Kamis, 6 November 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Berikan Api, Jangan Gulingkan Periuknya

Tak dapat dimungkiri, dibanding petani-petani tembakau di tempat lain petani tembakau di

Editor: Widiyabuana Slay
zoom-inlihat foto Berikan Api, Jangan Gulingkan Periuknya
Ilustrasi demo aliansi masyarakat tembakau

Oleh Zulvan Kurniawan*

TRIBUNNEWS.COM - Tak dapat dimungkiri, dibanding petani-petani tembakau di tempat lain petani tembakau di Temanggung tampaknya menjadi kelompok yang paling beruntung. Meski tembakau yang ditanam bermacam-macam jenis dan grade-nya, tapi bisa segera tampak bahwa tembakau Temanggung selalu dihargai lebih tinggi dibanding tembakau-tembakau dari tempat lain di Indonesia. Mutu yang terjamin, teknik budidaya yang baik, pengolahan pasca panen yang maju, juga hubungan yang baik dengan pabrikan membuat tembakau Temanggung selalu diserap industry. Bahkan, jika tembakau petani sangat baik, pengepul dan pedagang akan mengantrinya untuk memberikan tawaran harga terbaik.

Cerita-cerita semacam di Temanggung ini boleh dibilang sering menjadi pengecualian dalam kancah pertembakaun kita –dan karena itu, oleh para pembenci tembakau, sering diabaikan atau sengaja ditepiskan. Yang lebih banyak terjadi adalah cerita-cerita sedih –sebagaimana yang umum terjadi dan menimpa kaum petani di Indonesia.

Kita, misalnya, sering mendengar kemiskinan petani-petani tembakau di Bojonegoro yang “melegenda” itu berada di tingkat harga terbawah, juga diperberat dengan problem sempit dan tidak suburnya lahan yang dimiliki petani, juga tata niaga yang panjang berkelok-kelok membuat para petani tembakau di Bojonegoro cenderung ingin menjual lahannya. Begitulah yang diceritakan dalam kajian Soegijanto Padmo dan Edhie Djatmiko (1991).

Dipaparkan lebih jauh, keringnya lahan yang ada di wilayah itu membuat pilihan petani jatuh kepada tembakau, satu-satunya tanaman yang bisa “menghasilkan” dalam kondisi lahan demikian sebagai penyangga kehidupan sehari-hari, yang ditanam untuk dimakan sendiri (food security), mereka mengusahakan padi dan jagung. Namun, pengairan yang jauh dari cukup dan lahan yang sempit membuat tanaman penyangga itu tak mencukupi bahkan sekadar untuk bertahan hidup, utang kepada pedagang tembakau, dengan janji pelunasan pada akhir panen tembakau, akhirnya jadi pilihan dan ujungnya jadi kebiasaan.namun, utang itu kadang menjadi sangat besar di pengujung musim panen tembakau, sehingga menjadikan mereka tak lagi berani utang untuk biaya pemrosesan dan pengeringan daun tembakau setelah petik, akhirnya, terpaksalah mereka menjual daun tembakaunya dalam keadaan basah, daun tembakau yang basah tak bisa disimpan lebih dari 24 jam. Lebih batas waktu itu, dedaun tembakau akan berair dan membusuk. Maka, dalam batas waktu sependek itu, petani harus segera menjualnya. Pedagang yang kurang baik akan memanfaatkan keadaan petani yang terjepit dan mengusahakan untuk bisa membeli tembakau petani dengan harga serendah-rendahnya (Padmo, 1991).

Kisah lain petani tembakau adalah di Demak. Di kota Wali itu diceritakan, para petani tembakau mendapat perlakuan tak menyenangkan dari para tengkulak. Tengkulak menjadi penentu harga satu-satunya, sementara petani hanya bisa pasrah saja. Sudah begitu, untuk tembakau yang dibeli, petani sering diberi uang muka sekadarnya saja. Bahkan kadang petani cuma diberi garet (semacam catatan penanda transaksi) sebagai jaminan. Garet inilah yang sering berujung pada pengemplangan (utang yang tak dibayar) oleh tengkulak pada petani tembakau (Alamsyah, 2011).

Di Madura, salah satu tanah surga bagi tembakau Indonesia, juga terdengar cerita yang kurang lebih serupa. Hampir diketahui bersama, di sana terjadi jurang ekonomi yang agak mencolok antara para petani tembakau dengan pedagangnya. Sementara para pedagang menjadi golongan sangat kaya, petani tembakau tak beranjak dari kehidupannya yang begitu-begitu saja. Bahkan kerap kali, akibat terjerat rentenir, dari tahun ke tahun mereka justru semkin miskin.

