Rabu, 10 September 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Virus Corona

Pageblug Corona Vs Korupsi

Korupsi di Indonesia telah menjadi pageblug yang tak kalah ganas dan mengerikan.

Editor: Hasanudin Aco
Istimewa
Sumaryoto Padmodiningrat. 

Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat 

TRIBUNNEWS.COM  - Novel Coronavirus atau Covid-19, virus yang menyebabkan infeksi saluran pernapasan dan pencernaan, kini telah menyerang Indonesia dan menjadi "pageblug".  

Isunya pun hiruk-pikuk dan heboh, seolah-olah Corona telah melumpuhkan Indonesia.

Isu-isu lain kemudian tenggelam oleh isu Corona, termasuk isu korupsi.  

Padahal, korupsi di Indonesia telah menjadi "pageblug" yang tak kalah ganas dan mengerikan daripada "pageblug" Corona. 

Bedanya, Corona menyerang fisik, korupsi menyerang mental atau psikis.

Bahkan korupsi berdampak lebih buruk dan jangka panjang, karena korupsi menyebabkan kemiskinan bagi rakyat kebanyakan, antara lain berimplikasi pada maraknya kasus gizi buruk dan stunting. 

Kemiskinan juga berimplikasi luas, seperti terhambatnya pelayanan pendidikan dan kesehatan.

Pelayanan pendidikan yang terhambat menyebabkan kebodohan.

Pelayanan kesehatan yang terhambat menyebabkan munculnya berbagai macam penyakit, antara lain Corona yang dipicu oleh menurunnya daya tahan, kekebalan atau imunitas tubuh. Jadi ada hubungan tak langsung antara korupsi dan Corona.

Bedanya, pageblug Corona membuat para pejabat panik, sedangkan pageblug korupsi membuat para pejabat tetap adem-ayem saja.

Dalam kasus Corona, banyak pejabat lantang bersuara, termasuk memasang target kapan Corona bisa diberantas.

Namun dalam kasus korupsi, para pejabat diam seribu bahasa, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun tak berani memasang target kapan korupsi bisa dienyahkan dari Bumi Pertiwi.

Tampaknya korupsi di Indonesia tak bisa diberantas, sehingga sesungguhnya lebih berbahaya dari Corona.

Karena sudah "familiar" dengan korupsi, maka para koruptor memiliki imunitas atau kekebalan mental dan psikis Inilah penyakit psikis sesungguhnya.

Betapa tidak? Ketika digiring KPK ke ruang tahanan dalam kondisi tangan terborgol dan memakai rompi oranye, misalnya, mereka masih sempat melambaikan tangan ke para awak media sambil tersenyum bahkan tertawa.

Karena sudah familiar melihat pejabat korupsi, rakyat pun tak panik. Sebaliknya, rakyat panik menghadapi pageblug Corona, sebagaimana pejabat

Kepanikan bermula dari pengumuman oleh Presiden Joko Widodo, Senin (2/3/2020), bahwa  dua warga Kota Depok, Jawa Barat, yang merupakan ibu dan putrinya, terjangkit virus Corona setelah berinteraksi dengan mitranya asal Jepang.

Pengumuman ini menambah panjang daftar negara-negara yang terjangkit Corona, virus yang pertama kali diketahui menyerang manusia di Wuhan, Hubei, Tiongkok.

Kini, hampir seluruh dunia terjangkit virus Corona, termasuk Indonesia yang cukup paparan cahaya mataharinya.

Hingga Sabtu (7/3/2020), dilaporkan ada empat kasus Corona di Indonesia. Keempatnya dirawat di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso, Jakarta Utara.

Sontak, pengumuman dari Presiden Jokowi itu bak petir di siang bolong. Kepanikan massal langsung menjangkiti publik, terutama warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) yang langsung “panic buying”, yakni membeli dalam kondisi panik, atau bahkan memborong bahan-bahan makanan serta masker dan hand sanitizer atau cairan antivirus pembersih tangan.

Sementara itu, di seluruh dunia penyebaran Corona telah dikonfirmasi positif di 84 negara.

Data hingga Jumat (6/3/2020) pagi, tercatat 97.885 kasus positif terinfeksi, dengan angka kematian 3.348. Sementara untuk pasien yang sembuh telah mencapai lebih dari 50 persen dari jumlah kasus atau sekitar 53.796.

Mengapa isu Corona demikian menghebohkan? Bukankah penyakit lain, katakanlah demam berdarah dengue (DBD) pada musim penghujan ini, tak kalah ganasnya, sebut saja di Sikka, Nusa Tenggara Timur, di mana 13 orang meninggal akibat DBD dari 1.145 kasus? Sebab penyebaran dan penularan Corona sangat dinamis, berbeda dengan DBD.

Maka wacana yang digulirkan Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin agar Indonesia memberlakukan sertifikasi bebas Corona bagi Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA) yang masuk ke Indonesia hanya akan menjadi isapan jempol belaka.

Dalam terminologi Jawa, apa yang kini menimpa Indonesia dan negara-negara lain di seluruh dunia ini disebut “pageblug”. “Pageblug” yang berasal dari bahasa Jawa berarti masa di mana banyak wabah penyakit menular.

Ironisnya, pageblug Corona jauh lebih menakutkan daripada pageblug korupsi di Indonesia.

Mengapa korupsi di Indonesia disebut pageblug? Ini karena masifnya, dan juga karena melibatkan semua komponen bangsa, termasuk eksekutif, legislatif dan yudikatif atau trias politika.

Transparency International Indonesia (TII) mencatat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2019 masih tergolong rendah, yakni 40 meskipun naik dua poin, dari 38 tahun 2018 lalu. Skor tertinggi IPK adalah 100 yang berarti sebuah negara bersih dari korupsi

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat KPK telah menangani 62 kasus dengan 155 tersangka pada 2019.

Sepanjang 2014-2019, Kementerian Dalam Negeri mencatat ada 105 kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi daerah di 22 provinsi. Dari 105 kasus itu, 90 di antaranya melibatkan bupati atau wali kota, dan 15 kasus lainnya melibatkan gubernur.

Adapun 22 provinsi dan jumlah kasus korupsinya sebagai berikut:

Aceh 4 kasus, Bengkulu 3 kasus, Jawa Barat 16 kasus, Jawa Tengah 8 kasus, Jawa Timur 13 kasus, Kalimantan Selatan 1 kasus, Kalimantan Tengah 1 kasus, Kalimantan Timur 5 kasus, Maluku Utara 3 kasus, NTB 3 kasus, dan NTT 2 kasus.

Kemudian, Papua 5 kasus, Riau 5 kasus, Kepulauan Riau 2 kasus, Sulawesi Selatan 2 kasus, Sulawesi Tengah 1 kasus, Sulawesi Tenggara 5 kasus, Sulawesi Utara 3 kasus, Sulawesi Selatan 6 kasus, Sumatera Utara 12 kasus, Jambi 1 kasus, dan Lampung 3 kasus.

Bila digabungkan, mantan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terlibat korupsi dan pidana lain, total ada lebih dari 365 orang sejak pemilihan kepala daerah (pilkada) digelar secara langsung pada 2004.

Jumlah menteri dan mantan menteri yang terlibat korupsi mencapai puluhan orang. Ini di ranah eksekutif.

Di ranah legislatif, ada ratusan anggota DPR RI dan lebih dari 3.650 anggota DPRD terlibat korupsi.

Di ranah yudikatif, dan yang berhubungan dengan yudikatif, tak sedikit hakim, jaksa, polisi dan pengacara yang terlibat korupsi.

Pucuk-pucuk pimpinan trias politika juga tak luput dari korupsi. Di legislatif ada Ketua DPR RI Setya Novanto dan Ketua DPD RI Irman Gusman. Di yudikatif ada Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, disusul hakim MK Patrialis Akbar.

Pucuk-pucuk pimpinan partai politik juga tak luput dari korupsi, seperti Setya Novanto (Partai Golkar), Anas Urbaningrum dan M Nazaruddin (Partai Demokrat), Luthfi Hasan Ishaq (Partai Keadilan Sejahtera), M Romahurmuzy (Partai Persatuan Pembangunan), dan Patrice Rio Capella (Partai Nasdem).

Korupsi juga sudah masuk desa. Sejak dana desa dikucurkan per 2015, hingga kini ada puluhan ribu kasus korupsi yang melibatkan kepala desa dan perangkat desa. Artinya, saat ini sudah terjadi pemerataan korupsi, mulai dari pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan hingga desa.

Pendek kata, korupsi telah menjadi pageblug bagi bangsa Indonesia, sebagaimana kini Corona. Bedanya, Corona membuat panik, sedangkan korupsi tidak, karena sudah "familiar". 

Dr Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan Anggota DPR RI, Tinggal di Jakarta.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan