Senin, 8 September 2025

Peneliti: Ditekan Pasar, Tata Niaga Beras yang Dijalankan Pemerintah Tak Adil Bagi Petani

Pemerintah melakukan pembatasan harga jual di petani, padahal harga pasar sedang bagus-bagusnya.

Editor: Choirul Arifin
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Ilustrasi panen padi. 

Laporan Reporter Kontan, Havid Vebri

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -  Petani padi merupakan aktor terpenting dalam rantai produksi beras nasional. Sayangnya, petani juga terdidentifikasi sebagai aktor terlemah dalam rantai tersebut. 

“Petani memiliki pengaruh dan kekuatan sangat rendah dalam menentukan harga komoditas beras,” kata Hariadi Propantoko, peneliti pertanian dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), dalam pemaparan atas hasil kajian KRKP yang membedah peta aktor perberasan nasional, di Bogor, Sabtu (24/11/2018).

Hariadi menjelaskan, petani berada dalam tekanan pasar dan intervensi pemerintah.

Saat pemerintah tidak hadir, dalam payung hukum yang ada belum mampu melindungi usaha petani, petani berada pada bayang-bayang kekuatan pasar yang cenderung berpihak pada pemodal besar, dan sering menjadikan petani sebagai obyek pasar. 

Hal ini sering kali ditunjukkan dengan kondisi harga pasar yang fluktuatif, dimana saat petani mendapatkan panen berlimpah, justru saat itu harga panen menurun.

Baca: Banyak Motor Mogok Terjebak Banjir di Kolong Tol JORR Bintara

“Saat panen petani mengalami kegagalan, harga panen justru tinggi. Dalam sebuah kelembagaan pemerintah mestinya pemerintah berperan untuk melindungi petani dari kondisi pasar tersebut. Namun, upaya itu memang belum dirasakan oleh petani,” ujar Hariadi.

Saat pemerintah hadir melalui Peraturan Menteri Perdagangan No 27 tahun 2017 yang mengatur tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan acuan harga penjualan di konsumen, ternyata menambah buruk kondisi petani. 

Baca: Kemenkumham Pastikan Hasil SKD CPNS 2018 Tak Hari Ini, Intip Bocoran Lokasi Pelaksanaan Tes SKB

Pemerintah melakukan pembatasan harga jual di petani, padahal harga pasar sedang bagus-bagusnya.

Temuan di Karawang dan Subang menunjukan, saat diberlakukan harga acuan pembelian pemerintah (HPP) pada petani dimana harga jual gabah kering panen pada tahun 2017 sebelum ditetapkan Permendag No 27/2017 adalah Rp 4.900 per kilogram, namun dengan menggunakan instrumen Permendag tersebut harga yang diterima petani menjadi hanya Rp 3.700 per kilogram. 

Baca: Pelesir Musim Gugur Danau Ashinoko di Taman Nasional Hutan Hakone, Perfektur Kanagawa

“Nilai ini mengalami penurunan sangat jauh yang menyebabkan penurunan penghasilan bagi petani,” tegas Hariadi.

Hasil penelitian ini semakin menambah suram gambaran petani dalam proses produksi beras secara keseluruhan. Penelitian KRKP tahun 2011 juga mengungkapkan, petani menjadi aktor rantai nilai gabah yang menerima manfaat ekonomi paling kecil. Petani hanya mendapatkan margin keuntungan 500 rupiah. 

Sementara pelaku lain seperti tengkulak, pengusaha penggilingan, hingga pedagang beras rata-rata mendapat keuntungan hingga Rp 1.500 per kg.

Situasi ini tentu saja tidak adil dan merugikan petani. Karena itu, diperlukan upaya penguatan rantai nilai dan bisnis gabah serta beras yang berkeadilan dan berkelanjutan. 

“Terciptanya rantai nilai dan bisnis yang adil dan berkelanjutan menjadi tanggung jawab semua pihak yang ada di dalamnya. Mewujudkannya tak cukup hanya dengan memberikan pemahaman bersama, namun juga adanya kelembagaan dan platform nasional hingga adanya aksi kolektif dari semua pihak pelaku rantai nilai beras,” kata Koordinator KRKP Said Abdullah.

Halaman
1234
Sumber: Kontan
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan