Anak Muda Jepang Tak Setuju Pembuat Tato Harus Seorang Dokter
Shimizu yang pengembang web dan mengaku pernah ditato Masuda merasa simpati dan sekaligus prihatin dengan tuduhan kepolisian Jepang ini.
Editor:
Dewi Agustina
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Tokyo
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Tato atau irezumi (bahasa Jepang) jadi masalah besar saat ini karena seorang penato (orang yang mengerjakan tato) didenda 300.000 yen oleh polisi Jepang.
Namun dia menolak untuk membayar denda tersebut dan mengajukan ke pengadilan Osaka.
Kasus itu diberitakan di Jepang dan kini mendapat dukungan semakin besar dari anak muda Jepang.
"Kasus Taiki Masuda (27) pen-tato dari Osaka itu sebenarnya karena polisi awalnya menduga Masuda menggunakan obat pembius supaya tak sakit dari sebuah perusahaan farmasi. Namun Masuda tak pernah pakai itu menurutnya. Lalu Polisi berubah melakukan perubahan tuduhan kepada Masuda karena melakukan tato kepada tamunya tanpa izin yang menurut polisi haruslah dokter yang bisa menato dengan izinnya. Jadi dianggap melanggar hukum," kata Kiyoshi Shimizu salah satu pimpinan Save Tattooing in Japan, khusus kepada Tribunnews.com, Rabu (1/6/2016).
Shimizu yang pengembang web dan mengaku pernah ditato Masuda merasa simpati dan sekaligus prihatin dengan tuduhan kepolisian Jepang ini.
Sidangnya akan dilakukan akhir tahun 2016 ini. Untuk membantah perlu tidaknya jadi seorang dokter dulu sebelum menjadi penato, kelompok ini mengumpulkan tanda tangan para simpatisan dan menayangkan juga di web (http://savetattooing.org/).
"Kami berharap bisa mengumpulkan sedikitnya 100.000 pendukung agar hal ini bisa jelas karena selama ini memang tak jelas hukumnya. Larangan atau hukum bahwa penato haruslah seorang dokter tak ada. Yang ada peraturan dari Kementerian Kesehatan karena menyangkut jarum menusuk tubuh haruslah dilakukan hati-hati oleh seorang dokter. Lagi pula kalau tato dilarang, hanya dokter saja yang bisa menato, lha apakah dokter bisa menggambar tato?" tanyanya.
Lagi pula menurutnya, tato adalah budaya Jepang sejak zaman dulu kala memang sudah ada. Tapi kalau sekarang dilarang, sementara banyak orang asing merasa mengagumi tato dari Jepang bagus dan indah, percaya kehebatan para artis Jepang, lalu penato hilang karena UU baru ke luar mengharuskan dokter yang menato.
"Wah ini akan merugikan Jepang sendiri kami yakin karena dianggap akan melakukan diskriminasi terhadap seni ekspresi diri yang dijamin oleh UUD Jepang," kata dia.
Menato adalah bagian dari cerminan ekspresi diri seseorang terutama seorang artis tato. Oleh karena itu Shimizu berharap hal ini bisa dituntaskan dengan membuat satu aturan khusus mengenai tato supaya tidak muncul masalah lagi.
Dari pihak kepolisian mengungkapkan bahwa kehadiran mereka ke tempat Masuda karena melihat nama Masuda tercantum ke dalam daftar penjualan obat pembius produsen, obat pembius yang beroperasi ternyata secara ilegal. Namun Masuda mengakui tidak menggunakannya.
Per 20 Mei 2016 sebanyak 23.513 tanda tangan telah terkumpul dan diserahkan kepada anggota parlemen dari Minshuto (DPJ) oposisi pemerintah, khususnya ke Hatsushika Akihiro agar bisa diproses dibicarakan di parlemen dan dijadikan UU khusus mengenai tato nantinya.
Sebuah survei dilakukan oleh Asosiasl Pengacara Kanto bulan Juni 2014 menghasilkan jawaban dari 1.000 pria dan wanita dengan usia 20 tahunan hingga 60 tahunan, bahwa 87,7 persen responden merasa tidak nyaman kalau memiliki tato di badannya atau kalau melihat tato di badan orang lain.
Sedangkan 55,7 persen responden merasa kalau punya tato di badannya mencitrakan dirinya sebagai seorang penjahat atau yakuza.
Namun akhir-akhir ini tato banyak digemari kalangan muda Jepang seperti diungkapkan Yoshimi Yamamoto, profesor Antropologi dari Universitas Tsuru.
"Teknik Jepang membuat tato memang sangat dihargai di luar negeri. Namun apakah memang hal tersebut bisa dikatakan hal yang baik kalau dikatakan ilegal? Berharap saja kasus Masuda bisa menjadi pelajaran yang baik bagi kita semua dan dapat dipertimbangkan dengan bijaksana oleh para hakim," jelasnya.