Resesi Ekonomi
Indonesia Jadi Titik Terang Gelapnya Dunia, Jokowi: Hati-hati, Ekonomi Global Tidak di Posisi Normal
Pertumbuhan ekonomi di kuartal II-2022 tumbuh 5,44 persen dan kuartal III-2022 tumbuhebih baik di angka 5,72 persen
Editor:
Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Keuangan Sri Mulyani menyakini Indonesia akan terhindar dari ancaman resesi ekonomi global pada 2023.
Namun, Jokowi mengingatkan semua pihak agar waspadai ketidakpastian ekonomi global dan tidak terlena dengan capaian-capaian indikator ekonomi di dalam negeri.
"Di tengah situasi ekonomi dunia yang sedang bergolak, Alhamdulillah ekonomi kita termasuk yang terbaik. Bahkan Managing Director IMF mengatakan di tengah dunia gelap, Indonesia adalah titik terang," ucap Jokowi dalam acara Penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran 2023, (1/12/2022).
"Tetapi sekali lagi perlu saya ingatkan, kita tetap waspada dan hati-hati. Semuanya harus memiliki perasaan yang sama bahwa keadaan sekarang ini utamanya ekonomi global tidak pada berada di posisi yang normal," sambungnya.
Baca juga: Prospek Investasi Properti di IKN Diyakini Tetap Seksi di Tengah Ancaman Resesi
Dalam kesempatan tersebut, Jokowi mengungkapkan optimismenya bahwa Indonesia mampu bertahan dari gejolak ekonomi global yang disebabkan oleh permasalahan yang kompleks.
Beberapa bukti yang menunjukkan Indonesia mampu bertahan adalah tumbuhnya ekonomi domestik di atas 5 persen dalam 4 kuartal secara beruntun.
Terakhir, Indonesia sukses membukukan pertumbuhan ekonomi di angka 5,7 persen pada kuartal III-2022.
Tak hanya pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi di Indonesia juga masih dalam keadaan cukup baik jika dibandingkan dengan negara-negara lain.
"Kinerja ekonomi Indonesia menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi di kuartal II-2022 tumbuh 5,44 persen dan kuartal III-2022 tumbuhebih baik di angka 5,72 persen," papar Jokowi.
Presiden juga menyebutkan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan instrumen yang sangat vital dalam menjaga stabilitas mengendalikan inflasi dan perekonomian nasional.
"APBN menjadi instrumen perlindungan sosial kepada masyarakat rentan. APBN harus mendorong pemulihan ekonomi nasional," pungkasnya.
APBN Bekerja Luar Biasa
Sri Mulyani mengungkapkan, pemulihan ekonomi Indonesia tercatat cukup baik jika dibandingkan dengan negara-negara lain.
Menurut bendahara negara itu, hal tersebut tidak terlepas dari kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dikelola dengan baik dan cermat.
Membaiknya kinerja ekonomi domestik tercermin dari pertumbuhan yang berada di atas 5 persen secara tahun ke tahun (yaer on year) selama 4 kuartal secara beruntun.
Kemudian, tingkat inflasi nasional terpantau di angka 5 persen, relatif lebih baik jika dikomparasi dengan negara lain yang berada di atas 10 persen.
"Dengan capaian ini, memang APBN bekerja luar biasa keras. Namun kita tetap mencermati bahwa terjadi perkembangan global yang perlu diwaspadai," ucap Sri Mulyani.
Baca juga: OECD Prediksi Eropa Jadi Wilayah yang Paling Terpukul Perlambatan Ekonomi Global
Menkeu juga mengungkapkan, optimisme pemulihan ekonomi perlu terus dijaga.
Namun pada saat yang sama, Indonesia juga perlu waspada terhadap risiko global yang berasal dari sejumlah permasalahan.
Mulai dari geopolitik, penerapan zero policy Covid-19 di Tiongkok, dampak pengetatan kebijakan moneter di negara maju dalam rangka mengendalikan inflasi, hingga kenaikan suku bunga global.
"Risiko ekonomi yang telah berubah. Dari ancaman pandemi sekarang menjadi ancaman financial yang membutuhkan respon berbeda dan kewaspadaan yang tinggi," pungkas Sri Mulyani.
Waspadai Lima Hal
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, ketidakpastian global hingga kini masih menghantui kondisi perekonomian seluruh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.
Hal ini buntut dari masih bergejolaknya perang Rusia-Ukraina, memanasnya perang dagang Tiongkok-Amerika Serikat (AS), hingga adanya kebijakan lockdown di Tiongkok untuk memerangi kasus Covid-19.
Perry melanjutkan, sederet permasalahan tersebut bakal memberikan dampak terhadap perekonomian global, yang tentunya wajib diwaspadai Indonesia.
"Kita perlu waspadai 5 masalah ini dari ekonomi global. Pertama, pertumbuhan menurun atau (akibat adanya) risiko resesi di AS dan Eropa meningkat," ucap Perry dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia di Jakarta Convention Center, Rabu (30/11/2022).
Kedua, lanjut Perry, inflasi yang sangat tinggi alias high inflation. Tingginya inflasi dikarenakan harga energi dan pangan global.
Ketiga, adanya tren peningkatan suku bunga tinggi oleh Bank Sentral AS alias The Fed, yang juga diikuti oleh Bank Sentral dari negara-negara lain.
Keempat, dolar Amerika Serikat diprediksi masih akan sangat kuat. Tekanan tersebut akan membuat mata uang negara lain terdepresiasi, termasuk terhadap rupiah.
Dan kelima, cash is the king. Yaitu fenomena yang memicu penarikan dana investor-investor global yang cenderung menarik dana dari negara berkembang dan menyimpan dananya di instrumen investasi yang likuid.
Untuk itu, dalam menjaga ketahanan perekonomian Bank Indonesia menekankan sinergi dan inovasi sebagai kunci untuk menghadapi gejolak global.
Baca juga: Kementerian Perindustrian Siapkan Solusi Jangka Pendek Hadapi Ancaman Resesi Ekonomi pada 2023
Optimisme terhadap pemulihan ekonomi perlu terus diperkuat dengan tetap mewaspadai rambatan dari ketidakpastian global, termasuk risiko stagflasi (perlambatan ekonomi dan inflasi tinggi) dan bahkan resflasi (resesi ekonomi dan inflasi tinggi).
"Hal ini mengingat risiko koreksi pertumbuhan ekonomi dunia dan berbagai negara dapat terjadi apabila tingginya fragmentasi politik dan ekonomi terus berlanjut, serta pengetatan kebijakan moneter memerlukan waktu yang lebih lama untuk mampu menurunkan inflasi di masing-masing negara," pungkas Perry.