Anggota Komisi VI DPR Sebut Pengenaan Pajak untuk Sembako Sangat Tidak Tepat
Anggota DPR RI Komisi VI dari Fraksi PKS, Amin AK, menilai wacana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PNN) untuk sembako dinilai tidak tepat.
Penulis:
Wahyu Gilang Putranto
Editor:
Daryono
TRIBUNNEWS.COM - Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PKS, Amin AK, menilai wacana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PNN) untuk sembako dinilai tidak tepat.
Hal itu diungkapkan Amin dalam diskusi Panggung Demokrasi Tribunnews.com, Rabu (16/6/2021).
"Pengenaan pajak PPN pada atas obyek pajak sembako, menurut saya sangat tidak tepat karena definisinya saja pajak pertambahan nilai, artinya obyek yang dikenakan bener-bener ada pertambahan nilainya," ungkap Amin.
Amin mengungkapkan sembako merupakan bahan baku pokok yang belum mengalami perubahan bentuk yang signifikan.
Sehingga dinilai Amin tidak perlu dikenakan PPN.
"Lain dengan pajak mobil, pajak konstruksi bangunan, bener-bener mengalami perubahan nilai, ada pertambahan nilai," ungkapnya.

Baca juga: Isu Pajak Sembako di Tengah Pandemi, Pemerintah Diminta Fokus Tangani Covid-19
Amin juga tidak setuju akan pengenaan PPN untuk sembako meskipun direalisasikan setelah pandemi Covid-19 berakhir.
"Di luar pandemi pun tetep pengenaan pajak sembako dan pendidikan tidak relevan untuk diterapkan."
"Karena sekali lagi, yang akan terdampak masyarakat ke bawah."
"Dari sisi obyek, sembako itu nggak layak dijadikan obyek pajak," ungkap Amin.
Baca juga: Sri Mulyani Tegaskan PPN Sembako Diterapkan untuk Jenis Premium, Bukan yang Ada di Pasar Tradisional
Pemerintah Harus Cari Sumber Lain
Lebih lanjut Amin menyebut seharusnya pemerintah bisa mencari sumber pendapatan lain di luar PPN dari sembako dan pendidikan.
"Kalau dari pajak ya mengenakan tarif pajak yang lebih tinggi untuk kalangan masyarakat yang kaya raya, konglomerat itu."
"Kalau di luar negeri PPN bisa mencapai 40 persen, di Indonesia kan nggak sampai segitu untuk yang kaya raya itu," ungkapnya.
Adapun untuk pendapatan lain, ungkap Amin, dapat dihasilkan dari sejumlah sumber.
Seperti bagi hasil dari sektor sumber daya mineral maupun non mineral yang selama ini bergerak dalam pengelolaan sumber daya alam.
"Kita ketahui belum maksimal memberikan pendapatan bagi APBN," ungkapnya.
Selain itu, pemerintah juga dinilai dapat menggenjot pendapatan dari deviden BUMN.
Baca juga: Menkeu Diminta Cari Pajak di Produk Lain Selain Sembako, Masih Banyak Belum Dipajaki
Penjelasan Sri Mulyani
Sementara itu Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menegaskan, pihaknya tak akan memungut PPN bagi sembako murah.
Namun, yang terkena PPN ialah sembako dengan harga yang tinggi.
"Poinnya adalah, kita tidak memungut PPN sembako. Kita tidak memungut. Dan apakah di dalam RUU KUP nanti akan ada (PPN sembako)? Untuk yang itu tidak dipungut. Itu saja, clear," kata Sri dalam rapat kerja Komisi XI bersama Menkeu, Senin (14/6/2021), dikutip dari Kompas TV.
Sri juga menjelaskan barang kategori sembako dapat pula diklasifikasikan ke barang-barang yang premium.
Baca juga: Sri Mulyani: Pajak yang Anda Bayarkan Kembali untuk Rakyat Indonesia
Ia mencontohkan barang premium seperti beras basmati dan shirataki hingga daging wagyu.
"Beras yang sekarang ini seperti shirataki atau basmati. Jadi kalau dilihat harganya, Rp 10.000 per kilogram sampai Rp 200.000 per kilogram."
"Nah, ini kan bisa mengklaim sama-sama sembako," jelasnya.
Sementara, Sri memastikan untuk beras produk petani bangsa seperti Rojolele, Pandan Wangi, tidak akan dikenakan pajak.
Ia menerangkan, untuk sembako murah tersebut akan disiapkan fasilitas pembebasan atau ditanggung pemerintah.
"Kalau dia menjadi objek memang dia berarti bisa dipajaki. Tapi kan bisa dibebaskan pajaknya, DTP, bisa tarifnya 0, kan begitu. Versus yang tarifnya lebih tinggi. Makanya itu yang bisa kita sampaikan di dalam PPN bisa multitarif," ungkapnya.
(Tribunnews.com/Gilang Putranto)