Jumat, 19 September 2025

Warga Tolak Pembangunan PLTU Batang Hingga ke Jepang

Suara mereka dengan kata-kata yang dipegangnya mungkin menarik untuk kita ketahui bersama. Semua, rata-rata memiliki tanah satu hektar per orang.

Editor: Dewi Agustina
Koresponden Tribunnews.com/Richard Susilo
Poster sembilan (gambar hanya delapan) suara warga Batang dipasang pada setiap pertemuan tiga warga Batang di Jepang dengan berbagai pihak pemerintah, parlemen dan swasta. 

Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Tokyo

TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Warga Batang mungkin boleh sedikit lega karena suaranya sampai ke Jepang walaupun sembilan orang ini tidak hadir di Jepang. Namun fotonya berupa poster besar selalu dipasang di setiap pertemuan tiga warga Batang dengan berbagai pihak, baik pihak pemerintah Jepang, parlemen Jepang, maupun pihak swasta Jepang.

Suara mereka dengan kata-kata yang dipegangnya mungkin menarik untuk kita ketahui bersama. Semua, rata-rata memiliki tanah satu hektar per orang. Pada dasarnya tak mau menjual tanahnya, kepada PLTU Batang yang dikelola oleh PT Bhimasena Power Indonesia yang dibangun patungan antara Jepang dan Indonesia.

Pihak Jepang yaitu J-Power dengan saham 34 persen dan Itochu Corporation dengan saham 32 persen. Lalu PT Adaro Power dengan saham 34 persen. Pendanaan diperoleh dari JBIC.

Suara mereka misalnya, "Tolak PLTU Lahan Tidak Kami Jual," "Pokoknya Saya Nggak Mau PLTU Batang Berdiri Tanah Saya Untuk Makan Saya dan Anak Cucu Seumur Hidup," "Jangan Kotori Laut Kami Dengan PLTU, Laut Adalah Sumber Kehidupan Kami Para Nelayan," "Sawah Saya Tidak Dijual, Mau Diurug, Mau Diapain, Tetap Tidak Dijual," "Tolak PLTU Pilih Laut Lestari Karena Laut Adalah Kehidupanku," "Tanah Warisan Orang Tua Sampai Kapanpun Tidak Dijual," "Merampas harga karun yang tak ternilai, jaring ikan kepitig, belut, dan cari rumput untuk pakan ternak, bebas dari desa mana pun, diperbolehkan, tak ada yang melarang."

Satu kata-kata bahasa Jawa menarik juga dari warga Batang ini.

"Sabin kulo mboten disade pak, ampun mekso tandatangan." Artinya, Sawah saya tidak dijual pak, ampun maksa minta tanda tangan".

"Tanah di Batang tersebut kini harganya sekitar Rp 400.000, padahal empat tahun lalu masih Rp 100.000 per meter," ungkap warga Batang tersebut kepada Tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan