MK Tolak Uji Materi Peninjauan Kembali Lebih dari Satu Kali
Mahkamah mengatakan tidak dapat menerima permohonan yang diajukan oleh terpidana pemalsuan surat.
Penulis:
Eri Komar Sinaga
Editor:
Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi menolak uji materi terkait putusan peninjauan kembali (PK).
Mahkamah mengatakan tidak dapat menerima permohonan yang diajukan oleh terpidana pemalsuan surat.
"Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima," kata Hakim Ketua Arief Hidayat saat membacakan amar putusan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (19/10/2019).
Pemohon adalah Sulindro yang diputus bersalah pada kasus melakukan tindak pidana 'menggunakan akta/surat palsu' berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 11 Juni 2009, putusan Pengadilan Tinggi Provinsi DKI Jakarta tanggal 14 Desember 2009, putusan Kasasi Mahkamah Agung tanggal 23 Juni 2010 dan Putusan Mahkamah Agung tanggal 29 Agustus 2013.
Baca: Dihadapan Anies-Sandi, Kejati Paparkan Proyek Rp 4,6 T Milik Pemprov DKI
Sulindro kemudian mengajukan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Kehakiman yang berbunyi 'terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali. Pemohon juga mengajukan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung yang berbunyi permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya satu kali.
Sulindro menggugat pasal tersebut karena permohonanan peninjauan kembali untuk kali kedua ditolak.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah berpendapat telah pernah memutuskan perkara serupa yakni permohonan peninjauan kembali dapat diajukan lebih dari satu kali.
Hal itu sesuai terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 yang kemudian dipertegas kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU-XIV/2016, dimana dalam putusan yang dimaksudkan terakhir telah tegas dinyatakan dalam bagian pertimbangannya.
Menurut Mahkamah, putusan Mahkamah terhadap Pasal 268 ayat (3) KUHAP, sepanjang berkenaan dengan hukum acara pidana haruslah berlaku pula terhadap Pasal 66 (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman.
Dengan demikian, norma Pasal 66 ayat (1) dalam UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman khusus berkenaan dengan perkara pidana tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat atau tidak berlaku lagi karena subtansinya sama dengan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah.
"Hal ini dimaksudkan untuk menghindari benturan norma, sebab adanya ketentuan-ketentuan yang saling bertentangan dan kontradiktif justru akan mengakibatkan ketidakpastian hukum," kata majelis hakim dalam pendapatnya.
Berdasarkan putusan Mahkamah sebelumnya, maka terhadap peninjauan kembali dalam perkara pidana Mahkamah telah menyatakan bahwa norma Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku lagi karena substansinya sama dengan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang telah dinyatakan inkonstitusional.
Oleh karena itu, sesungguhnya norma pasal dalam undang-undang dimaksud sepanjang berkenaan dengan peninjauan kembali dalam perkara pidana telah tidak berlaku lagi.
"Dengan demikian Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon telah kehilangan objek," kata hakim konsitusi dalam pendapatnya.