi juga cerdas (macca). Kesuksesan tokoh-tokoh Makassar sebagaimana telah disebutkan di atas tidak semata-mata bediri pada pijakan keberanian tapi mereka adalah orang-orang yang menggunakan kecerdasannya. Keberanian adalah energi yang membawa kecerdasan menjadi sangat bernilai dan powerfull.


Kecerdasan dan keberanian orang bugis Makassar masa kini, bisa kita lihat pada ketokohan mantan Menko Kesra sekaligus Mantan Wakil Presiden Yusuf Kalla. Keberaniannya dalam mengatasi berbagai konflik di tanah air telah menempatkannya dalam catatan sejarah. Yusuf Kalla adalah tipikal pemimpin yang tidak saja berani, tapi juga menggunakan kecerdasannya, baik kecerdasan dalam leadership, negosiasasi, membangun bargaining serta serta keberanian dan kecerdasannya yang berhasil memenangkan semua pihak (win-win solution) yang bertikai. Ambon, Poso dan Aceh damai karena keberanian dan kecerdasan seorang putra Makassar.

Menakar Keberanian

Pertanyaannya sekarang, pantaskah perilaku anarkis dan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa yang melakukan tawuran ditakar sebagai keberanian? Kita semua tentu  miris setiap kali menyaksikan berita tawuran mahasiswa di Makassar. Tawuran yang selama ini terjadi tidak saja menimbulkan korban luka dengan saudara sendiri, rusak fasilitas kampus tapi efek yang  lebih berbahaya adalah  munculnya citra  negatif terhadap  Makassar dengan stereotype kekerasan.  Ironisnya lagi, dilakukan oleh mahasiswa yang sejatinya mengedepankan kecerdasannya (macca) dalam menyelesaikan setiap persoalan.

Tawuran mahasiwa ini dalam perspektif penulis sangat jauh dari nilai “warani” yang selama ini ditunjukkan oleh orang-orang Makassar yang telah melegenda. Aksi tawuran adalah aksi “katoloang” atau tindakan bodoh dan  berpikir sempit. Tawuran adalah tindakan penakut (ballorang)  karena mengeksploitasi semangat kelompok untuk menyelesaikan persoalannya yang seharusnya diselesaikan sendiri secara jantan. Sayangnya lagi kelompok pun dengan mudahnya diprovokasi oleh individu yang bersangkutan. Seyogyanya kelompok ini menjadi jauh lebih cerdas untuk tidak begitu saja terpancing, Solidaritas kelompok tidak harus diekspresikan secara naïf dengan merusak fasilitas yang justru berasal dari uang rakyat.

Sudah saatnya keberanian orang makssar dikonstruksi ulang untuk dikembalikan pada konsep kesejatiannya. saya menggunakan terminasi menakar kembali, karena ada kecenderungan keberaniaan kita sebagai orang bugis Makassar telah mengalami disorientasi dalam menafsirkan dan mengekspresikannya. Nilai-nilai keberanian tidak lagi ditujukan pada sebuah upaya untuk kebaikan tapi justru mengarah pada upaya-upaya destruktif. kita tidak ingin keberanian sebagai good character yang dimiliki oleh orang bugis Makassar kemudian menjadi terlecehkan, terduksi, dan hilang dari kesejatiannya yang baik menjadi karakter yang buruk. 

Keberanian adalah warisan leluhur orang bugis Makassar, yang perlu dipertahankan nilai-nilai positifnya, tidak dikerdilkan dengan tindakan brutal yang sangat merugikan citra Makassar secara keseluruhan. Mahasiswa Makassar harus lebih memposisikan dirinya sebagai kaum intelektual yang memiliki tanggung jawab besar membangun tatanan masyarakat untuk lebih baik. Masyarakat telah banyak bercermin dari kecerdasan dan keberanian mahasiswa dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Keberanian mahasiswa melakukan aksi demonstrasi telah banyak menginspirasi kelompok-kelompok sipil untuk melakukan cara-cara yang sama, dan tentu saja itu positif. Tapi tawuran tentu saja merupakan langkah mundur yang sangat disesalkan, karena yang biasanya melakukan tawuran adalah pelajar.

Seyogayanya, solidaritas cerdas yang  ditampilkan oleh mahasiswa Makassar  pada pencapain prestasi dan pengkaderan calon-calon pemimpin bangsa. Sejarah telah membuktikan bahwa Makassar selalu menjadi barometer dan memiliki posisi tawar yang sangat diperhitungkan dalam kancah suksesi kepemimpinan nasional. Makassar dalam beberapa dekada adalah lumbung pemimpin nasional. Sangat disayangkan jika hal itu terputus dan kita kehilangan jejak karena mahasiswa kita kehabisan energi secara percuma

Sentiment kelompok tidak seyogyanya diselesaikan dengan agresivitas-fisik pada kelompok “lawan”, solidaritas intelektualisme sejogyanya dijadikan kesadaran tertinggi bagi para mahasiswa untuk resolusi konflik. Kadar Intelektualisme  inilah yang yang menjadi pembeda antara  mahasiawa kelompok-kelompok sosial lainnya. Nilai intelektual harusnya menjadi arah dan orientasi mahasiswa dalam bersikap, berperilaku, bertindak dan mengambil keputusan. Sampai saat ini, belum pernah kita saksikan daeng becak tawuran dengan tukang ojek padahal kalau dipikir mereka bisa saja berbenturan kepentingan tapi mereka ternyata jauh lebih dewasa dalam mengelolah perbedaan, lantas apa yang terjadi dengan mahasiswa kita di Makassar. Apakah nilai-nilai intelektualisme itu masih dijunjung sebagai pembeda?

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved