Tribunners / Citizen Journalism
Perebutan Harta Karun, Siapa Pemenangnya?
Pertanyaan yang menarik di tengah gencarnya kampanye anti-tembakau adalah posisi
Editor:
Widiyabuana Slay
TRIBUNNEWS.COM - Pertanyaan yang menarik di tengah gencarnya kampanye anti-tembakau adalah posisi industri kretek di Indonesia. Fakta menunjukan, prospek industri tembakau (rokok) di Indonesia tidak dianggap remeh oleh industri yang sama di tingkat global, kendati tekanan dari gerakan kampanye anti-tembakau juga terus gencar. Salah satu buktinya adalah terjadinya sejumlah akuisisi terhadap perusahaan-perusahaan rokok nasional oleh perusahaan-perusahaan rokok asing. Dan sejak 2005 hingga saat ini, paling tidak telah terjadi tiga kali akuisisi besar. Salah satu di antaranya yaitu akuisisi yang dilakukan Phillip Morris terhadap Sampoerna, bahkan bisa dikatakan memecahkan rekor akuisisi terbesar di Asia. Semua proses akuisisi itulah yang menyebabkan penguasaan kepemilikan perusahaan rokok nasional berpindah ke tangan asing.
Perusahaan |
Keterangan |
PT HM Sampoerna Tbk |
Produsen rokok A Mild, Sampoerna Kretek, dan Dji Sam Soe. Diakuisisi Phillip Morris International pada Maret 2005 senilai Rp 18,6 triliun untuk kepemilikan 40 persen saham. Pada Mei 2005 dilakukan tender penawaran pembelian seluruh sisa saham milik HM Sampoerna dengan total nilai akuisisi Rp 48 triliun (US$ 5,4 miliar) |
PT Bentoel International Investama |
Produsen merek rokok Sejati, Star Mild, Tali Jagat, Bintang Buana, dan Uno Mild. Diakuisisi British American Tobacco (BAT) pada 2009 dengan kepemilikan 85 persen saham yang bernilai US$ 494 juta. Pada 2011, BAT menyelesaikan penawarannya membeli saham Bentoel yang dikuasai publik sebanyak 14,87 persen. Dengan demikian, penguasaan BAT di Bentoel hampir mencapai 100 persen. Tahun yang sama, BAT juga melepas sebagian saham sebesar 13,4 persen kepada perusahaan investasi UBS AG yang berkantor di London dengan nilai transaksi Rp 737,612 miliar. Setelah transaksi tersebut, penguasaan saham BAT di Bentoel sebesar 85,55 persen. |
PT Trisakti Purwosari Makmur |
Produsen merek rokok Master Mild, Win Mild, Lintang Enam, Bheta dan Pensil Mas Internasional, diakuisisi Korean Tobacco & Ginseng (KT&G) yang dikenal di Indonesia sebelumnya dengan produk Esse pada 2011. KT&G menguasai kepemilikan 60 persen saham senilai 140 juta won (Rp 1,12 triliun). |
Perusahaan rokok asing sebetulnya sudah cukup lama beroperasi di Indonesia, bahkan sejak era kolonial. Awalnya, mereka hanya menempatkan Indonesia sebagai pasar dari produk-produknya yang dikenal dengan sebutan “rokok putih”. Belakangan, mereka juga melakukan kemitraan dengan perusahaan rokok nasional. Antara lain seperti yang dilakukan Phillip Morris dengan Bentoel pada 1984. Saat itu, Phillip Morris memercayakan produksi dan distribusi rokok Marlboro kepada Bentoel untuk pasar Indonesia. Empat belas tahun kemudian, Phillip Morris memutuskan mendirikan Phillip Morris Indonesia. Sebagai imbalan, Bentoel tetap memiliki hak eksklusif untuk mendistribusikan produk-produk Phillip Morris. Ada pun BAT, telah mendirikan unit usaha sejak 7 Agustus 1917.
“Ketertarikan” perusahaan-perusahaan rokok dunia ke Indonesia tentu saja tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa pasar rokok di Indonesia sejauh ini didominasi oleh kretek: 90 persen dan sisanya diperebutkan “rokok putih”. Pada 2002, daya serap “rokok putih” di Indonesia malah turun menjadi11,5 persen dan terus turun hingga pada 2008 menjadi hanya 7,21 persen. Sementara itu, kretek sebagai cita rasa khas Indonesia tidak bisa tergantikan. Data ini juga menjelaskan tentang loyalitas konsumen terhadap kretek, yang menjadi hambatan bagi perusahaan multinasional rokok asing meningkatkan pertumbuhan.
Pengerdilan Industri Kretek
Setelah prakarsa Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau (FCTC) disetujui pada 2003, perusahaan multinasional rokok asing didukung kekuatan modal yang sangat besar, kemudian gencar melakukan akuisisi terhadap perusahaan kretek nasional Indonesia. Di sisi lain, ribuan perusahaan rokok kretek kecil dan menengah yang ada di Indonesia menghadapi ancaman serius akibat kampanye perang global anti-tembakau yang terus mereduksi kapasitas sumber daya dan ruang gerak mereka. Bahkan, para pemain besar di industri nasional pun menghadapi tekanan yang cukup serius yang diindikasikan oleh penurunan peringkat penguasaan pasar. Sementara di tingkat hulu, pertanian tembakau nasional mengalami ancaman dari kegiatan perdagangan impor tembakau. Tampak di sini, gerakan kampanye global anti-tembakau memiliki hubungan yang erat dengan proses pengerdilan industri rokok kretek nasional.
Pasca krisis ekonomi dan politik 1998, industri kretek nasional mulai merasakan bentuk tekanan intervensi kebijakan lewat tangan asing. Sebut saja Dana Moneter Internasional (IMF). Dalam paket penyelamatan Indonesia dari krisis, lembaga ini mendorong kebijakan peningkatan cukai dan pengendalian tembakau, seperti pembatasan kandungan tar dan nikotin, pembatasan kegiatan pemasaran (iklan, promosi dan sponsorship), dan larangan merokok di beberapa tempat. Kebijakan ini tertuang dalam rancangan peraturan pemerintah tentang pengamanan rokok bagi kesehatan yang kemudian disahkan sebagai Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999.
Ada yang beranggapan, kebijakan itu bertujuan memberikan peluang yang lebih besar bagi “rokok putih” untuk bersaing memperebutkan pasar Indonesia. Anggapan ini muncul terutama karena pada saat itu juga keluar kebijakan tentang pembatasan tar dan nikotin, yang disambut dengan kampanye tentang bahayanya kedua zat dalam rokok itu oleh kelompok anti-rokok. Pada saat yang sama, kretek dengan segala tradisi dan kekhasan produknya, telah didorong untuk dipahami sebagai produk yang paling banyak mengandung tar dan nikotin. Reaksi awal dari kebijakan dan kampanye tentang bahayanya tar dan nikotin itu, adalah munculnya sikap latah dari industri kretek nasional. Mereka melakukan inovasi, antara lain dengan juga memproduksi kretek mild dengan tar dan nikotin berkadar rendah. Sebuah reaksi yang sebetulnya bisa dikatakan sia-sia, karena kenyataannya, kretek tetap tidak tergeser oleh semua kampanye tentang tar dan nikotin.
Kenyataan itulah yang lantas memunculkan spekulasi, bahwa perusahaan-perusahaan rokok multinasional sebetulnya bermaksud menikmati potensi pasar kretek di Indonesia. Bagi mereka bertarung dalam kompetisi yang mengandalkan keunggulan produk, sama saja dengan usaha bunuh diri. Satu-satunya jalan adalah melakukan operasi dengan ikut memproduksi kretek sebagai produk unggulan. Caranya bukan dengan membuat unit produksi baru, melainkan lewat jalan akuisisi perusahaan-perusahaan rokok nasional. Tentu saja dengan kekuatan modal yang berlimpah, strategi akuisisi ini menjadi pilihan yang paling aman dan efisien. Cara ini sekaligus memberikan sumbangan positif bagi nilai investasi mereka di pasar efek, dan berdampak kepada kenaikan pasar.
Perilaku Industri Global
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.