Rancangan Qanun Poligami di Aceh Diklaim Justru Akan Persulit Pria Berpoligami
Sejumlah kalangan dan perempuan di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) menolak Rancangan Qanun yang akan melegalkan poligami. Aturan ini…
Rancangan Qanun Hukum Keluarga sebenarnya sudah dibahas sejak akhir tahun 2018 lalu. Dan saat ini tinggal dibawa ke rapat dengar pendapat umum (RDPU) pada awal Agustus 2019 mendatang.
DPRA Aceh sendiri berdalih salah satu alasan perlunya poligami diatur secara khusus dalam rancangan Qanun ini adalah karena maraknya kasus nikah siri di Aceh saat ini, sementara hukum Islam membolehkan seorang suami memiliki lebih dari satu istri.
Namun alasan ini dinilai tidak relevan oleh aktivis perempuan Aceh yang juga mantan anggota komisioner Komnas Perempuan, Samsidar.
"Kalau disebut untuk antisipasi nikah siri, penyelesaiannya bukan poligami. Isu nikah siri di Aceh itu kompleks itu dulu banyak terjadi karena pada masa konflik institusi pemerintahan termasuk KUA tidak berfungsi, sehingga banyak orang menikah siri, dan bahkan program isbat nikah untuk mengatasi masalah itu saja sampai sekarang belum terselesaikan oleh pemerintah Aceh." Kata Samsidar.
Aktivis perempuan Aceh yang juga salah seorang penyusun naskah akademik dan draf rancangan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) ini menambahkan rancangan Qanun ini berisiko semakin merugikan pihak perempuan lantaran memuat sejumlah pasal karet yang multitafsir dan mengabaikan hak perempuan untuk menolak di poligami.
"Pada salah satu pasalnya diatur syarat poligami adalah mampu bersikap adil. Pertanyaannya siapa yang nanti akan memberikan penilaian dia mampu berlaku adil? Kan adil itu sesuatu yang akan terjadi kemudian, bukan sebelum poligami? Gimana caranya mengukur mampu adil kalau belum terjadi. Kalau udah terjadi udah dipoligami namanya," tambahnya.

Ia juga menyoroti ketentuan dalam salah satu pasal di Bab Poligami yang membolehkan pria menikah lagi meski tanpa izin atau persetujuan isteri atau isteri-isteri lainnya jika salah satu saja dari sejumlah syarat yang membolehkan Mahkamah Syari\'ah untuk menerbitkan izin bagi seorang pria untuk berpoligami sudah terpenuhi.
"Selama ini kalau mau jujur poligami banyak terjadi di luar persetujuan istri. Jadi ada pemalsuan izin dll, kalau pada UU Perkawinan yang jelas mengatur ketentuan harus ada izin isteri sah saja diabaikan ketentuan itu, apalagi dengan Qanun ini yang memberikan peluang boleh tanpa izin isteri untuk menikah lagi. Jadi terus terang bagi saya ini hanya bentuk promosikan poligami dan mengabaikan hak-hak perempuan," tegasnya.
Samsidar mengingatkan Komisi VII DPRA kalau masih banyak isu kesejahteraan sosial lainnya yang lebih krusial untuk diprioritaskan ketimbang urusan poligami.
Ia merujuk pada masih tingginya angka kasus KDRT terhadap perempuan di Aceh serta kasus kesehatan dan kemiskinan perempuan.
Pegiat anti kekerasan terhadap perempuan ini menuding raqan itu hanya akan menguntungkan pria yang memiliki kecenderungan untuk berpoligami, termasuk sejumlah elit di NAD yang diketahui berpoligami.
Karenanya dia mengingatkan konsekwensi lanjutan dari aturan ini terhadap anggaran pemerintah.
"Kalau itu sudah ada dalam qanun, maka pejabat yang beristeri lebih satu, berarti harus dibiayai oleh negara juga dong. Konsekwensinya begitu karena kan ada tunjangan isteri kalau di Aparat Sipil Negara (ASN), bisa jadi nanti advokasinya akan seperti itu. Nanti ini bisa merembet ke provinsi lain."
Atas sederet pertimbangan ini Samsidar mengatakan Rancangan Qanun ini harus ditolak. Dia juga mempertanyakan tidak adanya naskah akademik yang menjadi salah satu syarat penyusunan aturan hukum di tanah air.