Tribunners / Citizen Journalism
Membongkar Epistemicide dalam Sistem Hukum Nasional
Di Indonesia, epistemicide dilembagakan, dijustifikasi, dilanggengkan oleh sistem hukum nasional yang berdiri di atas fondasi hukum kolonial.
Oleh: Dr. Bakhrul Amal, S.H., M.Kn
Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta
TRIBUNNEWS.COM - Di sebuah surau di lereng pegunungan Desa Tumaritis (bukan sebenarnya) seorang Tetua Adat duduk bersila.
Anak-anak muda yang baru tumbuh kemarin sore tampak duduk di hadapannya.
Mereka menyimak dengan serius setiap ucapan Tetua Adat tadi tentang apa yang disebut sebagai "hukum leluhur".
Tetua Adat perlahan tapi pasti menjelaskan tentang batas-batas tanah warisan, tentang hutan yang tidak boleh ditebang sembarangan, dan tentang sungai yang tak boleh dinodai.
Sikap baik kepada yang lebih tua, membangun hubungan harmonis, dan kewajiban gotong royong pun tak luput dijelaskan oleh Tetua Adat itu.
Penjelasan Tetua Adat muncul hanya berdasarkan ingatan an sich. Literally sebatas ingatan akan ucapan nenek moyang, tanpa didukung oleh dokumen lengkap yang dibubuhi meterai.
Akan tetapi di sana, di Desa Tumaritis, hukum tetap hidup dan wajib dijalankan, kemudian secara terus-menerus diwariskan dari mulut ke mulut, dan diimani dari hati ke hati.
Hukum Tetua Adat itu tidak tercatat dimana pun. Tidak tersimpan di perpustakaan, tidak pula dikenal oleh para sarjana yang lebih sering mempelajari hukum luar negeri.
Di ruang sidang pun hukum Tetua Adat tadi tak punya ruang.
Oleh negara, hukum Tetua Adat itu hanya dipandang sebagai "kearifan lokal", "kebiasaan", "mitos", atau sebatas aturan yang dalam konteks hukum modern mungkin dikategorikan "bukan hukum".
Baca juga: Saatnya Membentuk Lembaga Pengawas Pertanahan dan Reforma Agraria
Epistemicide
Kondisi hilangnya marwah titah Tetua Adat di negara modern tadi adalah kondisi yang disebut oleh Boaventura de Sousa Santos, ahli Sosiologi Hukum, sebagai epistemicide atau epistemisida.
Kondisi pembunuhan, penghancuran atau pembungkaman sistem pengetahuan secara sistematis, khususnya sistem pengetahuan yang dimiliki oleh kelompok terpinggirkan atau terjajah termasuk kelompok adat.
Di Indonesia, epistemicide itu bukan sekadar terjadi. Di Indonesia, epistemicide dilembagakan, dijustifikasi, dan dilanggengkan oleh sistem hukum nasional yang terlalu lama berdiri di atas fondasi hukum-hukum kolonial.
Kita bisa melihat sejarah bahwa pasca kemerdekaan Negara Indonesia ini mewarisi sistem hukum Belanda.
Jenis, isi, dan tata cara pembentukan dari mulai kodifikasi maupun pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru semua mengikuti pola Barat.
Sementara hukum adat, atau hukum yang justru menjadi roh kehidupan masyarakat Nusantara sejak dahulu, hanya diberi ruang sebagai pelengkap.
Dia sesekali dipertimbangkan, dengan asas legalitas materiil, itupun apabila tidak ada hukum tertulis atau recht vacuum.
Hukum adat artinya diposisikan hanya menjadi bayang-bayang bukan indikator utama pembangunan hukum nasional.
Padahal, jika kita hendak jujur, hukum adat di Indonesia itu bukan sekadar kumpulan kebiasaan.
Hukum adat di Indonesia adalah sistem pengetahuan, etika, dan spiritualitas yang menyatu dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Ia memiliki struktur, sanksi, lembaga, dan nilai yang benar-benar konkret.
Akan tetapi karena tidak dimasukkan ke dalam aturan perundangan-undangan, tidak ada dalam rumusan pasal-pasal, dan tidak ditulis dengan bahasa hukum, ia kemudian dianggap "tidak ilmiah".
Legitimasi Barat
Tanpa kita sadari sesungguhnya, di luar dari adanya kebaikan yang ditimbulkan, pengetahuan hukum Barat bukan hanya datang sebagai sistem.
Pengetahuan hukum barat juga hadir sebagai pola pikir, sudut pandang, bahkan ideologi.
Ia mencoba memaksa sarjana dan penegak hukum Indonesia untuk mengutamakan universalitas, netralitas, dan rasionalitas.
Dengan pola pikir itu, kemudian setali tiga uang artinya hukum adat yang kontekstual, berbasis hubungan sosial dan nilai kolektif, dianggap "tidak modern" dan harus "diperbarui".
Melalui pola pikir berhukum yang telah terbentuk tadi lantas lembaga-lembaga hukum di negeri ini seringkali mengabaikan suara masyarakat adat.
Sebagai contoh ketika tanah adat dirampas oleh perusahaan melalui bantuan negara (dalam bahasa Frederic Bastiat disebut dengan legal plunder) dan masyarakat mengadu ke pengadilan.
Mereka kemudian dihadapkan pada logika hukum yang tak mengenal nilai sakral tanah bagi leluhur mereka.
Dalam sistem modern, tanah adalah objek ekonomi, kepemilikannya harus disertai bukti formil, bukan sekadar klaim suatu warisan spiritual.
Di pengadilan juga kesaksian lisan tanpa disertai bukti formil tidaklah dipertimbangkan.
Kesaksian kultural atau kesaksian lisan berdasarkan penjelasan secara turun-temurun yang sering dilakukan oleh masyarakat adat akhirnya tidak memiliki poin apapun.
Kesaksian itu harus kalah oleh secarik kertas kepemilikan tanah dari lembaga otoritatif.
Pada momen yang lain yakni ketika masyarakat adat menegakkan hukum sendiri seperti melarang budaya modern, melarang tambang masuk dan membatasi wilayah mereka dengan ritual leluhur, mereka malah dituduh sedang melakukan tindakan melawan hukum negara.
Atau dalam momen tertentu seseorang dianggap melakukan persekusi. Padahal sejatinya ia sedang menjalankan sanksi adat yang dianggap wajar oleh masyarakatnya.
Seorang tokoh adat pun dapat dikatakan melakukan tindakan kriminal karena melakukan upaya eksekusi lokal dengan menyita barang milik orang lain dalam kasus sengketa adat.
Semua itu terjadi karena tindakan yang dilakukan oleh mereka itu bertentangan dengan hukum tertulis tanpa terlebih dahulu melihat maksud dan tujuan dari sudut pandang masyarakat hukum adat.
Di sinilah apa yang dikatakan oleh Sousa Santos sebagai epistemicide menemukan wujud konkretnya. Di mana pengetahuan lokal justru dianggap sebagai pelanggaran hukum bukan sebagai sumber keadilan.
Netralitas Hukum Menurut Brian Tamanaha
Menurut Brian Tamanaha sesungguhnya hukum tidaklah netral.
Hukum selalu muncul dan berdiri di tengah tarik-menarik kekuasaan dan kepentingan. Situasi itu lantas memakan korban.
Dalam banyak kasus tentu yang dikorbankan adalah mereka yang tidak memiliki suara di pusat seperti masyarakat adat, komunitas lokal, dan pemilik pengetahuan tradisional.
Secara dokumen memang negara ini telah banyak membuat undang-undang untuk mengakui masyarakat hukum adat.
Akan tetapi dalam praktiknya upaya untuk memberikan pengakuan itu amatlah kompleks, bersyarat, rumit, dan penuh birokrasi.
Seolah-olah, dalam bahasa kekuasaan, negara hanya akan mengakui adat jika adat itu sudah terlebih dahulu tunduk pada sistem hukum negara.
Padahal yang benar dan logis semestinya negaralah yang harus belajar dari masyarakat adat.
Dari mereka, negara bisa melihat hukum sebagai sesuatu yang mengakar, yang lahir dari kebutuhan hidup bersama, bukan dari rumusan di atas kertas.
Dari mereka juga negara belajar bahwa hukum itu tidak sekedar untuk menyelesaikan konflik.
Tetapi hukum yang ditegakkan harus juga untuk menjaga hubungan baik sesama manusia dan hubungan baik antara manusia dan alam.
Penutup
Epistemicide dalam beberapa hukum nasional di Indonesia bukan sekadar persoalan akademik atau konseptual tetapi persoalan penghargaan terhadap warisan kebudayaan.
Epistemicide ada, nyata, menyakitkan, dan terus berlangsung di Indonesia.
Ia terlihat, tampak cetho welo-welo dalam setiap penggusuran tanpa konsultasi, dalam setiap perampasan wilayah adat, dalam setiap kriminalisasi masyarakat adat, dan dalam ketidakmampuan hukum negara untuk memahami bahasa masyarakatnya sendiri.
Untuk melawan epistemicide dan memperbaiki pola berhukum yang ada saat ini, kita tidak bisa hanya sekedar menambahkan kata “pengakuan hukum adat” dalam undang-undang.
Yang lebih penting dan utama adalah kita perlu membongkar cara berpikir hukum kita, membuka ruang bagi pluralisme hukum, dan membangun dialog antar sistem pengetahuan secara setara.
Hal ini harus kita lakukan karena pada akhirnya keadilan bukan hanya tentang kepastian hukum.
Keadilan juga tentang penghormatan terhadap pengetahuan adat, terhadap sejarah, dan terhadap cara hidup orang banyak.
Dan selama hukum negara masih "membunuh" pengetahuan adat yang hidup (living law) maka keadilan yang diharapkan bersama di Negeri Khatulistiwa ini hanya akan jadi ilusi di atas meja rapat. (*)

Sumber: TribunSolo.com
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Meski Tak Lagi di DPR, Rahayu Saraswati Dinilai Jadi Teladan Politik Generasi Muda |
![]() |
---|
Jadwal Perempat Final China Masters 2025: Aroma Balas Dendam Fajar/Fikri dari Utusan Malaysia |
![]() |
---|
Garuda Gabung TIACA, Indonesia Kini Punya Suara di Forum Kargo Udara Global |
![]() |
---|
Klasemen Futsal Four Nations Cup 2025 - Indonesia Pertama Berkat Pesta, Belanda Susah Payah 3 Poin |
![]() |
---|
Toyota Luluskan 70 Mahasiswa AKTI, Siapkan SDM Unggul Hadapi Era Elektrifikasi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.