Sabtu, 13 September 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Manhaj Tarbiyah Kaum Sufi: dari Takhalli, Tahalli, hingga Tajalli

Jalan utama para sufi sering kali disederhanakan menjadi tiga konsep yang mudah dimengerti.

Editor: Husein Sanusi
Istimewa
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon. 

Manhaj Tarbiyah Kaum Sufi: dari Takhalli, Tahalli, hingga Tajalli

Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*

TRIBUNNEWS.COM - Jalan yang ditempuh para Sufi adalah jalan utama, yang bahkan juga dipilih para Fuqaha’. Imam asy-Syafi’i, Pendiri Mazhab Syafi’iyah, menerangkan tiga perkara yang paling disukainya; tidak memaksakan diri (tark al-takalluf), bergaul dengan lemah lembut (talaththuf), dan mengikuti tarekat ahli tasawuf (Ismail bin Muhammad Al-Ajluni, Kasyf al-Khafa wa Muzil al-Ilbas ‘amma Isytahara min al-Ahadits ‘ala Alsinatinnas, 1/341).

Jalan utama para sufi sering kali disederhanakan menjadi tiga konsep yang mudah dimengerti dan diamalkan, seperti Takhalli, Tahalli dan Tajalli. Tiga istilah konseptual ini bagaikan terminal-terminal yang harus dilalui oleh sebuah perjalanan untuk mencapai tujuan. Tujuan para Sufi tiada lain adalah Allah Swt. Ahmad bin Hanbal, Pendiri Mazhab Hanbali, mengatakan, “aku tidak tahu apakah ada kaum yang lebih mulia dibanding para Sufi,” (Muhammad as-Safarayini, Ghadza’ul Lubab Syarh Manzhumatil Adab, 1/120).

Kemuliaan para Sufi berakar dari perhatian utama mereka untuk menata hati dan pikiran, sebagai hulu bagi setiap perilaku dan perbuatan, dalam kehidupan di dunia. Secara umum, kaum Sufi menempatkan tindakan manusia lahir dari hati dan pikiran. Jika hati baik maka perbuatan akan baik, begitupun sebaliknya. Rasulullah saw sendiri sudah bersabda:

أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika segumpal daging itu baik maka akan baik seluruh tubuhnya, dan jika segumpal daging itu buruk maka akan buruk seluruh tubuhnya, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia,” (HR. Bukhari, no. 52; Muslim, no. 1599).

Perilaku yang baik melahirkan pergaulan yang baik, dan pergaulan yang baik adalah awal membangun masyarakat, bangsa dan negara. Itulah mengapa Imam as-Syafi’i sangat mencintai tarekat atau jalan yang ditempuh oleh para Sufi, karena perhatian kaum Sufi tertuju untuk membersihkan hati manusia dari keburukan, agar tidak lahir perbuatan nyata yang buruk-destruktif.

Membersihkan hati agar tidak menimbulkan kerusakan atau perilaku merusak merupakan tahapan paling awal bagi seorang Salik (penempuh jalur spiritual kaum Sufi). Pembersihan disebut juga sebagai Takhalli, yang berasal dari akar kata Takhalla-yatakhalla-takhalliyan. Berarti mengosongkan diri, melepaskan dari segala dosa, maksiat, perbuatan sia-sia. Takhalli merupakan terminal awal sebelum menuju terminal berikutnya.

Ahmad at-Thayyib ibnu al-Basyir mengutip kata-kata golongan orang-orang Arifbillah, “man takhalla tahalla, wa man tahalla tawalla, wa man tawalla tadalla, wa man tadalla tajalla.” Barang siapa yang sudah melakukan takhalli (pembersihan diri) maka dia akan berias diri (tahalli). Barang siapa yang sudah tahalli maka ia akan tawalla (penuh kasih). Barang siapa penuh kasih maka dia akan menambang kemuliaan (tadalla). Barang siapa yang sudah menambangnya maka ia akan mengalami tajalli Tuhan (Ibnu al-Basyir, an-Nafs al-Rahmani fi al-Thur al-Insani, 270).

Imam al-Ghazali sangat bagus dalam mengarang Juz ke-3 dari kitab Ihya’ Ulumiddin, yang diberinya nama sebagai Rub’u al-Muhlikat (Bagian Hal-hal Yang Merusak). Sifat-sifat buruk yang merusak manusia antara lain: syahwat kelamin, yang semakin liar karena pengaruh makanan; bahaya lidah (mulut) yang suka berdusta, menyebar bibir permusuhan, menghasut, memfitnah, menjilat/memuji demi kepentingan, mengumpat karena amarah, mendengki; keburukan akibat terlalu mencintai dunia, gila kehormatan dan pujian, pamer, sombong, ujub/besar kepala, dan lain sebagainya (al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, 3/39-312).

Perjalanan Takhalli seorang Salik dianggap belum berhasil bila di dalam hati dan pikirannya, apalagi sampai manifes dalam perilakunya, semua hal-hal merusak di atas, maka ia gagal menyelesaikan misi takhalli. Orang yang gagal membersihkan hati dan berbuat keburukan maka ia akan merasakan dampak buruknya. Allah swt berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah membuat mereka merasakan akibat perbuatan mereka sendiri, agar mereka kembali ke jalan yang benar,” (QS. Ar-Ruum: 41). Dalam rangka menghilangkan keburukan tersebut, setiap individu harus menempuh jalan takhalli atau pengosongan diri dari sifat buruk-destruktif.

Apabila tahapan dasar takhalli ini berhasil dilalui, maka tahapan berikutnya adalah tahalli,yang berarti menghias diri. Ketika semua sifat buruk-negatif telah disingkirkan dari hati dan pikiran, serta sedikit demi sedikit perbuatan/tindakan tidak lagi menimbulkan kerusakan di muka bumi, maka seorang Salik perlu menata hati, mengisinya dengan kepribadian luhur nan berbudi pekerti. Lagi-lagi, Imam al-Ghazali, Sang Hujjatul Islam, itu mengarang Jilid ke-4 seri Ihya’ Ulumiddin yang disebutnya sebagai Rub’ul Munjiyat (Hal-hal Yang Menyelamatkan).

Halaman
12

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan