Jumat, 5 September 2025
ABC World

Jumlah Bissu di Masyarakat Bugis Kian Menyusut

Jumlah pendeta Bugis kuno yang dikenal dengan sebutan Bissu, kini semakin menyusut akibat faktor eksternal dan internal. Sejumlah…

Dia menjelaskan, untuk menjadi Bissu, seseorang harus terlahir sebagai perempuan dan laki-kali atau interseks.

"Lebih pastinya, orang Bugis percaya bahwa Bissu yang dari luar tampak sebagai laki-laki justru jiwanya perempuan, dan sebaliknya. Kombisi jenis kelamin ini memungkinan munculnya identitas meta-gender," jelasnya.

Menurut dia, tergantung siapa yang ditanya, namun Bissu seringkali menyatakan Anda harus terlahir sebagai Bissu untuk menjadi Bissu. Yaitu terlahir sebagai perempuan dan laki-laki sekaligus.

Namun, katanya, ada juga yang menyatakan jika seseorang bisa mempelajari bahasa Bissu, mantra dan doa-doanya, maka orang tersebut bisa menjadi Bissu.

Dijelaskan, peran sosial para Bissu termasuk memimpin doa dalam upacara adat menandai panen atau upacara kelahiran bayi.

Sementara menurut antropolog Professor Halilintar Lathief yang meneliti Bissu dalam beberapa dekade terakhir, menyebut posisi keagamaan Bissu dalam Bugis kuno sebagai perantara manusia dan Tuhan.

Dia menjelaskan bahwa dalam tatanan masyarakat kuno tersebut, dunia atas (langit) dipandang sebagai laki-laki dan dunia bawah sebagai perempuan sehingga hanya Bissu dengan kecenderungan dualitasnya yang mampu menjadi perantara.

Proses menjadi Bissu memerlukan syarat yang cukup berat termasuk kemampuan untuk menunjukkan kekebalan tubuh dengan cara menusuk-nusukkan keris ke leher sendiri.

Mereka juga diharuskan untuk menghentikan keinginan untuk berhubungan seksual.

Hingga tahun 1940-an, para Bissu dalam masyarakat Bugis masih memainkan peran sentral dalam menjaga tradisi kerajaan Bugis termasuk upacara pelantikan raja.

Menurut Prof Halilintar, Bissu bukan saja harus hadir dalam upacara tersebut, melainkan berperan sebagai pihak yang mengatur tata-cara dan kepatutan pelantikan raja tersebut.

Dia menjelaskan sejak Indonesia merdeka dan menjadi republik, kerajaan-kerajaan Bugis tersebut pun dilebur ke dalam republik dengan konsekuensi peran para Bissu pun terpinggirkan.

Bahkan, tak lama setelah kemerdekaan, ketika terjadi pemberontakan DI/TII di Sulsel, para Bissu menjadi sasaran dan dikejar-kejar untuk dibasmi, karena dipandang bertentangan dengan ajaran Islam.

Prof Halilintar yang memulai upaya menghidupkan kembali tradisi Bissu di tahun 1990-an menilai, selain faktor-faktor eksternal, juga ada faktor internal Bissu sendiri yang turut berpengaruh.

Halaman
123
Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan