Jumlah Bissu di Masyarakat Bugis Kian Menyusut
Jumlah pendeta Bugis kuno yang dikenal dengan sebutan Bissu, kini semakin menyusut akibat faktor eksternal dan internal. Sejumlah…
Jumlah pendeta Bugis kuno yang dikenal dengan sebutan Bissu, kini semakin menyusut akibat faktor eksternal dan internal. Sejumlah pakar antropologi khawatir tradisi para Bissu ini suatu saat akan punah.
Tradisi budaya Bugis yang mengakomodasikan gender kelima ini, meski mampu bertahan, namun semakin menurun di tengah masyarakat dengan tradisi keagamaan yang kian menguat.
Tradisi kuno penduduk di wilayah Sulsel mengakui adanya lima gender, dan Bissu bahkan dipandang sebagai orang suci.
Selain laki-laki (oroani) dan perempuan (makkunrai), masyarakat Bugis pra-Islam juga menerima kehadiran perempuan kelaki-lakian (calalai), laki-laki keperempuanan (calabai) serta Bissu yang meta-gender.
Di Kabupaten Pangkep, dimana Bissu masih tersisa sampai kini, jumlahnya tinggal enam orang. Dan hanya lima di antaranya yang masih menjalankan tradisi sebagai Bissu.
Dalam berbagai kesempatan, kekhawatiran mengenai hal ini dikemukakan oleh Dasriana, seorang pegawai kebudayaan pada Pemda setempat.
"Beberapa tahun lalu jumlah Bissu masih mencapai 40 orang, tapi sekarang hanya tinggal lima orang yang masih menjalankan tradisi ini," katanya.
Para Bissu itu, katanya, kini masih bertahan dengan bekerja sebagai petani atau membantu pelaksanaan upacara perkawinan.
Menurunnya jumlah Bissu dan memudarnya tradisi tersebut terjadi bersamaan dengan meningkatnya persekusi terhadap kaum LGBT di berbagai wilayah Indonesia.
Kaum LGBT mengalami pelecehan dan diksriminasi, termasuk upaya terapi gay dan pelarangan dan sensor terhadap konten terkait LGBT.

Menurut Professor Sharyn Graham Davies, antropolog dari Auckland University of Technology Selandia Baru, tradisi Bissu dan konsep mengenai lima gender sudah menjadi bagian budaya Bugis paling tidak selama enam abad.
Prof Davies meneliti tradisi Bissu saat studi PhD dan menemukan bahwa tradisi serupa juga bisa ditemukan dalam masyarakat tradisional di Thailand, Malaysia, India dan Bangladesh yang mengakui gender selain laki-laki dan perempuan.
"Bahasa mereka memiliki konsep yang merujuk pada kombinasi jenis kelamin, gender dan orientasi seksual," katanya.
"Para pendatang ke daerah itu sebelum Islam mencatat adanya keberagaman gender dan jenis kelamin. Jadi konsep ini ada sebelum Islam masuk ke sana di awal tahun 1500-an," katanya kepada ABC.