Fakta-fakta tersebut, oleh para pembenci tembakau, sering secara tendensius dieksploitasi menjadi kisah penuh air mata. Mereka sering menunjuk-nunjukkan bahwa itu bukan sebagian dari fakta yang ada pada pertembakauan Indonesia, melainkan satu-satunya fakta yang ada.

Untuk menggiring opini publik agar mengambil posisi antipati terhadap tembakau, daun tembakau diidentikkan dengan rendahnya upah buruh, ataupun hubungan eksploitatif oleh satu golongan (pedagang atau pemilik modal) dengan golongan lain (petani atau buruh tani). Sebuah penelitian yang diselenggarakan oleh sebuah lembaga yang bernaung  di bawah universitas terkemuka di Indonesia bahkan melansir angka-angka yang nyaris seperti kisah horor, dimana dipaparkan bahwa buruh tani di pertanian tembakau hanya memperoleh pendapatan per bulan kurang dari Rp 95.000, --entah bagaimana cara menghitungnya.

Tanpa mencoba menepis bahwa masih ada hal-hal yang tak diinginkan dalam dunia pertembakauan Indonesia, harus dikatakan bahwa apa yang terjadi pada tembakau adalah gambaran apa yang terjadi pada sektor pertanian di negeri ini secara keseluruhan. Jika diibaratkan bisul, hal-hal tak diinginkan dipertembakauan bukanlah satu-satunya bisul, melainkan hanya satu dari banyak bisul yang membuat wajah sektor pertanian di Indonesia sepenuhnya menjadi bopeng-bopeng. Jadi keburukan yang ditemukan dalam dunia pertembakauan Indonesia bukannya menunjukkan buruknya pertembakauan Indonesia, melainkan buruknya sektor pertnian secara keseluruhan.

Petani yang lemah posisi tawarnya adalah lagu lama, yang juga bisa dengan mudah ditemukan pada petani untuk komoditas lainnya seperti cabe, padi, palawija, tebu, kedelai, bawang, garam, dan sebagainya. Demikian juga dengan kesenjangan tingkat kesejahteraan antara petani, lebih-lebih buruh tani, dan pedagang. Tata niaga yang tidak fair? Itu bahkan menjadi semacam “cacat lahir” bagi tata niaga di hampir semua komoditas pertanian kita.

Yang orang sering lupa adalah kedudukan tembakau bagi petani di antara komoditas-komoditas pertanian lainnya. Mungkin memang bukan yang paling menguntungkan, tapi tembakau selalu menjadi komoditas yang paling diandalkan di wilayah-wilayah dimana tembakau ditanam.

Di Temanggung seperti yang telah sering disampaikan, tembakau adalah nafas kehidupan tidak hanya bagi para penanamnya, tapi juga bagi puluhan ribu orang yang bisa berharap ciptaan rezeki darinya. Mungkin tak perlu disebutkan bahwa penghasilan per bulan banyak petani di wilayah-wilayah sentra tembakau bermutu bisa sama atau bahkan melebihi para pegawai negeri sipil di kantor pajak di Jakarta. Namun, yang perlu diketahui, para perempuan pembuat keranjang di Parakan, yang tak punya lahan itu, tak akan pusing jika panen kopi tahun itu gagal, selama di akhir tahun panen tembakau di seantero Sumbing-Sindoro-Prau bisa diharapkan. Bagi mereka, kesuksesan panen kopi hanya akan dinikmati oleh para penanamnya, sementara panen tembakau bisa dinikmati oleh lebih banyak orang. Tanpa tembakau, mereka bahkan tak tahu apa yang akan mereka lakukan. Demikian juga dengan pedagang tas di pasar Temanggung yang meraup omzet berlipat ganda –berkali lipat bahkan dibanding saat Lebaran—begitu panen tembakau tiba.

Dalam hal ini, cerita indah di Temanggung bukanlah satu-satunya kisah. Di balik kemiskinan para petani tembakau di Bojonegoro, tembakau adalah “Dewi Keberuntungan”, yang bisa dijadikan pegangan saat komoditas lain tak bisa diharapkan (bahkan tak bisa ditanam). Sementara, petani di Jember bahkan diledek sebagai tembakau minded, karena mereka rela meliburkan (memberakan) lahannya dari tanaman lain agar tembakau mereka pada waktunya mendapatkan tanah terbaiknya, supaya panen bisa maksimal. Itu Karena mereka cukup pintar untuk menghitung: dibanding kapuk, kopi, kelapa, bahkan cengkeh, tembakau adalah tanaman yang paling menguntungkan.

