Tribunners / Citizen Journalism
Suka-Duka Relawan BPJS Kesehatan di Palu
Sebagian masyarakat maunya gratis saja sehingga ketika ditagih banyak yang cuma janji untuk bayar iuran BPJS Kesehatan
Editor:
Eko Sutriyanto
Oleh : Nasihin Masha, Staf Ahli Direksi Bidang Komunikasi Publik BPJS Kesehatan
PALU - Tangis Sasma Indru pecah. Wanita paruh baya itu tak kuasa menahan derai air matanya. Ia segera meraih tisu di depannya.
Namun mukanya tetap sembab, dari matanya tetap mengucur air mata.
“Kami memiliki hubungan yang emosional,” katanya sesenggukan. Rasa haru itu segera menyergap seisi ruangan di rumah makan Raja Kuring di tengah kota Palu itu, Sabtu (20/10).
Hari itu, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris bersilaturahim dengan 10 kader JKN-KIS di kota Palu, Sulawesi Tengah.
Memang suasana duka akibat musibah gempa dan tsunami serta likuifaksi pada 28 September 2018 masih menyelimuti warga Palu, Donggala, dan Sigi –satu kota dan dua kabupaten yang terkena dampak paling parah pada musibah tersebut.
Bahkan di Palu ada pemandangan baru, yakni likuifaksi – ketika hamparan tanah bergerak akibat teraduknya tanah dan air membentuk lumpur lalu menelan segala yang ada di atasnya, termasuk perkampungan.
Karena itu, untuk menyemangati para kader, Fachmi bertemu dengan mereka.
Kader adalah sebutan untuk relawan yang membantu BPJS Kesehatan, sebuah program partisipatif masyarakat.
Baca: Sumba Timur Dilanda Gempa Bumi
Mereka bukan karyawan dan tak menerima gaji. Hanya ada honor yang besarannya tidak tetap dalam setiap bulannya.
Sasma adalah warga Talise, sebuah perkampungan yang tak jauh dari pantai. Sebagian peserta JKN-KIS binaannya tersapu tsunami.
Sasma termasuk beruntung karena selamat dari gelombang tsunami.
Ia menangisi warga yang menjadi binaannya selaku kader JKN-KIS.
Warga binaannya tinggal di lokasi yang menjadi pusat Festival Palu Nomoni, agak jauh dari rumahnya. Setiap tahun, pemerintah setempat mengadakan festival Palu Nomoni.
Festival itu bagian dari menyemarakkan hari jadi kota Palu. Tahun ini adalah HUT ke-40 tahun kota Palu.
Malam hari di hari musibah, rencananya festival akan dibuka.
Namun kampung di kawasan itu kini telah lenyap oleh gempa bumi dan disapu tsunami, hanya menyisakan fondasi rumah.
Baca: Pemerintah Gandeng IDI Kaji Opsi Penyelesaian Defisit BPJS Kesehatan
Ada 500 keluarga yang menjadi binaan Sasma.
“Semuanya sudah tak ada. Saya sedih sekali. Hubungan kami sudah emosional,” katanya.
Ia secara rutin menemui mereka dan membantu mereka dalam masalah layanan kesehatan.
Bahkan pas sore harinya, sebelum tsunami terjadi, Sasma baru saja dari sana dan sudah berjanji untuk bertemu mereka besoknya.
Sudah 14 bulan Sasma menjadi kader.
Setiap bulan ia menyambangi 500 keluarga tersebut sehingga mengenal mereka dengan baik.
“Jika saya berkunjung tidak sebentar. Kami ngobrol,” kata Sasma.
Hari itu, di hari musibah, ia seharian berkeliling kampung yang kemudian tersapu tsunami tersebut.
Tak hanya untuk menagih tunggakan, tapi ia juga memberi pengertian tentang program JKN-KIS dan BPJS Kesehatan kepada mereka.
Ia juga mendengarkan keluhan mereka tentang layanan rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya.
“Mereka berjanji besoknya akan bayar. Tapi kini semua sudah tiada,” tangis Sasma pecah lagi.
Rahmi, kader dari Ujuna, Palu Barat, berkisah.
Hari itu ia baru mengantar kartu peserta yang ia bantu daftarkan.
Baca: Tinjau Lapas di Palu, Dirjen PAS Sebut 578 Napi Masih Kabur
Malamnya, usai magrib, ia juga berjanji bertemu peserta binaannya yang tinggal di Perumnas Balaroa.
Semula ia hendak langsung saja, tapi kemudian ia memilih pulang dulu.
Baru tiba di rumah, terjadi gempa dahsyat – sebetulnya gempa hari itu terjadi tiga kali; yang pertama lumayan besar, yang kedua kecil, dan yang terakhir sangat besar.
“Tanah-tanah terbelah, keluar air seperti mendidih. Ada bunyi bum…tembok roboh…. Saya lari saja. Semua kotor terkena lumpur. Tas yang berisi berkas-berkas BPJS Kesehatan hilang,” katanya.
Rahmi mengaku bersyukur tak jadi ke Balaroa, kampung itu amblas ditelan likuifaksi.
Lain lagi pengalaman Ulfa dari Tatura Utara. Hari itu ia baru pulang dari berkunjung ke peserta JKN-KIS.
Karena hari sudah sore, ia langsung pergi mandi. Namun tiba-tiba terjadi gempa.
“Saya lari keluar telanjang bulat,” kisah ibu muda ini.
Walau dalam suasana haru, namun kisah Ulfa ini tak pelak mengundang tawa yang hadir.
Ulfa pun menutup mukanya. Untung ada adik laki-lakinya yang segera memberinya pakaian.
Adapun Fatimah dari Talise bercerita, hari itu ia ada janji dengan peserta binaannya untuk bertemu habis magrib.
“Mau bayar iuran. Tapi kini orangnya sudah tidak ada. Kena tsunami,” katanya.
Kader lain, Masita, hari itu, saat gempa terjadi, sedang bertugas berkunjung ke peserta binaannya.
“Lalu, saya ingat dengan bayi saya yang masih menyusui di rumah,” katanya.
Dengan sepeda motor, ia bergegas pulang. Namun gempa yang terus berulang membuatnya terjatuh lagi, terjatuh lagi. Ia tak surut langkah.
Ada anak bayi di rumahnya.
“Saat sampai, pintu kamar terkunci. Langsung saya dobrak,” katanya.
Umumnya pintu-pintu rumah sulit dibuka setelah gempa karena ada pergeseran.
Anaknya yang berumur 5 tahun dan 2 tahun yang sedang di kasur segera diraihnya.
“Alhamdulillah, begitu bayi saya angkat, lemari roboh di tempat bayi tadi,” katanya.
Program kader JKN-KIS diluncurkan pada 2017.
Para kader bertugas memberikan sosialisasi tentang JKN-KIS dan BPJS Kesehatan.
Selain itu juga menagih iuran peserta mandiri yang menunggak karena itu, banyak suka-duka yang ditemui mereka saat berada di lapangan, seperti yang dialami kader-kader di Palu.
Weni Watae, dari Besusu Timur, Palu, bercerita bahwa masyarakat maunya gratis saja sehingga ketika ditagih banyak yang cuma janji untuk bayar.
Sebagai kader, Rahmi begitu menghayati kesibukannya.
“Dari bangun tidur sampai malam,” kata kader yang pernah meraih tagihan tertinggi ini.
Namun sebagian peserta selalu “tiba masa, tiba akal” saat ditagih.
Padahal tak jarang malam-malam mereka minta tolong untuk dibantu pengurusan kartu atau dibantu ke rumah sakit. Deni Setiawan, kader yang lain bercerita, ada peserta yang tak mau ikut lagi.
“Alasannya tak pernah dipakai,” katanya.
Sedangkan Ramlah bercerita ada peserta yang tak mau bayar iuran lagi karena kecewa.
“Saya diusir. Saya sakit hati karena saat nagih pas bawa anak,” katanya.
Peserta tersebut berkisah bahwa saat berobat, dokternya mengatakan bahwa ada obat yang lebih paten tapi tak dijamin BPJS Kesehatan.
Sedangkan Ulfa menyatakan dirinya kebagian untuk menagih tunggakan di kawasan yang disebutnya sebagai kawasan orang-orang kaya.
“Pas masuk digonggong anjing,” katanya.
Kawasan itu paling banyak nilai tunggakannya, nilainya sekitar Rp 2 miliar.
Mereka mengeluh bahwa setiap berobat pihak rumah sakit selalu bilang bahwa tak ada kelas 1 adanya kelas 3.
Padahal mereka peserta mandiri yang terdaftar dengan fasilitas kelas 1 dengan nilai iuran tertinggi.
Ulfa pun menyebutkan dua rumah sakit swasta di Palu yang sering dikeluhkan begitu. Ternyata cerita Ulfa itu dibenarkan para kader lain. Mereka mendapat keluhan yang sama.
“Jadinya kita yang kena damprat dari peserta,” kata Ulfa.
Fatimah menerangkan bahwa peserta menunggak iuran karena mengaku tak ada waktu. Mereka hanya mau membayar iuran jika hendak berobat.
Mereka umumnya paham bahwa mereka harus membayar iuran. Selain itu mereka juga mengerti tentang aturan menunggak. Jika tiga tahun tak bayar maka boleh bayar satu tahun saja.
Kelonggaran ini yang mereka manfaatkan. Pengalaman Masita mungkin yang paling seru.
“Saya diusir ketika menagih. Pulang…pulang…,” katanya sambil memperagakan gerakan orang itu yang sambil berdiri mengibas-ngibaskan kedua tangannya. Menurutnya, orang itu menunggak Rp 3 juta.
Sebetulnya BPJS Kesehatan telah menyediakan beragam kanal pembayaran untuk kemudahan menunaikan iuran. Bisa melalui bank secara langsung, melalui kantor pos, melalui ATM, melalui mobile banking, melalui indomaret dan alfamaret dan sebagainya.
Namun penunggakan iuran selalu terjadi. Sebagian memang benar-benar tak mampu tapi belum terdeteksi pemerintah untuk didaftarkan melalui jalur peserta Penerima Bantuan Iuran maupun melalui jalur peserta Jamkesda.
Namun sebagian lagi memang mampu untuk bayar iuran sendiri. Nah, peserta terakhir yang menunggak inilah yang menjadi sasaran tugas tim relawan.
Di saat ada musibah seperti saat ini, para kader JKN-KIS di Palu mengaku untuk sementara tak melakukan penagihan. “Bisa dipentung nanti,” kata Rahmi.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.