Tribunners / Citizen Journalism
Segregasi Sosial dan Memperkuat Optimisme Bangsa
Dilihat secara permukaan atau kasat mata, interaksi sosial, ekonomi, politik dan budaya kita di tengah masyarakat tampak tenang-tenang saja.
Editor:
Malvyandie Haryadi
Maksudnya, sebuah wacana akan berkaitan erat pula dengan konsep kekuasaan. Konsep kekuasaan Foucault berbeda dengan konsep kekuasaan yang telah ada sebelumnya.
Ia mendefinisikan kembali kekuasaan dengan menunjukkan ciri-cirinya, bahwa kekuasaan itu tersebar, tidak dapat dilokalisasi, merupakan tatanan disiplin dan dihubungkan dengan jaringan, memberi struktur kegiatan-kegiatan, tidak represif tetapi produktif, serta melekat pada kehendak untuk mengetahui. Dalam hal ini ia tidak memisahkan antara pengetahuan dan kekuasaan.
Melanjutkan pemikiran eratnya kaitan pengetahuan dan kekuasaan tersebut, kita dapat teringat dengan beberapa pesan motivatif oleh para pendiri bangsa (founding fathers) yang sangat intelektual, agar warga bangsa terus optimis menapaki perkembangan jaman.
Presiden pertama RI Ir Soekarno pada kesempatan pidato HUT Proklamasi Kemerdekaan tahun 1949 menegaskan, kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup di masa pancaroba, tetaplah bersemangat elang rajawali.
Tahun 1963, di kesempatan serupa Bung Karno kembali menandaskan, bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka. Satu lagi ungkapan Putra Sang Fajar yang terkenal menyatakan, perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.
Tak mau kalah dengan sang presiden, wakil presiden pertama RI Drs Muhammad Hatta juga mewariskan beberapa kalimat bijaknya. Beliau berpesan, jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri.
Secara sangat bijak, Bung Hatta juga mengingatkan, kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur sulit diperbaiki.
Menggunakan ungkapan alegoris, negarawan yang dikenal santun dan sederhana ini menyatakan, hari siang bukan karena ayam berkokok, akan tetapi ayam berkokok karena hari mulai siang.
Begitu juga dengan pergerakan rakyat. Pergerakan rakyat timbul bukan karena pemimpin bersuara, tetapi pemimpin bersuara karena ada pergerakan. Namun dengan amat tajam Hatta yang sangat terpelajar mengingatkan, makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekedar nama dan gambar seuntaian pulau di peta.
Dalam konteks mengapa dan bagaimana pengalaman sejumlah negara mampu mengatasi dan keluar dari kesulitan seperti krisis ekonomi--termasuk tentu saja pengalaman Indonesia sendiri--menarik buat kita jadikan referensi atau introspeksi.
Ambil contoh, ketika bangsa Amerika Serikat saat akhir dekade 1920-an dilanda depresi besar. Melalui program New Deal Presiden AS waktu itu Franklin D Roosevelt melancarkan 47 program yang dibagi dalam tiga tahapan eksekusi dari 1933 sampai 1939.
Program-program itu meliputi penutupan dan pemeriksaan kepada semua bank agar dapat sehat secara finansial, pemotongan gaji pegawai pemerintah maupun militer sebesar 15 persen, mempekerjakan sekitar 3 juta orang selama 10 tahun untuk menggarap lahan publik, menukar emas dengan mata uang dolar, mendanai pekerjaan di bidang pertanian, konstruksi, pendidikan, maupun kesenian, dan juga memberikan pinjaman pada para petani buat menyelamatkan ladang ternak dari penyitaan. Hasilnya, pertumbuhan ekonomi Amerika merangkak naik secara signifikan.
Kepada rakyatnya, Roosevelt juga menyuntikkan keyakinan, bahwa: Tugas pemimpin bangsa ialah membujuk, memimpin, berkorban, serta selalu mengajari rakyat. Tugasnya yang terpenting adalah mendidik. Selain itu, ia selalu menyalakan tekad optimisme: Kami selalu berpegang pada harapan, keyakinan, dengan keyakinan bahwa ada kehidupan yang lebih baik, dunia yang lebih baik, di luar cakrawala, We have always held to the hope, the belief, the conviction that there is a better life, a better world, beyond the horizon.
Tengok juga pengalaman menyakitkan bangsa Jepang yang hancur lebur pasca Bom Atom, mampu bangkit bersama pemimpinnya.
Sejumlah sejarawan, seperti penulis buku Hirohito And The Making of Modern Japan (2009) Herbert P. Bix, menggambarkan Hirohito sebagai sosok yang reputasiya melebihi kepala negara. Bagi rakyat Negeri Sakura, Hirohito adalah keturunan dewa matahari Amaterasu.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.