Di Pamekasan, kabupaten yang terletak di pulau yang identik dengan garam, jumlah tenaga kerja yang  tergantung kepada tembakau jumlahnya 10 kali lipat dibanding dengan yang tergantung pada garam (Alamsyah, 2011). Sementara di Sumedang, tembakau lebih disukai dibanding padi karena risikonya yang minimal. Tak seperti padi yang sering terancam puso atau harga yang anjlok, harga tembakau cenderung stabil. Jika pun tak untung besar, risiko paling buruk adalah hasil panen impas dengan modal.

Karena itu, tak mengherankan jika pada suatu masa yang paling kelam bagi kehidupan petani di negeri ini, sejarawan R.E. Elson menemukan bahwa saat Sistem Tanam Paksa belangsung, petani di Karesidenan Kedu lebih makmur justru karena mereka menanam tanaman yang tidak diprioritaskan oleh Pemerintah Kolonial. Tembakau, nama tanaman itu (Elson dalam Booth, 1988).

Jika sektor pertanian di Indonesia adalah sebuah dapur bobrok yang tak kunjung diperbaiki, tak berlebihan jika menyebut bahwa tembakau adalah periuk nasi yang masih bisa dipakai untuk bertahan. Aneh dan ironisnya, ada sebagian orang yang ingin mengenyahkan periuk nasi yang tersisa itu dengan alasan ingin menyelamatkan seisi rumah. Pernah dengar ada pihak yang ingin menyatakan bahwa menyetop sama sekali iklan kretek, membatasi kadar tar dan nikotin serendah mungkin, dan menaikkan cukai tembakau setinggi mungkin adalah cara menyelamatkan petani tembakau dan buruh pabrik rokok? Itulah mereka yang justru ingin menggulingkan satu-satunya periuk nasi yang masih dimiliki petani.

Jelas, periuk nasi itu aus, bolong di sana sini, sehingga sangat membutuhkan tukang patri. Namun, adalah sebuah kezaliman besar jika satu-satunya periuk aus itu disingkirkan dari pemiliknya, hanya karena orang-orang dari jauh –para pemodal asing—merasa iri bahwa periuk jelek itu masih bisa dipakai untuk bertahan hidup. Lebih-lebih jika mereka yang ingin menyingkirkan periuk nasi petani itu tak memikirkan bagaimana cara menggantinya dengan semestinya.

Seyogianya, pemilik rumah (Pemerintah), tempat petani bernaung, memperbaiki periuk itu, menambal kebocorannya, dan kalau perlu merenovasi total bangunan dapur beserta segenap isinya. Namun, jika pun itu tak dilakukan, sepercik api yang bisa membantu dapur tetap mengepul dan membuat petani tetap bisa memanfaatkan “periuknya”, lumayanlah.

Berdasar pengalaman, pengamatan dan sedikit analisis, “percik api” yang sangat berguna bagi para petani tembakau untuk tetap bisa memanfaatkan periuk nasinya bisa meliputi paling tidak beberapa hal berikut:

  1. 1.      Dibentuknya Dewan Penyangga Tembakau Nasional

Dibanding komoditas pertanian lainnya, sebenarnya tembakau adalah komoditas pertanian yang paling stabil harganya. Meski demkian, cuaca yang tidak menentu adakalanya bisa membuat harga tembakau jatuh. Bila harga jatuh, tentulah petani yang paling dirugikan. Karena itu, Pemerintah perlu mencegah terjadinya kejatuhan harga. Caranya, dengan menentukan harga minimal tembakau. Penentuannya gampang. Asumsikan saja berapa modal yang dibutuhkan petani untuk perkilogram tembakau. Lalu, tambahkan 25% sebagai marjin minimal keuntungan petani. Misalnya, jika petani membutuhkan Rp 25.000 untuk tiap kilogram tembakau, Pemerintah bisa menentukan harga terendah Rp 30.000.

