Josaphat Laboratory Kembangkan Satelit Mikro Penentu Bulan Ramadan
Kedua satelit ini dirancang untuk monitoring pergerakan kerak bumi dan cuaca ionosfer dan atmosfer.
Laporan Koresponden Tribunnews.com di Tokyo, Richard Susilo
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Sejak tahun 2007 Josaphat Microwave Remote Sensing Laboratory (JMRSL) atau Josaphat Laboratory yang dipimpin oleh Prof Josaphat Tetuko Sri Sumantyo di Center for Environmental Remote Sensing, Chiba University, Jepang mengembangkan dua satelit dengan kode GAIA-I dan II atau TANAH AIR-I dan II.
Kedua satelit ini dirancang untuk monitoring pergerakan kerak bumi dan cuaca ionosfer dan atmosfer. Prof Josaphat atau Josh adalah putra Indonesia dan sebagai Professor Penuh di Chiba University. Demikian ungkap Jos, Selasa (5/8/2014) kepada Tribunnews.com.
"Satelit mikro GAIA-I digunakan untuk pengamatan pergerakan kerak bumi dengan resolusi besar (resolusi 3,5 km) dan GAIA-II untuk monitoring secara detail beresolusi 30-50 m. Kedua satelit ini akan digunakan untuk misi khusus, yaitu memantau hubungan perubahan ionosfer dengan aktivitas gempa dan gunung berapi yang dibiayai oleh Kementerian Pendidikan dan Teknologi Jepang (Monbukagakusho) pada tahun fiskal 2013-2016 sebesar 360 juta yen atau 36 miliar rupiah. Maklum kondisi alam Jepang dan Indonesia sangat mirip, sebagai negara kepulauan yang banyak gempa dan gunung berapi," paparnya.
GAIA-I digunakan untuk pengamatan jumlah total electron (TEC) di ionosfer. Dimana 3 hingga 5 hari sebelum terjadi gempa besar (Magnitude lebih dari 5) akan didahului dengan pergerakan kerak bumi yang memancarkan gelombang ULF dan radiasi radon. Dimana pancaran ini akan mempengaruhi aktivitas elektron di lapisan ionosfer. Sedangkan aktivitas elektron dalam bentuk perubahan jumlah elektron maupun pelepasan energi yang mengakibatkan naiknya suhu di ionosfer.
Hal ini akan mempengaruhi hantaran gelombang mikro yang dipancarkan oleh satelit navigasi misalnya GPS, Galileo, Quasi Zenith Satellite dll, dimana gelombang ini nanti akan ditangkap oleh GAIA-I. GAIA-I akan mengestimasi letak satelit pengirim, sehingga informasi refraksi hantaran gelombang dapat diturunkan. Informasi refraksi gelombang ini nanti dapat dihubungkan langsung dengan aktivitas kerak bumi, sehingga akhirnya kita dapat memprediksikan terjadinya gempa. GAIA-I juga dapat menangkap sinyal satelit telekomunikasi O3B yang bekerja pada frekuensi Ka band, sehingga GAIA-I menjadi satelit pertama di dunia untuk okultasi gelombang radio menggunakan Ka band.
Bila GAIA-I telah menangkap pergerakan kerak bumi berskala kontinental, maka GAIA-II akan melakukan pemetaan lebih detail menggunakan cara original yang dikembangkan oleh Josaphat Laboratory yaitu Circularly Polarized Synthetic Aperture Radar (CP-SAR) sensor. Sehingga akan diperoleh informasi lebih akurat dimana akan terjadinya gempa besar tsb, sehingga penduduk di sekitar wilayah tersebu dapat diungsikan terlebih dahulu dan dapat mengurangi korban akibat bencana gempa bumi.
"Penggunaan kedua satelit ini dapat kita petakan pula pergerakan kerak bumi untuk memprediksikan perubahan aktivitas manusia, politik, budaya dan lain-lain pada 100 bahkan 1.000 tahun yg akan datang. Kajian-kajian menggunakan kedua satelit akan membantu untuk mengungkap misteri aktivitas permukaan bumi hingga lapisan ionosfer. Kita harapkan kedua satelit ini dapat mengkontribusikan diri bagi perkembangan teknologi dan sains dunia pula dari karya-karya asli orang Indonesia nantinya," jelas Jos.
Setiap tahun penentuan awal dan akhir Ramadan sering menimbulkan banyak polemik di Indonesia, sehingga waktu yang seharusnya khusyuk untuk melakukan ritual agama berubah menjadi kurang nyaman. GAIA-I yang akan diluncurkan menggunakan roket H-II JAXA di tahun 2017 nanti, dilengkapi pula dengan Moon Imager Camera (MIC) yang dapat digunakan untuk monitoring perubahan fase permukaan bulan secara akurat. Sehingga pengaruh kondisi atmosfer (awan, aerosol dan lain-lain) terhadap teleskop di permukaan bumi dapat kita kurangi bahkan hindari. Sensor ini dapat digunakan untuk penentuan awal dan akhir bulan Ramadan, sehingga penentuan hari raya dapat dilakukan secara akurat nantinya.
GAIA-I merupakan jawaban atas permasalahan selama ini untuk memprediksi gempa bumi dan aktivitas tektonik lapisan bumi. Dimana hingga saat ini pengamatan mengandalkan perangkat GPS darat saja, sehingga fenomena-fenomena Ionosphere hanya dapat diamati di wilayah tepat di atas kontinental saja. Sedangkan GAIA-I mengelilingi bumi dan dapat menangkap gelombang ULF dan radiasi radon yang dipancarkan di lautan lepas, sehingga pengamatan pergerakan lapisan kerak bumi di laut lepas pun dapat dilakukan, akhirnya dapat mengamati kerak bumi secara global.
"GAIA-I dapat berfungsi juga sebagai altimeter untuk menangkap pantulan gelombang GPS dari permukaan laut, sehingga kita dapat menangkap informasi ketinggian permukaan air laut dan kecepatan gelombang laut. Sehingga pergerakan tsunami pun diharapkan dapat diamati menggunakan GAIA-I. Teknik GNSS-RO atau Radio Occultation ini pun dapat digunakan untuk mengukur gravity atau daya tarik bumi, sehingga pergerakan tsunami yang dapat diartikan sebagai pergerakan massa yang cukup besar dapat diamati menggunakan teknik gravity. Sehingga perubahan atau pergerakan tsunami pun dapat diamati menggunakan GAIA-I. GAIA-I ini akan dikontrol dari ground station milik Josaphat Laboratory dan beberapa negara lain," jelas Jos.
Selama ini Josaphat laboratory mengembangkan sendiri sensor ruang angkasa, UAV, Microsatellite hingga berbagai aplikasi teknologi penginderaan jarak jauh. Prof Josaphat membangun laboratorium lengkap dari hulu hingga hilir di bidang microwave remote sensing sejak tahun 2005 dan sekarang menjadi laboratorium terlengkap di Jepang dan Asia dengan dukungan pendanaan dari pemerintah Jepang dan negara lain. Demikian juga dari beberapa perusahaan besar di Jepang dan luar negeri, dengan memberikan teknologi kepada mereka sebagai imbal balik.
Josaphat Laboratory juga mengembangkan pesawat tanpa awak (UAV atau Drone) berbadan lebar bernama JX series untuk mengakomodasi percobaan sensor yang dikembangkan di laboratorium ini. Dimana drone ini dirancang bisa tembus gelombang mikro dengan dielectric constant sekitar 1.5, sehingga radar dapat dipasang di dalam body pesawat.
Maklum perangkat microwave sangat sensitive, sehingga perlu perlindungan menggunakan badan pesawat sendiri. Saat ini drone ini digunakan untuk berbagai ground experimental mission.
"Josaphat Laboratory juga mempunyai roadmap untuk membangun kekuatan UAV sebagai tulang punggung pusat penelitian kami di bidang penginderaan jarak jauh yang tidak hanya mengandalkan informasi dari satelit saja, tetapi juga dari drone pula. Dalam roadmap center kami di bawah Kementerian Pendidikan dan Teknologi Jepang pun telah memuat rencana 5 tahun dan 10 ke depan untuk memperkuat penelitian UAV dan microsatellite untuk monitoring permukaan bumi, agar dapat meningkatkan tidak hanya spatial (ground) resolution, tetapi time resolution atau jeda pengambilan gambar atau citra satelit bisa lebih pendek, atau semakin banyak citra permukaan bumi yang bisa kita dapatkan. Kerjasama dengan R & D militer Jepang dalam bidang penanganan disaster pun dilakukan untuk meningkatkan penanganan sebelum maupun setelah bencana menggunakan UAV ini nantinya," papar Jos.