Pilpres 2019
Komnas HAM: Siapapun Presidennya Wajib Selesaikan Kasus Pelanggaran HAM Berat
Kemudian Beka menegaskan bahwa Komnas HAM tidak ada kontrak politik apa pun dengan dua kandidat calon presiden.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Beka Ulung Hapsara menjawab pertanyaan wartawan saat konferensi pers penyampaian laporan pro justicia peristiwa pembunuhan dukun santet di Jawa Timur 1998-1999 pada Selasa (15/1/2019).
Wartawan saat itu menanyakan, adakah kontrak politik dari dua pasangan kandidat Capres dan Cawapres terkait penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat?
Kemudian Beka menegaskan bahwa Komnas HAM tidak ada kontrak politik apa pun dengan dua kandidat calon presiden.
"Kami tidak punya kontrak politik apapun dengan dua kandidat calon presiden. Siapa pun presidennya punya tanggungjawab untuk melakukan pelanggaran HAM berat masa lalu yang belum selesai. Ditambah dengan kasus dukun santet ini. Jadi untuk kami, siapapun presidennya punya tanggung jawab untuk menyelesaikannya," kata Beka di kantor Komnas HAM pada Selasa (15/1/2019).
Baca: Amien Rais Sebut Prabowo Subianto Akan Seperti Abraham Lincoln
Komisioner Komnas HAM bidang Pengkajian dan Penelitian, Choirul Anam menjelaskan bahwa sumpah jabatan Presiden adalah melaksanakan konstitusi dan undang-undang.
"Salah satu substansi penting dalam penegakkan hukum Hak Asasi Manusia, UU tahun 2000 yang itu bagian dari sumpah dia untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat. Sehingga nggak perlu ada kontrak politik. Kalau ada kontrak politik itu marwahnya turun," kata Anam.
Anam pun menegaskan jika tanggung jawab Presiden tidak diletakkan dalam ranah tersebut maka hal itu merendahkan calon presiden sendiri.
"Kalau itu berhubungan dengan Komnas HAM itu juga merendahkan amanat Komnas HAM sendiri yang diberikan oleh Undang-Undang. Sehingga siapapun presidennya, dia punya kewajiban (menyelesaikan pelanggaran HAM) berdasarkan Undang-Undang," kata Anam.
Diketahui hingga saat ini ada sembilan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang belum diselesaikan.
Sembilan kasus itu diantaranya Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Talangsari 1998, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Wasior dan Wamena, Peristiwa Simpang KKA 3 Mei 1999 di Provinsi Aceh dan Peristiwa Rumah Geudong dan Pos Sattis lainnya di Provinsi Aceh.