Kamis, 2 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

ID Istana yang Dicabut dan Dikembalikan: Alarm bagi Kebebasan Pers di Era Prabowo

Pengembalian ID Istana Diana Valencia jadi titik balik penting kebebasan pers pasca insiden pencabutan oleh BPMI.

Editor: Glery Lazuardi
Tribunnews.com/Abdi Ryanda Shakti
ROY SURYO - Pengembalian ID Istana Diana Valencia jadi titik balik penting kebebasan pers pasca insiden pencabutan oleh BPMI. 

 Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes

  • Pemerhati Telematika, Multimedia, AI dan OCB Independen 
  • Menteri Pemuda dan Olahraga dari Januari 2013 hingga Oktober 2014

Latar Belakang Akademik

  • Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM).
  • Pernah mengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan menjadi dosen tamu di UGM

TRIBUNNEWS.COM - Pengembalian ID Peliputan Istana milik Diana Valencia (CNN Indonesia) pada 29 September 2025 bukan sekadar pemulihan akses jurnalistik, melainkan sinyal kuat bahwa kebebasan pers di Indonesia tengah diuji.

Pencabutan sepihak oleh BPMI setelah pertanyaan kritis kepada Presiden Prabowo Subianto menunjukkan betapa rentannya ruang demokrasi ketika kontrol informasi dipertentangkan dengan transparansi.

Momen ini menjadi alarm penting: bahwa pers sebagai pilar keempat demokrasi tak boleh dibungkam, bahkan oleh istana sekalipun.

Insiden awal terjadi pada Sabtu, 27 September 2025, ketika Diana mengajukan pertanyaan kepada Presiden Prabowo Subianto terkait dugaan anak-anak sakit akibat makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Malam harinya, BPMI Sekretariat Presiden mencabut ID Peliputan Istana milik Diana dan mengirimkannya ke kantor CNN Indonesia.

Tindakan ini memicu kritik luas dari organisasi pers seperti PWI, IJTI, Dewan Pers, serta protes dari masyarakat dan netizen yang menilai pencabutan tersebut sebagai bentuk pembungkaman pers.

Pada Senin siang (29/09/2025), diadakan acara resmi pengembalian ID di Istana Negara. Dihadiri oleh Diana Valencia (CNN Indonesia), Mohammad Yusuf Permana (Deputi Biro Protokol, Pers dan Media Istana), Erlin Suastini (Sekretariat Presiden), Titin Rosmasari (Pemimpin Redaksi CNN Indonesia), dan Totok Suryanto (TVOne, mewakili Dewan Pers 2025–2028).

Dalam acara tersebut, pihak Istana menyampaikan permohonan maaf resmi dan berjanji insiden tidak akan terulang.

Hal terpenting selain Kartu ID Istana Diana telah dikembalikan secara penuh beserta seluruh hak-haknya yang melekat dalam Kartu tersebut, Istana menyampaikan permintaan maaf terkait pencabutan kemarin. Pemerintah/istana menyatakan insiden tidak akan terulang.

Dalam kasus kemarin beberapa poin penting dari UU Pers No. 40 tahun 1999 yang relevan ada di Pasal 2 yang menyebutkan bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat dan bahwa pers nasional harus bebas dari campur tangan atau paksaan dari mana pun. Kemudian Pasal 3 menyatakan bahwa pers nasional sebagai institusi sosial mempunyai hak dan kewajiban serta peran dalam penyebarluasan gagasan dan informasi.

Selanjutnya Pasal 4 ayat (1) dan (2): pers memiliki kebebasan, dan terhadap pers nasional tidak dapat dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. Selain itu ada Pasal 8 yang berbunyi "Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.”  selanjutnya Pasal 18 mengatur sanksi pidana terhadap siapa pun yang secara sengaja menghambat tugas pers, yaitu melawan hukum menghalangi kebebasan pers (ancaman pidana/denda). 

Beberapa hal penting lainnya adalah UU Pers juga mengakui hak tolak, hak jawab, dan hak koreksi sebagai mekanisme kontrol internal terhadap pemberitaan media.

Selanjutnya UU Pers bukan mengatur akses khusus ke lembaga negara seperti istana secara rinci, tetapi menegaskan bahwa pers harus bebas dari hambatan (termasuk dari pejabat negara) dalam menjalankan tugasnya, selama mematuhi hukum dan etika jurnalistik.

Meskipun UU Pers tidak secara khusus mengatur akses ke istana, ada undang-undang lain terkait keterbukaan informasi publik, seperti UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), yang mewajibkan badan publik (termasuk lembaga negara) menyediakan akses informasi kepada masyarakat selama bukan informasi yang dikecualikan. (Catatan: ini bukan UU Pers tetapi sering menjadi basis tuntutan keterbukaan).

Dalam praktiknya, hubungan antara pers dan istana harus mempertimbangkan prinsip transparansi dan kebebasan pers. Istana sebagai lembaga negara memiliki tanggung jawab untuk memberikan akses kepada pers, selama prosedur protokol dijalankan.

Dalam insiden pencabutan ID Pers Diana, BPMI menyampaikan permohonan maaf dan mengembalikan ID Pers, dengan alasan bahwa tindakan tersebut “di luar konteks agenda” dan bahwa istana menghormati azas keterbukaan dan kebebasan pers menurut UU Pers.

Dewan Pers dan organisasi pers meminta agar kasus seperti ini tidak terulang dan menegaskan bahwa akses pers tidak boleh dihambat sewenang-wenang, berpegang pada UU Pers. 

Kesimpulannya, UU Pers No 40 tahun 1999 telah menjadi payung hukum dasar yang melindungi tugas pers dari hambatan, dan mekanisme akses ke istana (seperti ID Pers Istana) harus dijalankan sesuai prosedur yang adil dan transparan agar tidak melanggar prinsip kebebasan pers.

Trias Politica saat ini (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif) telah berkembang menjadi Tetras Politica dengan kehadiran Media sebagai Pilar keempat demokrasi, hal ini secara panjang lebar sudah saya tuliskan dalam Buku "Jokowi's White Paper" yang kini audah beredar luas dan dapat dimiliki secara bebas melalui berbagai Reseller resmi yang tersedia. 

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved