Menkeu Was-was Memanasnya Konflik China-Taiwan Bikin Inflasi Naik
Makin memanasnya konflik China dan Taiwan belakangan ini dikhawatirkan bisa memicu naiknya laju inflasi di dalam negeri.
Editor:
Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengkhawatirkan makin memanasnya konflik China dan Taiwan belakangan ini yang bisa memicu naiknya laju inflasi di dalam negeri.
Dia mengatakan invasi Rusia ke Ukraina dan konflik China-Taiwan bisa merembet kepada disrupsi sisi supply.
Dia memberikan contoh saat pandemi covid-19 sedang menggila, situasi kala itu sangat tidak baik-baik saja. Terjadi disrupsi sisi supply, distribusi produk dan barang tidak berjalan lancar.
Akibatnya, saat pandemi covid-19 melandai, mobilitas masyarakat mulai tinggi, sisi permintaan melonjak tapi tidak bisa dipenuhi oleh produsen.
"Karena sesudah 2 tahun terkena pandemi ternyata normalisasi produksi tidak begitu saja mudah terjadi. Dengan adanya disrupsi sisi suplai akibat pandemi dan dengan sekarang masalah perang, sementara demand side meningkat, terjadilah inflasi global yang melonjak sangat tinggi," kata Sri Mulyani saat konferensi pers APBN Kita, Kamis (11/8/2022).
Menkeu menjelaskan, tren inflasi yang melonjak sangat tinggi, berbagai negara melakukan respons kebijakan moneter melalui pengetatan likuiditas dan kenaikan suku bunga.
Tindakan ini menimbulkan efek rembetan ke berbagai negara, sehingga volatilitas pasar keuangan melonjak.
Baca juga: Menkeu Sri Mulyani Waspadai Dorongan Inflasi dari Harga Pangan dan Energi
Karena itu kini ia tengah mewaspadai pergerakan inflasi nasional. Terutama yang didorong oleh harga pangan. Sri Mulyani menegaskan, Indonesia perlu mewaspadai inflasi yang didorong harga pangan. Sebab, angkanya sudah kisaran 11,5 persen.
"Inflasi ini terutama yang didorong harga pangan karena sudah mencapai 11,5 persen," ujar Sri Mulyani.
Kemudian yang kedua, menurut Sri Mulyani adalah inflasi yang berasal dari harga yang diatur pemerintah namun tidak semuanya bisa ditahan.
"Meskipun harga BBM Pertalite dan juga harga dari Solar, Elpiji, listrik, semuanya masih ditahan, namun kita lihat beberapa harga energi dan transportasi seperti tiket pesawat mengalami kenaikan," tutur Sri Mulyani.
Baca juga: Menkeu Sri Mulyani : Risiko Prospek Perekonomian Alami Pergeseran Jadi Ketidakpastian Global
Sri Mulyani mengimbau agar mewaspadai kedua faktor tersebut, yakni inflasi yang didorong harga pangan dan harga energi.
"Karena memang gejolak global adalah berasal dari food dan di Indonesia juga terkena 11,5 persen dan kemudian berasal dari energi yang kemudian diterjemahkan dalam beberapa barang yang diatur oleh pemerintah namun tidak semuanya bisa kita tahan," kata Sri Mulyani.
Saat ini, Indonesia telah menaikan subsidi di sektor energi sebesar Rp 502 triliun. Namun, apabila tidak ditahan harga energi akan jauh lebih tinggi dari 6,5 persen.
"Sedangkan inflasi core atau inti 2,9 persen sedikit menggambarkan ada kenaikan dan ini menggambarkan pemulihan ekonomi dari sisi demand mulai kuat, konsumsi meningkat, ekspor mulai meningkat, dan investasi mulai pulih," imbuh Sri Mulyani.
Dia juga menyoroti adanya pengetatan likuiditas dan kenaikan suku bunga kebijakan bank-bank sentral di negara maju serta potensi krisis utang global.