 

Jika harga pasaran berada di atas harga terendah, maka biarkan mekanisme pasar berjalan sebagaimana mestinya. Kalau bisa, biarkan petani memperoleh harga setinggi-tingginya. Jika harga meluncur turun hingga melewati angka terendah itu, Pemerintahlah yang mesti membeli tembakau petani dengan harga yang ditentukan, sehingga petani tidak merugi. Di situlah sebuah badan dibutuhkan. Jika mengasumsikan hasil panen tembakau nasional sekitar 200 ribu ton setahun, Badan Tembakau ini bisa mencadangkan uang kira-kira Rp 6 triliun. Uang sejumlah itu dapat diambilkan dari cukai tembakau yang diperoleh pemerintah.

 

  1. 2.      Diintensifkannya Sistem Kemitraan Antara Petani dan Pabrikan

Atas dorongan asosiasi petani tembakau, pada tahun 2004, Pemerintah melalui Kemenperindag mengeluarkan Surat Keputusan (SK) tentang Kemitraan. SK ini mengharuskan pabrik rokok melakukan sistem kemitraan dengan petani. Bagi petani, sistem kemitraan ini diharapkan menghasilkan paling tidak tiga hal: 1) asupan teknologi; 2) bantuan sarana produksi; dan 3) penyerapan tembakau petani oleh pasar. Sejauh ini, seperti yang bisa terlihat, SK ini cukup memberikan dampak positif. Pabrikan, dengan cara dan sistemnya masing-masing, telah melakukannya dengan cukup baik. Otomatis, petani jelas diuntungkan.

 

Namun, jelas, sistem kemitraan ini bukannya tanpa kendala. Pertama, pelaksanaannya belum sepenuhnya merata, sebab belum semua sentra tembakau menerapkannya. Kedua, ada kesan bahwa sistem kemitraan akan menggerus peran pedagang perantara, padahal sama sekali tidak. Ketiga, ada kesan pada petani bahwa kemitraan membuat petani terikat dengan pabrikan, sehingga sistem itu akan membatasi petani untuk mendapatkan tawaran harga terbaik. Padahal, sebaliknya, justru sistem ini jauh-jauh hari memberikan rasa aman kepada petani karena tembakaunya pasti terbeli dengan harga yang pantas. Untuk semua kendala ini, adalah tugas Pemerintah untuk melakukan sosialisasi.

 

  1. 3.      Mendorong Perbankan untuk Membuka Pintu Kredit kepada Petani Tembakau

Terancamnya budidaya tembakau oleh peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah, terutama dari perspektif kesehatan, belakangan ini membuat petani tembakau jadi anak haram di loket-loket kredit bank. Bank-bank tidak mau ambil resiko mengucurkan kredit kepada komoditas yang menurut mereka akan segera habis (atau dihabisi) ini. Hal ini sangat menyakitkan bagi petai tembakau. Padahal, uluran kredit dari bank sangatlah penting bagi petani. Bukan saja akan memudahkan permodalan petani, tapi juga sedikit demi sedikit akan mengikis tradisi rente yang selama ini masih jadi masalah dalam tata niaga tembakau.

 

Beruntung Bank Mandiri, sebagai salah satu bank BUMN mendobrak tabu ini dan berani menempuh risiko. Dengan jaminan dari pabrik rokok yang melakukan hubungan kemitraan dengan petani, Bank Mandiri bersedia mengucurkan kredit. Di Temanggung, hal ini belum lama dimulai, yakni pada 2009. Sejauh ini telah menunjukkan gejala yang bagus. Namun, terbukanya pintu kredit dari Bank Mandiri tidak begitu saja menyelesaikan masalah. Problemnya terletak pada kenyataan bahwa Bank Mandiri masih menjadi satu dari sedikit bank yang mau mengucurkan kredit kepada petani. Artinya, Pemerintah perlu mendorong lebih banyak bank untuk melakukan hal serupa.

 

Namun, yang terpentng –dan sekali lagi harus ditegaskan—di sini adalah keberpihakan pemerintah terhadap petani. Jika pemerintah tulus ingin menyejahterakan petani tembakau, maka jelas cara terbaik bukanlah dengan menghapuskan tembakau sama sekali dan/atau meruntuhkan industri kretek dalam negeri secara pelan-pelan –sebagaimana yang belakangan ini ditunjukkan Pemerintah lewat kebijakan-kebijakannya yang “aneh’. Satu-satunya cara menyejahterakan petani tembakau adalah dengan meneguhkan eksistensi tembakau dalam sektor pertanian Tanah Air yang kerap rapuh. Tidak ada cara lain. ***

*Koordinator Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek/KNPK

TRIBUNNERS TERBARU


 

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved