Jumat, 19 September 2025

Ini Penjelasan Hukum Soal Perlukah Airlangga dan Khofifah Mundur dari Kabinet

Dua menteri dalam Kabinet Kerja pimpinan Presiden Joko Widodo, disoal terkait dengan pengunduran diri sebagai menteri meskipun

Penulis: Wahyu Aji
Tribunnews/JEPRIMA
Pasangan bakal calon Gubernur Jawa Timur yang diusung Partai Golkar Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak saat menerima SK dari Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto di Kantor DPP Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Jumat (5/1/2018). Dari 171 Pilkada serentak tahun 2018, Golkar ikut terjun di 17 Pilgub, 115 Pilkada Kabupaten, dan 39 Pikada Kota. Tribunnews/Jeprima 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Dua menteri dalam Kabinet Kerja pimpinan Presiden Joko Widodo, disoal terkait dengan pengunduran diri sebagai menteri meskipun masa kerjanya tinggal 1,5 tahun kedepan.

Keduanya adalah Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, yang akan maju sebagai calon Gubernur Jawa Timur dan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto yang terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar.

Baca: Cerita Ahok tentang Perselingkuhan dan Permen Karet

Baca: SBY: Saya Menyaksikan Jokowi Ingin Berbuat yang Terbaik untuk Rakyat

"Namun, kedua menteri tersebut konteksnya berbeda dalam mempersoalkan 'keharusan, mengundurkan diri dari jabatannya saat ini dan dasar hukum yang mengaturnya sehingga dalam melihatnya harus secara proporsional, adil dan tepat," kata pengamat hukum tata negara, Syamsuddin Radjab dalam keterangan yang diterima, Senin (8/1/2018).

Khofifah terikat dengan UU Nomor 1 tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 8 tahun 2015 dan UU No. 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) serta UU Nomor 39 tahun 2008 Tentang Kementerian Negara (KN).

Sedangkan dalam kasus Airlangga Hartarto peraturan perundangan-undangan yang terkait yaitu UU KN dan UU Nomor 2 tahun 2008 Tentang Partai Politik (Parpol) dan AD/ART Partai Golkar.

Syamsuddin mengatakan, dalam UU KN, pengangkatan menteri sebagai pembantu Presiden merupakan hak prerogatif Presiden sesuai Pasal 17 UUDN RI 1945 Jo. Pasal 1 ayat (2) Jo. Pasal 22 ayat (1) UU KN.

Sementara terkait dengan pemberhentian sebagai menteri, dalam Pasal 24 UU KN dinyatakan bahwa menteri berhenti dari jabatannya karena meninggal dunia atau berakhir masa jabatannya.

Menurutnya, menteri diberhentikan karena: Mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis; tidak dapat melaksanakan tugas selama tiga bulan berturut-turut; Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; melanggar ketentuan larangan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23; atau alasan lain yang ditetapkan oleh Presiden.

"Dalam ketentuan Pasal 23 UU KN, menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN/atau APBD," kata Syamsuddin.

Dalam kasus Khofifah, UU Pilkada dalam syarat pencalonan yang diatur dalam Pasal 7 tidak melarang dan mengharuskan seorang menteri mundur dari jabatannya saat mencalonkan diri.

Kecuali terpilih sebagai Gubernur Jawa Timur karena terkait dengan UU Pemda yang diatur dalam Pasal 76 ayat (1) huruf h sebagai pejabat negara lainnya.

"Artinya, jika Presiden Jokowi memberikan kesempatan kepada Khofifah sampai tahap penghitungan hasil pilkada pada Juli 2018 dengan tetap menjalankan tugas-tugasnya sebagai menteri dan terpilih maka otomatis harus mengundurkan diri. Tetapi jika tidak terpilih maka ia dapat kembali memangku jabatannya sebagai menteri," katanya.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan