PM Jepang Dalam Dilema Imigrasi dan Tenaga Kerja
Berbagai masalah sosial yang disebabkan oleh kegagalan kebijakan imigrasi di banyak negara maju itu fakta.
Editor:
Hendra Gunawan
Laporan KorespondenTribunnews.com, Richard Susilo dari Tokyo
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - PM Jepang Shinzo Abe saat ini sedang dalam dilema mengenai masalah imigrasi, khususnya kehadiran orang asing untuk mengisi lowongan kerja di Jepang.
Di satu pihak Jepang membutuhkan lowongan kerja karena kekurangan manusia, di lain pihak mempertanyakan sampai level apa tenaga asing yang dibutuhkan Jepang. Kalau kemampuan tinggi, apakah orang asing mau datang ke Jepang dengan gaji yang rendah di Jepang sehingga hidup harus pas-pasan di Jepang?
"Pada debat parlemen Jepang 1 Oktober lalu anggota parlemen Takeo Hiranuma dari Partai Generasi Masadepan (Jisedai) mempertanyakan PM Jepang, apa yang diminta PM Jepang untuk menunjukkan kemampuan pekerja asing di Jepang dengan berbagai pengalaman, sumber daya manusia di luar negeri yang memiliki teknologi, dalam upaya menerima perluasan pekerja asing di Jepang dengan berusaha untuk mempromosikan Abenomics? Apakah hal ini bisa dilakukan," papar Isoyama Tomoyuki dalam tulisannya di majalah Foresight Japan hari ini (9/10/2014).
PM Abe menurutnya "melarikan diri" dalam menjawab pertanyaan tersebut yang hanya mengatakan bahwa Jepang berusaha membuka diri untuk global. Berbagai masalah sosial yang disebabkan oleh kegagalan kebijakan imigrasi di banyak negara maju itu fakta.
Tapi di sisi lain, penduduk usia kerja hanya 80 juta orang, penurunan besar dibandingkan 32 tahun lalu. Kekurangan tenaga kerja akan semakin besar di masa mendatang dan perlu lebih matang membahas kebijakan imigrasi bagi Jepang tetapi PM Jepang tampaknya terjebak sendiri ke dalam dilema, tambahnya.
Simpatisan sayap kanan Abe tampaknya sangat waspada akan hal ini, "Saya bertanya-tanya apakah akan ada kemungkinan untuk menghilangkan perdebatan imigrasi benar-benar untuk membela Jepang," tambah Isoyama lagi.
Melihat periode gelembung di akhir 1980-an, banyak bangunan didukung oleh pekerja asing, seperti dari Iran. Tapi kemudian mereka semua kembali ke negara bersama dengan runtuhnya gelembung ekonomi.
Pada tahun 2000-an, pabrik industri ekspor seperti mobil, listrik dan sebagainya banyak menggunakan tenaga kerja Jepang keturunan Brasil. Demikian pula banyak awak kapal nelayan juga mengambil orang Indonesia. Kerja mereka disebut 3K (kitsui, kitanai, kiken) yaitu kerja keras, kotor, dan berbahaya. Tetapi mereka dengan kontraksi ekonomi setelah Lehman Shock 2008, banyak yang pulang ke negara masing-masing, tambah Isoyama lagi.
Sekarang adalah ketiga kalinya. Menjelang Olimpiade Tokyo pada tahun 2020, kekurangan tenaga kerja dari industri jasa dan konstruksi pasti terjadi serius. Namun demikian, tanpa perdebatan imigrasi yang tepat, hasil akhir akan sama seperti setelah Lehman shock, dan apakah akan kembali negara masing-masing setalah Jepang mengeluarkan insentif.
Usia kerja dari Jepang sangat berkurang dengan cepat. Dengan kata lain, ekonomi dan tenaga kerja secara dramatis akan berkurang, dan apakah resesi akan terjadi lagi?
Di sisi lain, Jepang tampaknya ingin memanggil "sumber daya manusia berkualitas tinggi". Dengan gaji yang diterima apabila dikonversi ke mata uang lokal menjadi besar. Untuk pekerja asing, gaji tinggi memang daya tarik besar. Namun, di depresiasi yen Abenomics, saat ini gaji Jepang tidak lagi berarti tinggi, tekan Isoyama lagi.
Jadi kalau tinggal di Jepang pada gaji Yen Jepang, maka menjadi jumlah yang tidak ada pesona sama sekali, "Saya pikir itu para pekerja asing mungkin akan kembali ke negaranya."
Tak seorang pun bahkan mulai mendiskusikan kebijakan imigrasi dengan serius di Jepang, sudah terlambat, "Hal ini tampaknya membuat Perdana Menteri Shinzo Abe "kabur" dan berada dalam dilema."