Sabtu, 4 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Paradoks Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia

Kunjungan Paus Fransiskus SJ, yang bernama lahir Jorge Mario Bergoglio, ke Indonesia mulai 3-6 September 2024 adalah momentum yang dinanti sekian lama

Editor: Dodi Esvandi
AFP/BAY ISMOYO
Paus Fransiskus (tengah, di kursi roda) disambut saat kedatangannya di Bandara Internasional Soekarno Hatta di Jakarta pada 3 September 2024. 

Oleh: Algooth Putranto

Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya

Awal April 2024, bagi saya adalah salah satu momentum yang bikin pening hidup saya.

Dua telepon dari dua orang terpisah meminta saya berangkat ke Vatikan sungguh bikin senewen di tengah isu pelemahan kelas menengah di Indonesia. Jelas!

Tidaklah murah bepergian ke Eropa!

Namun entah bagaimana, mungkin memang benar tamsil ‘Atasan Paus di Vatikan’ selalu punya rencana misterius untuk kita, termasuk jalan keluar bagi kelas menengah nanggung seperti saya.

Repotnya surat undangan dari Trias Kuncahyono, Dubes Indonesia untuk Takhta Suci belum di tangan saya.

Sekali lagi, entah bagaimana, tiba-tiba Amrih Jinangkung, Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu mengajak makan siang.

Dan hanya hitungan jam, surat undangan sebagai modal pengurusan visa bukan masalah besar.

Baca juga: Disambut Presiden Jokowi, Paus Fransiskus Tiba di Istana Merdeka

Sisanya dan singkatnya, di tengah hari libur kejepit Idul Fitri, saya berhasil menapakkan kaki di Vatikan, sebuah negara mini di tengah negara Italia.

Meski negara mini dan tidak menjadi anggota PBB, jika Paus atau pemimpin Vatikan batuk-batuk kecil maka suaranya ibarat gempa hingga ke ujung dunia.

Paus tak perlu pidato yang berapi-api laksana singa panggung Presiden Soekarno atau penuh amarah serupa Nikita Khrushchev, pemimpin Uni Soviet.

Sebaliknya pidato semua Paus, termasuk Paus Fransiskus, SJ saat menyampaikan homili dengan intonasi yang datar.

Penyampaian pesan yang datar ini kerap kali menjadi senjata Paus, termasuk saat menyampaikan ‘amarah’ pada paradoks ketidakadilan dunia.

Jika Anda tidak jeli, maka, ya seperti saya: tertidur di tengah misa dipimpin Paus di Lapangan Santo Petrus.

Kunjungan Paus Fransiskus, SJ, yang bernama lahir Jorge Mario Bergoglio, ke Indonesia mulai 3-6 September 2024 adalah momentum yang dinanti sekian lama.

Butuh 35 tahun, umat Katolik Indonesia kembali dikunjungi GembalaNya.

Baca juga: Paus Fransiskus Tiba di Istana, Disambut Jokowi hingga Salami Sejumlah Anak

Pada sisi lain, selain empat hari kunjungan tersebut menyimpan paradoks yang ada di depan mata.

Benar secara umum, Indonesia kini dalam kondisi damai (peace), namun di Papua masih ada ketidakdamaian (peacelessness).

Bicara kedamaian, maka tidak bisa dibantah adanya pemaknaan yang direduksi sekadar bicara pada tidak ada perang atau tidak ada konflik atau perspektif negara yaitu keamanan dan kedaulatan.

Padahal perspektif keamanan seharusnya lebih luas yakni keamanan manusia (human safety) yang menjadi warganegara.

Keamanan sebagai individu manusia, tak terpisahkan dari kebahagiaan (happines), harus diletakkan sama pentingnya dengan keamanan negara.

Seorang Imam, yang sedang menempuh pendidikan Teologi lanjutan di Roma pun tak menampik bahwa kondisi keamanan di Papua yang sudah menjadi perhatian dunia internasional turut berdampak pada proses penggembalaan umat yang kini di tangan Uskup Jayapura, Mgr Yanuarius Theofilus Matopai You dan Uskup Agung Merauke Mgr. Petrus Canisius Mandagi.

Saya yakin, persoalan keamanan Papua akan menjadi salah satu topik yang akan dibahas dalam pertemuan pribadi Bapa Paus dan Presiden Joko Widodo.

Jika tidak pintar menangkap pesan Paus, tidak menutup kemungkinan ada konsekuensi besar di masa depan, serupa Timor Timur.

Baca juga: Setara Institute: Kunjungan Paus Fransiskus Momentum Refleksikan Toleransi

Paradoks Izin Tambang

Paradoks berikutnya adalah Peraturan Pemerintah (PP) No 25 Tahun 2024 yang memungkinkan organisasi kemasyarakatan (ormas) dan keagamaan untuk mengelola pertambangan.

Nah untungnya Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) langsung menolak turut serta mengelola tambang.

Para gembala umat Katolik Indonesia memilih bertekun pada profetik: menjalani tugas kerasulan diakonia (pelayanan), kerygma (pewartaan), liturgi (ibadat), dan martyria (semangat kenabian).

Sekaligus menjaga keselarasan hidup dengan lingkungan.

Sikap KWI bukan hal aneh, apalagi Paus Fransiskus mendorong “ekologi integral” dalam ensiklik kedua-nya: ‘Laudato Si' yang salah satunya menyoroti peran bahan bakar fosil dalam menyebabkan perubahan iklim.

Dan soal tambang ini, para imam Katolik memahami kompleksitas pertambangan karena merupakan bagian mendasar dari rantai pasokan global yang menghubungkan masyarakat, negara, dan bisnis.

Pada sisi lain, pertambangan disadari memiliki ekses bagi daerah dan komunitas tertentu, seringkali di daerah terpencil yang jauh dari pengawasan dan di wilayah-wilayah yang dihuni oleh masyarakat adat atau masyarakat terpinggirkan lainnya.

Baca juga: Suasana Jelang Kedatangan Paus Fransiskus di Istana Merdeka Jakarta

Keberpihakan Gereja Katolik pada perjuangan melawan eksplorasi alam cukup panjang.

Sejumlah penambangan logam di Amerika Selatan hingga Asia gigit jari.

Sementara di Indonesia, gereja Katolik tak malu-malu ada di balik gerakan Kendeng, Manggarai (Flores) dan lain-lain.

Bukan rahasia lagi kecenderungan eksplorasi tambang menempatkan warga negara menjadi subordinat di hadapan negara.

Apalagi negara, sebagaimana disebutkan Weber, menjelma menjadi sistem kekuasaan yang absolut.

Jika di masa Orde Baru, warga yang menolak tambang akan diberi stempel komunis, maka di masa kini, masyarakat penolak tambang, tanpa diberikan pengakuan (rekognisi) dan ruang dialog langsung diberi cap: anti pembangunan.

Tekanan yang diberikan negara bagi warganegaranya tak hanya dilakukan melalui kekerasan fisik di ruang nyata, namun juga di dunia maya melalui pendengung (buzzer) yang mengaburkan kebenaran di ranah media sosial.

Maka benarlah jika Yuval Noah Harari menyatakan kehidupan era revolusi digital justru melahirkan kedigdayaan Homo Deus dengan mencerabut eksistensi Homo Sapiens untuk hidup harmoni saling memerlukan.

Saya rasa, pembicaraan tentang tambang yang ramah alam dan manusia juga menjadi salah satu hal yang harus dengan pintar disampaikan Presiden Jokowi, saya percaya fatwa Paus akan menjadi modal melunturkan sikap keras Uni Eropa pada Indonesia.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved