Rabu, 17 September 2025

Djoko Setijowarno: Kalau Buat Kereta Api Cepat Tak Usah Buat Bandara Karena Mahal Sekali

Jadi sebaiknya pilih, buat bandara atau buat kereta api cepat, karena biaya sangat mahal di Indonesia.

Editor: Johnson Simanjuntak
Ist
Djoko Setijowarno (53), pengamat transportasi dan Akademisi Jurusan. Teknik Sipil Unika Soegijapranata, Semarang 

Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang

TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Biaya sangat mahal sekali saat ini, untuk satu kilometer kereta api cepat saja mungkin sedikitnya Rp.500 miliar.

Jadi sebaiknya pilih, buat bandara atau buat kereta api cepat, karena biaya sangat mahal di Indonesia.

"Dulu Jokowi di Beijing ke Nanjing naik kereta api cepat, kira-kira seperti Jakarta Cirebon. Nanjing kota pelabuhan industri dan saya juga ke sana tahun lalu. Tidak sampai 40 menit dengan kecepatan 300 km an. Mungkin pak Jokowi terpancing pembisik yang beri info kurang benar sehingga membangun proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung dulu diberikan ke China jadinya," papar Djoko Setijowarno (53), pengamat transportasi dan Akademisi Jurusan Teknik Sipil Unika Soegijapranata, Semarang khusus kepada Tribunnews.com Selasa ini (25/7/2017).

Menurutnya, kita di masyarakat transportasi Indonesia dulu sudah ingatkan sejak awal mau buat kereta api cepat tak bisa seketika, perlu kajian mantap, dalam keadaan sekarang perlu melihat demand cukup atau tidak. Bagaimana dengan kereta yang ada sebelumnya dan posisi jalan raya. Karena semua adalah biaya mahal kalau buat baru."

"Memang benar Tidak pakai anggaran APBN. Namun kan BUMN melalui PPKA juga aliran uang pada ujungnya juga uang negara yang dipakai BUMN. Lalu minjam ke China dengan bunga tinggi."

Kini banyak proyek kereta api dan bandara, juga di Jakarta, di Sumatera Selatan.

"Kalau negara tidak kuat membiayai, kan akan turun jadi susah."

Djoko melihat sebaiknya kita belajar dari sejarah masa lalu.

"Secara historis Jakarta Bandung saat jaman Belanda bagaimana? Ya ikuti alur yang ada hindari daerah yang secara geologi mungkin sulit, lalu buat jalan rel kereta api atau jalan raya di tempat yang tak banyak masalah. Kalau sekarang masalah longsor ada beda penggunaan lahan sehingga terjadi longsoran."

Jepang sendiri menurutnya sudah sejak 2008 membuat kajian detil untuk diterapkan 2016 tapi pemerintah tak responsif dan kini baru mulai untuk jalur utara.

"Tapi tentu bukan kereta cepat, hanya kereta yang dipercepat dengan kecepatan mungkin skeitar 175 km per jam."

Kalau sudah ada kereta cepat, tambahnya, hal itu akan memindahkan pengguna pesawat udara ke kereta cepat karena kereta langsung masuk kota utama.

"Kereta menuju pusat kota. Sementara investasi bandara kan mahal sekali, di Semarang saja sampai triliunan rupiah, sangat besar. Jadi kita harus pilih dengan baik, mau kereta api cepat atau bandara."

Apabila mau kereta api cepat lahan harus dibebaskan, "Kalau Jepang mau mengerjakan ya tinggal berapa tahun konsesinya kita hitung-hitungan saja."

Lalu bagaimana, apakah Jalaur Jakarta - Surabaya diberikan ke Jepang atau ke China yang saat ini masih tertunda proyek Jakarta Bandungnya pak?

"Wah, saya bukan penentu kebijakan ya tak tahu lah mengenai itu. Tapi yang pasti, Bandara tak usah dibangunlah kalau membangun jalur kereta api cepat, karena keduanya sangat mahal harganya," tekannya lagi.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan