Pembatasan BBM Bersubsidi
Solar Subsidi Dibatasi, Apakah Kuota Tetap Jebol?
Sangat dibutuhkan rakyat namun membebani anggaran negara, itulah dilema yang dihadapi pemerintah dalam penyaluran BBM subsidi
Editor:
Hendra Gunawan
Menurut Direktur Pemasaran Pertamina Hanung Budya, pihaknya perlu memastikan konsumsi BBM subsidi tahun ini tidak melampaui kuota pemerintah sebesar 45,35 juta kiloliter. Jika tidak mengurangi pasokan, maka kuota solar akan habis pada 30 November 2014, sementara bensin premium akan ludes pada 19 Desember 2014.
Kuota solar bersubsidi sebanyak 15,16 juta kiloliter pada tahun ini jika tidak dikendalikan tentu akan jebol. Jumlah kuota itu selain digunakan untuk mencukupi kebutuhan transportasi, ditenggarai juga banyak bocor untuk penggunaan industri, baik perkebunan maupun pertambangan. "Barang yang sama tetapi harga berbeda, maka patut diduga ada aliran barang dari harga murah ke harga tinggi (Industri)," kata Vice President Pertamina Suhartoko. Apalagi tahun ini kuota penyaluran solar bersubsidi lebih rendah 11% dibanding tahun lalu.
Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo juga mengakui adanya penyalahgunaan dan penyelundupan solar subsidi sehingga kuota cepat habis. "Saya tanya ke Pertamina daerah mana saja yang rawan penyelundupan? Katanya Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Jambi dan Riau," ujarnya. Wilayah-wilayah yang rawan penyelundupan merupakan daerah yang dekat dengan wilayah pertambangan.
Penentuan wilayah yang dibatasi pasokan solar besubsidi fokus pada kawasan industri, pertambangan, perkebunan dan wilayah-wilayah yang dekat dengan pelabuhan dimana rawan penyalahgunaan. Sementara itu SPBU yang terletak di jalur utama distribusi logistik, tidak ada pembatasan waktu penjualan solar.
Untuk wilayah-wilayah yang sudah menerapkan pembatasan ataupun pengaturan waktu seperti Batam, Bangka Belitung serta sebagian besar wilayah Kalimantan tetap akan menerapkan aturan sesuai yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat.
Pembatasan dilakukan terhadap 12% dari total SPBU yang mencapai 4.570 unit. Untuk wilayah Jawa dan Bali hanya 5% yang terkena aturan pembatasan. Selain pembatasan jam penjualan, pemerintah juga akan fokus pada pemasangan RFID untuk truk-truk yang berada di daerah rawan kebocoran solar bersubsidi.
Berdampak besar
Efek pembatasan penjualan solar bersubsidi dan pengurangan pasokan berimbas langsung ke tarif angkutan. Bahkan Kementerian Perhubungan (Kemhub) berencana mengevaluasi tarif angkutan umum. Menteri Perhubungan EE Mangindaan mengatakan, untuk mengevaluasi tarif, pihaknya akan mengumpulkan sejumlah organisasi angkutan untuk membicarakan tarif yang berlaku. “Kalau ada kenaikan diharapkan tidak terlalu tinggi dan membebani masyarakat,” katanya.
Organisasi Angkutan Darat (Organda) sendiri keberatan dengan pembatasan dan pencabutan penjualan solar bersubsidi. Sekjen DPP Organda Andriansyah mengatakan, solar bersubsidi memiliki konsumen terbesar angkutan umum. "Kalau mau batasi seharusnya premium, bukan solar," ujarnya. Pembatasan itu akan sangat merepotkan angkutan umum karena karakter angkutan umum memiliki rute tetap, sehingga tidak fleksibel berpindah rute. Jika keluar rute hanya hanya untuk mengisi BBM subsidi maka bisa ditilang polisi atau Dishub. Atas penolakan itu, Andri bilang pihaknya sudah menyurati Kepala BP Migas agar pembatasan dicabut.
Pelarangan penjualan solar subsidi telah memaksa pengusaha angkutan untuk menggunakan solar non subsidi yang selisih harganya mencapai Rp 7.300 per liter. Dan kalau kondisi ini terus dibiarkan, dikhawatirkan biaya operasional pengusaha angkutan bisa membengkak dan memicu kenaikan tarif.
Dalam hitungan Organda, besaran kenaikan tarif bisa mencapai 60%. Angka tersebut diperoleh dari kontribusi BBM terhadap biaya operasional angkutan yang mencapai 45% dikalikan dengan prosentase selisih harga antara solar bersubsidi dengan non subsidi yang mencapai 130 %. “Kenaikan tarif belum kami usulkan. Kenaikan tarif bisa bisa menggerus daya beli masyarakat,” kata Ardiansyah.
Tidak hanya solar di sektor transportasi, alokasi solar bersubsidi untuk Lembaga Penyalur Nelayan (SPBB/SPBN/SPDN/APMS) juga akan dipotong sebesar 20%. Penyalurannya juga akan mengutamakan kapal nelayan di bawah 30 gross ton (GT).
Pembatasan itu berpotensi membuat harga produk perikanan naik karena waktu nelayan melaut menjadi berkurang dan hasil tangkapan menyusut. Sharif Cicip Sutardjo Menteri Kelautan dan Perikanan mengatakan, meski mendukung namun dia meminta agar pasokan solar bersubsidi untuk para nelayan dengan berat 30 GT dijamin.
KKP menurutnya akan menginventarisasi sejumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN) yang ada di tanah air dan memberikan surat ke Pertamina agar menjamin pasokannya. Dia berharap dengan kebijakan tersebut harga ikan antara nelayan kecil dengan nelayan besar akan kompetitif. Sebab, "Kapal 30 GT tidak tidak dapat subsidi lagi, sehingga akan naikkan harga," ujarnya.
Tidak hanya produk perikanan saja yang akan naik, harga jual makanan dan minuman juga berpotensi naik. Selain disebabkan karena dampak pembatasan pasokan solar subsidi, kenaikan harga bahan makanan juga disebabkan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% terhadap bahan baku pertanian untuk kebutuhan industri makanan dan minuman.