Jumat, 22 Agustus 2025

Dulu Makanan Pokok, Sekarang Tiwul Bantul Jadi Oleh-oleh

Dulu tiwul bagi warga Desa Mangunan, Dlingo, Bantul adalah makanan pokok. Sekarang fungsinya beralih jadi oleh-oleh.

zoom-inlihat foto Dulu Makanan Pokok, Sekarang Tiwul Bantul Jadi Oleh-oleh
TRIBUN JOGJA
Tiwul jadi makanan khas Bantul

TRIBUNNEWS.COM - Dulu tiwul bagi warga Desa Mangunan, Dlingo, Bantul adalah makanan pokok. Seiring majunya teknologi pertanian, membuat tanaman padi bisa ditanam dalam kondisi tanah yang sulit, maka makanan tiwul mulai bergeser dari makanan pokok menjadi makanan khas sebagai oleh-oleh.

Tiwul dibuat dari kelapa dan tepung gaplek, proses pembuatannya pun cukup mudah, setelah adonan gaplek dan kelapa di aduk, kemudian dikukus menggunakan tungku.

Salah satu warga Desa Mangunan, yang hingga kini ikut melestarikan dan masih memproduksi makanan ini adalah Suminem (49) dan suaminya Bargimun (57). Pemilik home industri tiwul Mbok Sum ini mulai merintis usahanya sejak tahun 1997.

Awalnya hanya dipasarkan ke pasar-pasar maupun ke lingkungan kantor setempat, namun saat ini sudah dipasarkan sampai ke luar Bantul seperti Klaten dan Magelang (Jawa Tengah).

"Dulu hanya dijual dengan berkeliling pakai sepeda motor ke kantor dan rumah-rumah, lama-lama banyak peminatnya sampai sekarang, " ujar Mbok Sum panggilan akrabnya.

Lanjutnya, pesanan tiwul ramai saat liburan tiba, terutama ketika libur panjang akhir pekan. "Pas liburan dan hari Minggu pesanan ramai, sehari bisa sampai 300 dus, namun kalau hari biasa rata-rata sebanyak 200 dus," kata Mbok Sum.

Untuk harga, tiwul Mbok Sum hanya dijual dengan harga Rp3.500 sampai Rp4.000 perdus. Variasi rasapun dibuat Mbok Sum agar penikmat tiwul tidak bosan.

"Kita sementara ini ada tiga varian rasa, yaitu gula jawa, pasir, dan gurih," jelasnya.

Untuk tiwul gula jawa, tiwul original yang berasa gurih ditaburi gula jawa di atasnya, sedangkan untuk tiwul pasir, mempunyai rasa lebih manis dari tiwul yang original, dan tiwul gurih adalah sebutan lain untuk tiwul rasa original.

Sementara itu, saat ini penjualan tiwul Mbok Sum perharinya bisa mencapai sebesar Rp1 Juta lebih. Dibantu tiga anggota keluarganya ia turut terjun langsung membuat tiwul, namun jika pesanan ramai Mbok Sum harus mencari tenaga tambahan yang berasal dari tetangga kanan-kiri.

"Untuk masalah keuntungan saya tidak pernah menghitung secara pasti, yang jelas bisa bertahan hingga sekarang sudah bersyukur," katanya.

Kendala yang dihadapi dalam usahanya ini terletak pada pasokan tepung gaplek yang lambat laun mengalami penurunan.

"Memang tidak pernah sampai kehabisan stok gaplek, tapi memang pasokannya sudah berkurang. Mungkin karena semakin sedikit yang berminat membuat gaplek," ungkapnya.

Saat ini, ia mengaku bersyukur karena mendapatkan berkah dari berjualan tiwul. Ia juga ingat ketika kecil tiwul adalah makanan pokonya pengganti nasi, tak menyangka kini justru menjadi sumber penghidupan keluarganya.

"Ini yang disebut berkah dari adanya kesulitan. Kalau tidak ada kekeringan disini, mungkin tidak akan pernah ada tiwul," katanya.(Yudha Kristiawan)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan