Dugaan Korupsi PLN
Proyek Listrik 10.000 MW Sudah Kacau dari Awal
BPK melihat, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) terlambat membangun proyek pembangkit listrik 10.000 MW.
Penulis:
Srihandriatmo Malau
Editor:
Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melihat, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) terlambat membangun proyek pembangkit listrik 10.000 MW.
Kondisi ini yang membuat BPK memberikan penilaian inefisiensi dalam tubuh PLN. Inefisiensi ini membuat PLN berpotensi merugikan negara sebesar Rp 37 triliun.
"PLN tidak merencanakan, membangun PLTU percepatan 10.000 MW sesuai dengan kebutuhan dan ketentuan," tulis BPK dalam laporan hasil auditnya.
Menurut Pengamat kelistrikan dan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform IESR Fabby Tumiwa proyek pembangkit listrik 10.000 Megawatt (MW) sudah dari awalnya bermasalah. Dan inisiatif program ini sendiri ada di pemerintah. Bukan PLN, apalagi Dahlan Iskan sebagai Direktur Utama PLN saat 2009-2010.
"Menurut saya memang dari awal proyek 10.000 MW itu tidak visible. Terus kalau dalam implementasinya terlambat, itu dikarenakan proyek itu tidak direncanakan dengan baik. Tetapi kan inisiatifnya kan, dari pemerintah. April 2006 itu, Pak JK (wakil presiden saat itu) merekomendasikan, datang ke PLN, baru dibuat tim percepatan 10.000 MW," ungkap Pengamat kelistrikan ini saat diwawancara Tribunnews, Jakarta, Selasa (13/11/2012).
Karena itu, menurut dia, program 10.000 MW sudah susah untuk berjalan tepat waktu. Karena ketika program itu dicetuskan sudah tidak ada studi kelayakan, tidak ada studi mengenai lokasi-lokasinya yang tepat. Rencana pembangunan transmisinya pun belum sinkron.
"Apalagi urusan pendanaan. Untuk dua kontrak Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Paiton dan Suralaya saja itu dua proyeknya bermasalah. Baru renegosiasi berkali-kali," jelasnya.
Lanjutnya, mundurnya proyek 10.000 MW itu bukan karena salah tender. Tetapi lebih pada proyek itu sendiri kacau sejak awalnya dan memang dari sisi pemerintahnya juga tidak bisa memproses dengan cepat.
Karenanya, saran dia terkait proyek 10.000 MW pemerintah dan DPR harus melakukan evaluasi. Bahkan melakukan audit secara komprehensif tentang program 10.000 MW.
"Ini untuk melihat sebenarnya efektif tidak program-program seperti ini. Apa dampaknya kepada ketenagalistrikan nasional? menurut pengamat kelistrikan ini.
Kembali ke menurut laporan BPK, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dinilai terlambat membangun proyek pembangkit listrik 10.000 MW. Kondisi ini yang membuat BPK memberikan penilaian inefisiensi dalam tubuh PLN. Inefisiensi ini membuat PLN berpotensi merugikan negara sebesar Rp 37 triliun.
PLN tidak merencanakan, membangun PLTU percepatan 10.000 MW sesuai dengan kebutuhan dan ketentuan.
PLN mendesain pembangkit yang tidak sesuai dengan batubara, seperti yang telah disepakati. Tidak hanya itu, beberapa peralatan pembangkit juga tidak sesuai dengan kebutuhan.
"PLN juga dinilai tidak cermat dalam menentukan lokasi pembangkit dan terlambat menyediakan pendanaan," ungkap BPK.
Dari laporan tersebut juga diungkapkan, PLN memenangkan beberapa kontraktor pembangunan PLTU yang tidak memenuhi persyaratan lelang. PLN menandatangani beberapa kontraktor pembangunan PLTU yang tidak sesuai dengan hasil lelang. "PLN juga gagal dalam menyelesaikan pembangunan PLTU percepatan 10.000 mw yang tidak sesuai jadwal," jelas BPK.
Beberapa PLTU yang telah selesai dibangun mengalami gangguan dan kerusakan serta tidak dapat beroperasi secara maksimal. Hal tersebut juga menjadi salah satu faktor temuan BPK yang menyebutkan adanya potensi merugikan negara Rp 37 triliun.
"Direksi PLN menginstruksikan panitia pengadaan untuk mengabaikan persyaratan offer f finance dan tidak mengkoordinasikan perencanaan pembangunan PLTU percepatan 10.000 mw antara panitia pengadaan kontrak Teknik, Pengadaan dan Kontruksi (Engineering, Procurement and Construction/EPC) PLTU dengan panitia pengadaan batubara low rank coal," papar BPK. (*)
BACA JUGA: