Tribunners / Citizen Journalism
Sekilas Sejarah, Keutamaan Puasa dan Wirid Dalailul Khairat
Banyaknya umat muslim kala itu mengamalkan Dalailul Khairat. Jumlah murid yang menimba ilmu dari Syeikh Jazuli terhitung 12.765 orang
Editor:
Husein Sanusi
Sekilas Sejarah, Keutamaan Puasa dan Wirid Dalailul Khairat.
Oleh: KH. Imam Jazuli Lc., M.A.*
TRIBUNNEWS.COM - Dalailul Khairat adalah sebuah kitab berisi kumpulan sholawat Nabi. Kitab ini disusun oleh pengarangnya berdasar jumlah hari, dari Ahad sampai Sabtu. Tujuannya agar bisa dijadikan wiridan setiap hari oleh para pengamalnya. Pengarang Dalailul Khairat adalah Syeikh Abu Abdullah Muhammad bin Sulaiman al-Jazuli (w. 870 H.), seorang waliyullah besar kelahiran Maroko, Qutubuzzaman pada masanya.
Syeikh al-Jazuli juga seorang pengkader para ulama besar dan da’i ulung. Beberapa murid beliau yang terkenal adalah Syeikh Abu Abdullah Muhammad as-Shaghir as-Suhali dan Syeikh Abu Muhammad Abdul Karim al-Mandzari. Di tangan mereka inilah, banyak orang tergerak menekuni tarekat sebagai jalan menuju Allah swt.
Banyaknya umat muslim kala itu mengamalkan Dalailul Khairat. Jumlah murid yang menimba ilmu dari Syeikh Jazuli terhitung 12.765 orang. Mereka datang dari berbagai penjuru kota dengan latar belakang sosial yang beragam. Tidak saja menuntut ilmu, tetapi juga menyampaikan keluh kesah pada sang Syeikh, mencari berkah dan karomah, serta meminta pertolongan sesuai kebutuhan masing-masing.
Menurut Syeikh Abdul Majid asy-Syarnubi al-Azhari, Syeikh al-Jazuli sendiri adalah seorang pengamal Tarekat Syadziliah. Sebagai wali besar, banyak karomah yang lahir dari tangan Syeikh al-Jazuli. Sebagai kumpulan kitab sholawat Nabi, Dalailul Khairat mendatangkan manfaat yang luar biasa bagi umat (asy-Syarnubi, Syarh Dalailul Khairat, Qohirah: Maktabah al-Adab, 1994:4).
Menurut Syeikh Yusuf an-Nabhani, sebelum mengarang kitab Dalailul Khairat ini, Syekh al-Jazuli bertemu dengan seorang anak kecil perempuan (shobiah) pada kesempatan yang tidak disengaja. Gadis kecil ini digambarkan sebagai seorang yang penuh karomah karena mengamalkan sholawat Nabi. Pada saat itu, Syeikh al-Jazuli pergi ke sebuah sumur untuk berwudu. Tiba-tiba, air dalam sumur kering.
Tidak berselang lama, seorang bocah kecil terlihat berdiri di atas tempat yang tinggi. Syeikh al-Jazuli bertanya, “Siapa dirimu?”. Gadis itu menjawab seraya menyinggung, “engkau ini lelaki yang banyak dipuji orang karena kebaikan. Tetapi, mengapa engkau tampak kebingungan hanya karena air tidak mau keluar dari dalam sumur?!”
Perempuan kecil itu meludah ke atas tanah. Atas izin Allah swt., air menyembur ke permukaan. Syeikh al-Jazuli pun berwudu menggunakan air yang muncul karena karomah itu. Selesai berwudu, Syeikh bertanya: “dari mana engkau mendapatkan derajat mulia semacam ini?” Perempuan kecil itu menjawab, “karena aku sering membaca sholawat kepada dia (Nabi), yang setiap kali berjalan di suatu tempat, binatang-binatang liar pun akan tunduk kepadanya.”
Mendengar jawaban puitis semacam itu, hati Syeikh al-Jazuli tergetar, lalu berkomitmen mengarang kitab Dalailul Khairat , yang berisi sholawat penuh pujian puitis atas Kanjeng Nabi Muhammad Saw (Yusuf bin Ismail an-Nabhani, Jami’ Karomat al-Awliya’, Gujarat: Markaz Ahli Sunnat Barakat Ridha, 2011: 276-277).
Banyak para ulama mengakui berkah kitab kumpulan Sholawat Nabi dalam Dalailul Khairat ini. Syeikh Muhammad al-Mahdi al-Fasi mengatakan, “kitab Dalailul Khairat sungguh betul-betul media Allah melimpahkan berkah dan kenikmatan kepada semua hamba-Nya. Dari ujung barat sampai timur, tidak ada kumpulan sholawat yang lebih indah dan mengagumkan dibanding Dalailul Khairat (an-Nabhani, Dalalat al-Wadihat ‘ala Dalailul Khairat, 2007: 65).
Dalailul Khairat memang dirancang oleh Syeikh al-Jazuli sebagai wiridan. Abdul Qadir Zaki mengatakan, Syeikh Jazuli mendesain susunan kitab Dalail ini agar bisa dijadikan wirid oleh para pengikut dan muridnya, sesuai kemampuan masing-masing. Jika tidak mampu menyelesaikannya sekali duduk, maka bisa dibagi menjadi tiga kali atau empat kali, sesuai arahan dari Syeikh yang memberinya ijazah (Abdul Qadir Zaki, An-Nafkhah al-Aliyah fi Awradis Syadziliyah, Mathba’ah al-Nail, 1321 H.: 48).
Mengamalkan Dalailul Khairat sebagai wiridan sering dibarengi dengan tradisi Shaumud Dahr (Puasa Tahunan). Tradisi ini disebut sebagai adat (al-‘Adah). Secara linguistik, pengertian adat adalah segala sesuatu yang terjadi berulang-ulang. Dalam istilah ulama Ushul Fiqh, tradisi atau adat diartikan sebagai ma istaqorro fin nufus min jihatil ‘uqul wa talaqqathut thiba’us salimatu bil qobul. Segala hal yang sudah mapan di dalam hati dilihat dari segi dalil-dalil rasional, serta bisa diterima jiwa yang sehat (Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Hushni, Kitab al-Qawa’id, Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 1997: 362).
Tradisi Puasa Tahunan (Shaumud Dahr) ini kemudian lebih dikenal sebagai “Puasa Dalail,” yang artinya Shaumud Dahr yang diamalkan bersamaan dengan mengamalkan Dalailul Khairat. Tradisi Puasa Dalail ini sudah terkenal di kalangan umat muslim, baik di Indonesia maupun Timur Tengah. Melati Ismaila Rafi’i mengatakan, masyarakat muslim di sekitar pondok pesantren Jawa Tengah mengenal Puasa Dalail, yaitu puasa yang dilaksanakan selama tiga (3) tahun secara berturut-turut.
Pelaksanaan Puasa Dalail dibarengi dengan pembacaan wirid Dalailul Khairat setiap hari. Namun, sebelum melaksanakan Puasa Dalail, seorang pelaku harus terlebih dahulu meminta izin kepada guru atau mujiz, yang memberikan restu. Praktik Puasa Dalail ini berlandaskan hadits-hadits tentang keutamaan Shaumud Dahr atau Puasa Tahunan (Rafi’i, Tradisi Puasa Dalail Khairat di Pondok Pesantren Darul Falah, Kudus Jawa Tengah, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2019).
Pengamalan Dalail di Nusantara memiliki akar historis yang cukup panjang. Kitab Dalail Khairat menjadi saksi bisu atas perlawanan kaum pribumi terhadap kolonial Belanda. Pada 24 Juni 1784, Kompeni Belanda di bawah komando Van Braam mendarat di Teluk Ketapang, dengan membawa tentara sebanya 734 orang. Nakhoda kapal perang Belanda kala itu adalah Frederik Rudolf Karel, yang beroperasi untuk menghancurkan pasukan Raja Haji dari Malaka. Yang Dipertuan Muda Raja Haji adalah figur alim ulama, yang tiada henti membaca Dalailul Khairat.
Untuk mengobarkan semangat perang melawan kolonial Belanda, Raja Haji bangkit dengan Kitab Dalailul Khairat di tangan kanan dan badik di tangan kiri, hingga beliau wafat sembari memeluk kitab Dalail tersebut (Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah dalam Perang Riau Melawan Belanda 1782-1784, Pekanbaru: Pemprov Daerah Tingkat I, 1989:106).
Semangat perlawanan terhadap kolonial Belanda di Negeri Aceh, yang bergelar Serambi Makkah itu, jauh lebih tua lagi. Pada tahun 1603, Raja Turki singgah ke Aceh. Sebagai simbol perlawanan, setiap Meunasah dan Masjid mengadakan pembacaan Barzanji dan Dalailul Khairat (Qusthalani, Kumpulan Bulan dalam Kalender Aceh dan Keunikannya, Sukabumi: Jejak Publisher, 2018:35).
Sejarah panjang itulah membuat Dalailul Khairat di Aceh ini sudah menjadi bagian dari tradisi dan kesenian mereka, yang ditampilkan bersamaan dengan pembacaan pantun bersahut-sahutan, hikayat pelipur lara, Zikir Aceh, dan lainnya (Pemkot Aceh, Kota Banda Aceh Hampir 1000 Tahun, Banda Aceh: Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II, 1988:107).
Selain simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan kesenian umat muslim, tradisi mengamalkan Dalailul Khairat ini memiliki sanad keilmuan yang valid. Salah satu tokoh besar dari Padang, Guru Para Alim Ulama di Tanah Jawa, adalah Syeikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadangi, Sumatera Barat. Pada 27 Dzul Qa’dah 1387 H., Syeikh Yasin ini sudah menjadi sebagai Guru (Mudarris) di Makkah al-Mukarromah, yang sekaligus pemberi ijazah (mujiz) amalan Dalailul Khairat, termasuk kepada Kiyai Muslim dari Jawa (Sri Mulyati, Peran Edukasi Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah dengan Referensi Utama Suryalaya, Jakarta: Prenada Media, 2010: 175).
Tidak saja diamalkan dalam laku spiritual dan dibawa ke medan perang, kitab Dalailul Khairat ini diabadikan sebagai khazanah literasi intelektual para ulama-sufi kita di Nusantara. Salah satu buktinya, ketika Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari hendak mengarang kitab berjudul Ad-Durrun Nafis, kitab Dalailul Khairat menjadi salah satu rujukan pentingnya. Kitab Dalailul Khairat dikutip bersamaan dengan kitab-kitab besar lain seperti al-Hikam karya Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari, Insanul Kamil karya Abdul Karim al-Jili, al-Jawahir wa al-Durar karya Abdul Wahab Sya’rani, al-Minhah al-Muhamadiyah karya Ibnu Abdul Karim as-Sammani (Abdur Rahman, Biografi Agung Syeikh Arsyad al-Banjari, Selangor: Karya Bestari, 2016: 392).
Tradisi yang digagas Syeikh Nafis al-Banjari ini dilestarikan oleh penerusnya, Syeikh Muhammad Zaini Abdul Ghani al-Banjari, yang dikenal sebagai Guru Sekumpul. Ribuan jamaah Guru Sekumpul yang tersebar di seluruh nusantara bahkan dari luar negeri itu melestarikan pembacaan Maulid al-Habsyi, Sholawat Burdah, dan Dalailul Khairat (Asrori S. Karni, A Celebration of Democracy, Yogyakarta: Era Media Informasi, 2006:92) Dengan kata lain, Dalailul Khairat sudah membumi di luar Jawa.
Sebagaimana di Sumatera dan Kalimantan, para alim ulama di tanah Jawa juga masyhur mengamalkan Dalailul Khairat sejak zaman Wali songo hingga Hari ini, adapun yang paling mutakhir Beberapa yang bisa disebut antara lain: KH. Ahmad Badawi Basyir di Pondok Pesantren Darul Falah, Jekulo, Kudus, Jawa Tengah. Beliau adalah salah satu tokoh penting sekaligus mujiz (pemberi ijazah) dalam sejarah pelestarian amalan Dalailul Khairat. Di Pondok Pesantren Darul Falah ini, wirid Dalailul Khairat diiringi dengan amalan Puasa Dalail (Rifa’i, 2019: xix).
Selain Jawa Tengah, Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri Jawa Timur, juga mengamalkan tradisi Dalailul Khairat. Kiyai Marzuqi juga dikenal sebagai ulama yang mengamalkan sekaligus menjadi mujiz amalan Dalailul Khairat kepada para santri Lirboyo yang ribuan itu (Himasal Lirboyo, “KH. Muhammad Subadar: Empat Dunia KH. Marzuqi Dahlan dan KH. Mahrus Aly,” dalam www.lirboyo.net, 30 September 2019).
Perjuangan ulama lain dari Kediri yang patut dicatat dalam sejarah adalah sosok Kiyai Djazuli, ayahanda dari KH. Zainuddin Djazuli, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso. Menurut kisah Kiyai Zainuddin, ketika ayahandanya (Kiyai Djazuli) mondok ke Makkah, beliau mendapatkan kitab langsung dari Habibullah as-Syintiqiti. Padahal Syeikh As-Syintiqiti ini sudah wafat 200 tahun sebelumnya.
Karena itulah, ketika Kiyai Djazuli melanjutkan studi ke Madinah dari Makkah, yang kala itu tidak ada transportasi, masih gurun sahara yang harus ditempuh dengan jalan kaki, semua kitab disusun rapi dan ditinggal di Makkah, kecuali Dalailul Khairat. Ketika Kiyai Djazuli ditangkap di Madinah oleh Belanda dipulangkan ke Indonesia, semua kitab terpaksa ditinggal di Arab, hanya memakai kaos dan celana, kecuali kitab Dalailul Khairat (Muslim Moderat, “Belajar Agama Secara Instan itu Kurang Barokah,” www.muslimmoderat.net, 25 Maret 2016). Dan masih banyak lagi para Ulama di tanah Jawa yang mengamalkan Tirakat dalailul khairat, yang tidak mungkin disebutkan satu persatu saking banyaknya, bahkan banyak pula pesantren yang menjadikan tirakat puasa dalailul khairat sebagai tradisi kesehariannya.
Selain di kalangan umat muslim Indonesia, pengamalan Dalailul Khairat juga fenomenal di Timur Tengah. Sholeh Muayyad mengatakan, para ulama di Aljazair misalnya melakukan pembacaan kitab Dalailul Khairat setiap hari. Jika mereka merasa kesulitan, maka diselesaikan setengah atau seperempat dari isi kitab saja. Minimal mereka melakukan wiridan Dalailul Khairat satu kali setiap hari Jum’at.
Selama mengamalkan wiridan Dalailul Khairat, para ulama di Aljazair juga mengiringinya dengan puasa Senin-Kamis. Jika mereka merasa kesulitan, maka pembacaan Dalailul Khairat diiringi dengan Puasa Tiga Hari setiap bulan. Sedangkan keturunan Syeikh Muhammad bin Abi Zayyan mengiringi pembacaan Dalailul Khairat ini dengan Shaumud Dahr (Shalah Muayyad, at-Thuruq as-Shufiyah wa al-Zawaya bil Jazair: Tarikhuha wa Nasysyatuha, Irak: Dar al-Burraq, 2002: 214).
Keutamaan Shaumud Dahr ini diterangkan dalam banyak kitab. Ahmad bin Muhammad Qasthalani dalam Kitab Irsyad as-Sari li Syarhi Shahih al-Bukhari menyitir sebuah hadits dari Ummul Mukminin Aisyah ra., bahwa Hamzah bin Amr al-Aslami bertanya tentang Shaumud Dahr. Menurut al-Qashthalani, Shaumud Dahr tidak makruh bagi orang yang merasa tidak mudharat karenanya (Qasthalani, Irsyadus Sari, Mesir: al-Maṭbaʻah al-Kubra al-Amiriyah, 1887:383).
Imam Bukhari juga meriwayatkan hadits dari Anas ra. Berikut ini:
وَعَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ أَبُوْ طَلْحَةَ لَا يَصُوْمُ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَجْلِ الْغَزْوِ، فَلَمَّا قُبِضَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ أَرَهُ مُفْطِرًا إِلَّا يَوْمَ الْفِطْرِ أَوِ الْأَضْحَى. رَوَاهُ الْبُخَارِيْ.
Dari Anas ra., ia berkata, “Abu Thalhah tidak pernah berpuasa Sunah pada masa Nabi Saw hidup, karena selalu mengikuti peperangan. Ketika Rasulullah Saw wafat, saya belum pernah melihatnya berbuka kecuali hari Idul Fitri atau Idul Adha,” (HR. Al-Bukhari).
Sedangkan sabda Rasulullah saw. sendiri tentang Shaumud Dahr sebagai berikut:
مَنْ صَامَ الدَّهْرَ ضُيِّقَتْ عَلَيْهِ جَهَنَّمُ
“Barang siapa melakukan Shaumud Dahr maka neraka Jahanam tidak akan muat menampungnya,” (HR. Ahmad, Nasai, Ibnu Hibban, dan at-Thabrani). Menurut al-Baihaqi dan Ibnu Huzaimah, pengertian “neraka Jahanam tidak akan muat menampungnya” adalah bahwa seseorang yang melaksanakan Shaumud Dahr tidak akan masuk neraka. Menurut al-Haitsami, “rijaluhu rijalus Shahih,” para perawi hadits adalah orang-orang perawi hadits shahih.
Imam Bukhari meriwayatkan hadits dari Aisyah ra., bahwa Hamzah bin ‘Amr al-Aslami bertanya kepada Rasulullah saw.: “Wahai Rasulullah, saya ini berpuasa sepanjang tahun. Apakah saya boleh berpuasa saat perjalanan?” Rasulullah saw. menjawab:
صُمْ إِنْ شِئْتَ وَأَفْطِرْ إِنْ شِئْتَ
“Berpuasalah jika kamu berkenan, berbukalah jika kamu berkenan,” (HR. Bukhari, 1942 dan 1943; Muslim, 1121)
Hal penting yang harus dicatat adalah pengertian dan batasan Shaumud Dahr itu sendiri. Seseorang tetap dianggap berpuasa Shaumud Dahr dengan catatan tidak berpuasa di lima (5) hari yang terlarang; Idul Fitri, Idul Adha, dan Hari Tasyriq. Jika seseorang atas nama Shaumud Dahr tetap memasukkan hari-hari terlarang ini, maka berlakulah sabda Rasulullah saw. berikut ini:
لاَصَامَ مَنْ صَامَ اْلأَبَدَ
“Tidaklah dianggap berpuasa seseorang yang berpuasa sepanjang tahun,” (HR. Bukhari, 1977; Muslim, 1159).
Karena itulah, Imam Nawawi mengatakan bahwa Puasa Tahunan (Shaumud Dahr) tetaplah baik, selama berbuka puasa pada hari-hari yang terlarang (Idul Fitri, Idul Adha, dan Tiga Hari Tasyriq). Imam Ahmad bin Hambal menambahkan, pada hari-hari yang diharamkan berpuasa ini, para pelaku Shaumud Dahr akan berhenti berpuasa dan tidak merusak statusnya sebagai pelaku Shaumud Dahr.
Catatan penting lainnya, seseorang boleh melakukan Shaumud Dahr dengan tetap memastikan stamina tubuh yang fit. Jika atas nama Shaumud Dahr, seseorang mengabaikan kesehatan tubuh, maka berlaku sabda Nabi Saw berikut:
إِنَّكَ إِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ هَجَمَتْ لَهُ الْعَيْنُ وَنَفَهَتْ لَهُ النَّفْسُ لاَ صَامَ مَنْ صَامَ الدَّهْرُ صَوْمُ ثَلاَثَةِ اَيَّامٍ صَوْمُ الدَّهْرُ كُلُّهُ
“Jika engkau melakukan puasa semacam itu maka engkau menghancurkan bola matamu sendiri karena puasa, melemahkan jiwamu karena puasa, tidak dianggap berpuasa orang yang berpuasa Dahr, puasa tiga hari setiap bulan adalah puasa Dahr itu sendiri,” (HR. Bukhari, 1878).
Hadits di atas ini berkaitan dengan Abdullah bin ‘Amr yang berpikir dirinya mampu mengerjakan Shaumud Dahr, namun dalam pandangan Rasulullah saw., Ibnu ‘Amr ini tidak akan mampu sehingga dilarang. Beda halnya dengan Hamzah bin ‘Amr, yang dalam pandangan Rasulullah saw. mampu melakukan Shaumud Dahr, sekalipun harus lelah karena perjalanan jauh, maka Rasulullah saw. mempersilahkan Hambar bin ‘Amr ini melakukan apa saja yang disukainya. Dua hukum berbeda terkait satu amalan yang sama, Shaumud Dahr.
Kesimpulannya, Puasa Dahr adalah amalan para sahabat Nabi Saw., dengan catatan harus sesuai syariat agama, yakni tidak berpuasa di hari-hari yang terlarang dan tetap harus menjaga kesehatan. Para ulama, selain berpuasa Dahr, mereka juga memperbanyak bacaan sholawat Nabi, di antaranya kitab Dalailul Khairat ini (Ahmad Abdurrahman Bana, al-Fath ar-Rabbani lii Tartib Musnad al-Imam Ahmad bin Hambal as-Syaibani, Qohirah: Mathba’ah Ikhwan Muslimin, 1935: 159).
Muhammad bin Abdussalam (w. 1346 H.) dalam kitab an-Ni’am al-Jalail fit Ta’rif Bis Syeikh Muallif Dalail mengatakan, Kitab Dalailul Khairat membawa banyak keberkahan. Selain akan mendapatkan limpahan cahaya penerang jiwa, seseorang yang mengamalkannya juga akan terkabul semua hajatnya, baik itu terkait kebutuhan duniawi maupun kepentingan akhirat kelak. Bahkan, orang-orang yang ingin mendapatkan keberuntungan dalam usaha, bisnis, dan perdagangan misalnya, insya Allah akan terkabul dengan mengamalkan Dalailul Khairat ini (Abdussalam, An-Ni’am al-Jalail, t.t.: 71.)
Sebenarnya, karomah pada Syeikh Jazuli dan kitab Dalailul Khairat ini tidak lepas dari syafaat Rasulullah saw. Sebab, kitab Dalailul itu sendiri hanyalah kumpulan sholawat Nabi. Sementara itu, membaca sholawat kepada Nabi Muhammad Saw merupakan perintah Allah SWT. “Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya,” (QS. Al-Ahzab: 33). Karena itulah, keampuhan mengamalkan Dalailul Khairat sebagai wiridan, ditambah dengan Puasa Dahr, tidak perlu diragukan lagi, terlebih sebagai sarana bagi kita semua untuk mendapatkan kebaikan dunia-akhirat.
Menggunakan bacaan sholawat sebagai wiridan tiap hari sudah pernah diamalkan oleh sahabat Nabi. Tujuan sahabat itu sendiri sebagian memang sebagai wasilah agar terbebas dari duka kehidupan dan masalah-masalah yang tak kunjung selesai.
Sebuah hadits diriwayatkan Imam At-Tirmidzi dengan sanad Hasan Shahih, dari Ubai bin Ka’ab Ra., ia bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, aku ingin memperbanyak sholawat kepadamu. Seberapa banyak harus aku lakukan?” Rasul menjawab: “Sesuka hatimu.” Kemudian Ubai bin Ka’ab berkata: “Seluruh sholawatku akan kupersembahkan untukmu”. Rasul menjawab: “Jika begitu, keresahan hatimu akan dihilangkan dan dosamu akan diampuni,” (HR. Tirmidzi).
Abul Qasim as-Subki dalam kitab ad-Durr al-Munazhzham fi al-Mawlid al-Mu’azhzham meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah saw.,
مَنْ صَلَّى عَلَى رُوْحِ مُحَمَّدٍ فِي الْأَرْوَاحِ، وَعَلَى جَسَدِهِ فِي اْلأَجْسَادِ، وَعَلَى قَبْرِهِ فِي الْقُبُوْرِ، رَآنِي فِي مَنَامِهِ، وَمَنْ رِآنِي فِي مَنَامِهِ رَآنِي فِي الْقِيَامَةِ، وَمَنْ رَآنِي فِي الْقِيَامِةِ شَفَعْتُ لَهُ، وَمَنْ شَفَعْتُ لَهُ شَرَبَ مِنْ حَوْضِي، وَحَرَّمَ اللهُ جَسَدَهُ عَلَى النَّارِ”
“Barang siapa bersholawat kepada Ruh Muhammad di alam arwah, kepada jasad Muhammad di alam jasad, kepada kuburan Muhammad di kubur, maka ia akan melihatku di dalam mimpinya, dan barang siapa yang melihatku di dalam mimpi maka ia akan melihatku di hari kiamat, dan barang siapa yang melihatku di hari kiamat, aku akan memberinya syafaat, dan barang siapa yang aku beri syafaat maka ia akan minum di telagaku, dan Allah akan haramkan jasadnya dari api negara.” Abdul Wahab as-Sya’rani, Kasy al-Ghummah ‘an Jami’il Ummah, Vol. 1, al-Mathba’ah al-Kastiliyyah, 1864:390).
Demikian tentang keutamaan kitab Dalailul Khairat, Puasa dan Wirid Dalail. Semua keberkahan dari Syeikh al-Jazuli maupun kitab monumentalnya tidak lepas dari syafaat Rasulullah saw., karena sholawat Nabi adalah amalan yang paling besar pahalanya, apalagi diiringi dengan puasa sunah. Semua itu adalah ajaran utama dalam agama Islam. Wallahu a’lam bis shawab.
Daftar Pustaka
Abdul Majid asy-Syarnubi al-Azhari, Syarh Dalailul Khairat wa Syawariqul Anwar fi Dzikr as-Shalat ‘alan Nabi al-Mukhtar, (Qohirah: Maktabah al-Adab, 1994).
Abdul Qadir Zaki, An-Nafkhah al-Aliyah fi Awradis Syadziliyah, (Kairo: Mathba’ah al-Nail, 1321 H.)
Abdul Wahab as-Sya’rani, Kasy al-Ghummah ‘an Jami’il Ummah, Vol. 1, (India: al-Mathba’ah al-Kastiliyyah, 1864).
Abdur Rahman Hj. Abdullah, Biografi Agung Syeikh Arsyad al-Banjari, (Selangor: Karya Bestari, 2016).
Ahmad Abdurrahman Bana, al-Fath ar-Rabbani lii Tartib Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal as-Syaibani, (Qahirah: Mathba’ah Ikhwan Muslimin, 1935)
Ahmad bin Muhammad Qasthalani, Irsyad as-Sari li Syarhi Shahih al-Bukhari, (Mesir: al-Maṭbaʻah al-Kubra al-Amiriyah, 1887).
Himasal Lirboyo, “KH. Muhammad Subadar: Empat Dunia KH. Marzuqi Dahlan dan KH. Mahrus Aly,” dalam www.lirboyo.net, 30 September 2019.
Melati Ismaila Rafi’i, Tradisi Puasa Dalail Khairat Di Pondok Pesantren Darul Falah 3 Jekulo Kudus Jawa Tengah, (Skripsi—UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2019).
Muhammad bin Abdussalam (w. 1346 H.) dalam kitab an-Ni’am al-Jalail fit Ta’rif Bis Syeikh Muallif Dalail, terbitan Dar al-Baidha’, Maroko, t.t.: 71.
Muslim Moderat, “Belajar Agama Secara Instan itu Kurang Barokah,” www.muslimmoderat.net, 25 Maret 2016.
Pemkot Aceh, Kota Banda Aceh Hampir 1000 Tahun, (Banda Aceh: Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II, 1988).
Pemrov Riau, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah dalam Perang Riau Melawan Belanda 1782-1784, (Pekanbaru: Pemprov Daerah Tingkat I, 1989).
Qusthalani, Kumpulan Bulan dalam Kalender Aceh dan Keunikannya, (Sukabumi: Jejak Publisher, 2018).
Shalah Muayyad, at-Thuruq as-Shufiyah wa al-Zawaya bil Jazair: Tarikhuha wa Nasysyatuha, (Irak: Dar al-Burraq, 2002).
Sri Mulyati, Peran Edukasi Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah dengan Referensi Utama Suryalaya, (Jakarta: Prenada Media, 2010).
Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Hushni, Kitab al-Qawa’id, Vol. 1, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 1997).
Yusuf bin Ismail an-Nabhani, Jami’ Karomat al-Awliya’, (Gujarat: Markaz Ahli Sunnat Barakat Ridha, 2011).
Yusuf bin Ismail an-Nabhani,, Dalalat al-Wadihat ‘ala Dalailil Khairat, (Makkah: 2007).
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.