Blog Tribunners
Menakar Kembali Keberanian Orang Bugis Makassar
TIDAK perlu ditawar lagi bahwa orang bugis Makassar memiliki tipikil pemberani (to barani), sejarah telah membuktikan bagaimana orang-orang Makassar selalu hadir di setiap kancah perjuangan di tanah air bahkan di mancanegara. Kita mengenal nama-nama besar seperti karaeng Galesong putra Makassar yang dianggap sebagai tokoh yang merintis lahirnya armada angkatan laut dan melanjutkan perjuangan melawan penjajah Belanda di tanah Jawa pasca Perjanjian Bongaya.
Tokoh besar sekaliber Syech Yusuf yang dengan keberaniannya meninggalkan kampung halamannya untuk mengobarkan semangat perlawanan terhadap Belanda di Jawa dan keberaniannya tidak pupus sampai disitu bahkan berhasil membangun semangat heroisme bangsa afrika untuk bangkit melawan penindasan bangsa Eropa. Keberanian Sultan Hasanuddin yang kemudian ditakar oleh bangsa Belanda dengan sangat terhormat sebagai “ayam jantan dari Timur” atau jangan lakiya battu iraya. Mereka hanyalah sebagaian dari sederetan artefak sejarah yang mengabadikan keberanian orang bugis Makassar, tidak saja dalam kontek lokal, tapi juga dalam kancah nasional bahkan international.
Belum lagi catatan mengenai keberanian
para pelaut Makassar yang telah menjelajah sampai ke ujung dunia, dengan
Phinisi sampai ke Madagaskar dan pesisir Australia. Keberanian DG. Mangalle salah
seorang bangsawan dari Makassar yang melarikan diri ke negeri siam pada tahun 1664 bersama
250 orang pengikutnya, yang kemudian melakukan pemberontakan terhadap kerajaan
siam karena berbenturan dengan Konstantin Fhaulkon telah mewarnai perjalan sejarah bangsa
Thailand (selengkapnya baca di www.tribunnews.com/2010/05/24/dari-revolusi-makassar-ke-kaus-merah).
Dalam
kajian psikologi positif, keberanian (brave) merupakan salah salah strength good character (karakter unggul).
Keberanian adalah sesuatu yang sebaiknya dimiliki oleh setiap orang. Hanya saja
keberanian perlu dibingkai dengan karakter-karakter yang lain agar tidak
terjerumus menjadi perilaku radikalisme atau kekerasan. Dalam hasanah bugis
Makassar kita mengenal konsep “macca na
warani”. Orang bugis sejatinya tidak saja berani (warani) tapi juga cerdas (macca).
Kesuksesan tokoh-tokoh Makassar sebagaimana telah disebutkan di atas tidak
semata-mata bediri pada pijakan keberanian tapi mereka adalah orang-orang yang
menggunakan kecerdasannya. Keberanian adalah energi yang membawa kecerdasan
menjadi sangat bernilai dan powerfull.
Kecerdasan
dan keberanian orang bugis Makassar masa kini, bisa kita lihat pada ketokohan
mantan Menko Kesra sekaligus Mantan Wakil Presiden Yusuf Kalla. Keberaniannya
dalam mengatasi berbagai konflik di tanah air telah menempatkannya dalam
catatan sejarah. Yusuf Kalla adalah tipikal pemimpin yang tidak saja berani,
tapi juga menggunakan kecerdasannya, baik kecerdasan dalam leadership,
negosiasasi, membangun bargaining serta serta keberanian dan kecerdasannya yang
berhasil memenangkan semua pihak (win-win
solution) yang bertikai. Ambon, Poso dan Aceh damai karena keberanian dan
kecerdasan seorang putra Makassar.
Menakar
Keberanian
Pertanyaannya
sekarang, pantaskah perilaku anarkis dan kekerasan yang dilakukan oleh
sekelompok mahasiswa yang melakukan tawuran ditakar sebagai keberanian? Kita
semua tentu miris setiap kali menyaksikan
berita tawuran mahasiswa di Makassar. Tawuran yang selama ini terjadi tidak
saja menimbulkan korban luka dengan saudara sendiri, rusak fasilitas kampus
tapi efek yang lebih berbahaya
adalah munculnya citra negatif terhadap Makassar dengan stereotype kekerasan. Ironisnya lagi, dilakukan oleh mahasiswa yang
sejatinya mengedepankan kecerdasannya (macca)
dalam menyelesaikan setiap persoalan.
Tawuran
mahasiwa ini dalam perspektif penulis sangat jauh dari nilai “warani” yang selama ini ditunjukkan
oleh orang-orang Makassar yang telah melegenda. Aksi tawuran adalah aksi “katoloang” atau tindakan bodoh dan berpikir sempit. Tawuran adalah tindakan
penakut (ballorang) karena mengeksploitasi semangat kelompok
untuk menyelesaikan persoalannya yang seharusnya diselesaikan sendiri secara
jantan. Sayangnya lagi kelompok pun dengan mudahnya diprovokasi oleh individu
yang bersangkutan. Seyogyanya kelompok ini menjadi jauh lebih cerdas untuk
tidak begitu saja terpancing, Solidaritas kelompok tidak harus diekspresikan
secara naïf dengan merusak fasilitas yang justru berasal dari uang rakyat.
Sudah saatnya keberanian orang makssar dikonstruksi ulang untuk
dikembalikan pada konsep kesejatiannya. saya menggunakan terminasi menakar
kembali, karena ada kecenderungan keberaniaan kita sebagai orang bugis Makassar
telah mengalami disorientasi dalam menafsirkan dan mengekspresikannya. Nilai-nilai
keberanian tidak lagi ditujukan pada sebuah upaya untuk kebaikan tapi justru
mengarah pada upaya-upaya destruktif. kita tidak ingin keberanian sebagai good character yang dimiliki oleh orang
bugis Makassar kemudian menjadi terlecehkan, terduksi, dan hilang dari
kesejatiannya yang baik menjadi karakter yang buruk.
Keberanian
adalah warisan leluhur orang bugis Makassar, yang perlu dipertahankan
nilai-nilai positifnya, tidak dikerdilkan dengan tindakan brutal yang sangat
merugikan citra Makassar secara keseluruhan. Mahasiswa Makassar harus lebih
memposisikan dirinya sebagai kaum intelektual yang memiliki tanggung jawab
besar membangun tatanan masyarakat untuk lebih baik. Masyarakat telah banyak
bercermin dari kecerdasan dan keberanian mahasiswa dalam memperjuangkan
aspirasi rakyat. Keberanian mahasiswa melakukan aksi demonstrasi telah banyak
menginspirasi kelompok-kelompok sipil untuk melakukan cara-cara yang sama, dan
tentu saja itu positif. Tapi tawuran tentu saja merupakan langkah mundur yang
sangat disesalkan, karena yang biasanya melakukan tawuran adalah pelajar.
Seyogayanya,
solidaritas cerdas yang ditampilkan oleh
mahasiswa Makassar pada pencapain
prestasi dan pengkaderan calon-calon pemimpin bangsa. Sejarah telah membuktikan
bahwa Makassar selalu menjadi barometer dan memiliki posisi tawar yang sangat
diperhitungkan dalam kancah suksesi kepemimpinan nasional. Makassar dalam
beberapa dekada adalah lumbung pemimpin nasional. Sangat disayangkan jika hal
itu terputus dan kita kehilangan jejak karena mahasiswa kita kehabisan energi
secara percuma
Sentiment
kelompok tidak seyogyanya diselesaikan dengan agresivitas-fisik pada kelompok “lawan”,
solidaritas intelektualisme sejogyanya dijadikan kesadaran tertinggi bagi para
mahasiswa untuk resolusi konflik. Kadar Intelektualisme inilah yang yang menjadi pembeda antara mahasiawa kelompok-kelompok sosial lainnya.
Nilai intelektual harusnya menjadi arah dan orientasi mahasiswa dalam bersikap,
berperilaku, bertindak dan mengambil keputusan. Sampai saat ini, belum pernah
kita saksikan daeng becak tawuran dengan tukang ojek padahal kalau dipikir
mereka bisa saja berbenturan kepentingan tapi mereka ternyata jauh lebih dewasa
dalam mengelolah perbedaan, lantas apa yang terjadi dengan mahasiswa kita di
Makassar. Apakah nilai-nilai intelektualisme itu masih dijunjung sebagai pembeda?
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.