Senin, 18 Agustus 2025

Gejolak Rupiah

Jumat Pagi, Rupiah Menguat Tipis hingga Rp 14.951 Per Dolar AS

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berdasarkan data Bloomberg pada hari ini, Kamis (12/7/2023), dibuka menguat

Penulis: Yanuar R Yovanda
Editor: Sanusi
Tribunnews/JEPRIMA
Petugas menunjukkan uang rupiah dan dolar AS di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Masagung Money Changer, Jakarta Pusat 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berdasarkan data Bloomberg pada hari ini, Kamis (12/7/2023), dibuka menguat ke Rp 14.950 per dolar AS.

Hingga sekira pukul 09.30, mata uang Garuda bergerak naik hingga 14,5 poin atau 0,1 persen ke Rp 14.951 per dolar AS dibanding kemarin di Rp 14.965.

Adapun rupiah bergerak dengan rentang pergerakan di kisaran Rp 14.948 per dolar AS sampai Rp 14.962 per dolar AS.

Baca juga: Akhir Pekan, Penguatan Rupiah Diprediksi Berlanjut

Berdasarkan data Yahoo Finance, rupiah dibuka berada pada posisi Rp 14.975 per dolar AS dengan rentang harian Rp 14.929 per dolar AS hingga Rp 14.975 per dolar AS.

Kemudian sekira pukul 09.30, pergerakan rupiah bertambah kuat hingga 10 poin atau 0,06 persen ke level Rp 14.954 per dolar AS.

Sementara, rupiah berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia pada level Rp 14.978 per dolar AS.

Sebelumnya, Analis pasar uang sekaligus Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan, rupiah dapat menguat hingga Rp 14.910.

"Untuk perdagangan Jumat, mata uang rupiah fluktuatif. Namun, ditutup menguat di rentang Rp 14.910 per dolar AS hingga Rp 15.010 per dolar AS," ujar dia melalui risetnya, Jumat (14/7/2023).

Dia menjelaskan sentimen eksternal yang memengaruhi rupiah adalah pelemahan dolar AS terdorong lebih rendah lagi diperdagangani kemarin.

Didorong oleh data inflasi AS yang lebih lemah dari perkiraan mendorong taruhan pada Federal Reserve atau Bank Sentral AS yang kurang agresif.

Baca juga: Perkasa, Rupiah Melesat Te,mbus di Bawah Rp 15.000 Per Dolar AS Kamis Pagi Ini

Ibrahim menilai, meskipun pembacaan Indeks Harga Konsumen lebih lemah, inflasi masih tetap di atas target tahunan Fed sebesar 2 persen.

Hal ini kemungkinan akan menarik lebih banyak kenaikan suku bunga oleh bank sentral dalam waktu dekat, dengan pasar secara luas memperkirakan kenaikan setidaknya 25 basis poin dalam pertemuan akhir Juli.

Sejumlah pejabat Fed juga menandai lebih banyak kenaikan suku bunga dalam beberapa bulan mendatang, memperingatkan bahwa inflasi inti masih tetap tinggi, dan menimbulkan ancaman yang mengakar.

Pembacaan IHK inti bulan Juni lebih rendah dari yang diperkirakan, sebesar 4,8 persen, tetapi masih relatif tinggi, dan jauh di atas angka utama, yang tumbuh 3 persen.

"The Fed awal tahun ini menandai tingkat puncak setidaknya 50 bps lebih dari 5,25 persen saat ini, meskipun data tenaga kerja yang lemah dan pembacaan CPI yang lemah mungkin melihat pergeseran dalam sikap ini selama pertemuan bank Juli," tutur Ibrahim.

Di sisi lain sentimen lainnya yang memengaruhi rupiah, yakni pelemahan ekonomi China pasca pandemi Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan.

Sejak dibukanya lockdown di China pada awal tahun, banyak negara termasuk Indonesia sebagai mitra dagang mengharapkan perekonomian Negeri Tirai Bambu ini segera pulih untuk mendorong pertumbuhan global.

Namun, apa yang diharapkan tidak sesuai, justru kondisinya malah berkebalikan, di mana ekonomi China hingga saat ini masih lesu.

Tercermin dari pelemahan mata uang China (CNY) mengalami depresiasi sepanjang tahun ini dan Indeks Purchasing Manager (PMI) manufaktur China pada Juni 2023 menjadi 50,5, melemah dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 50,9.

Para ekonom banyak yang menganggap, perlambatan ekonomi China memang berpotensi berdampak negatif bagi perekonomian Indonesia.

Keterkaitan ekonomi antara Indonesia dengan China cukup kuat, di mana estimasi sensitivitas pertumbuhan ekonomi China terhadap perekonomian Indonesia sebesar 0,39 persen, yang berarti perlambatan ekonomi China sebesar 1 persen berpotensi memperlambat ekonomi Indonesia sebesar 0,39 persen.

"Ini merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan mitra dagang lainnya, sebagai contoh Amerika Serikat, ujar Ibrahim.

Selain itu, diperkirakan perlambatan ekonomi China juga akan menekan harga komoditas global, dan ini juga mempengaruhi ekonomi Indonesia yang masih cukup banyak mengandalkan komoditas, terutama batu bara dan CPO.

Daerah-daerah penghasil komoditas diperkirakan akan terdampak seperti di beberapa wilayah di Sumatera dan Kalimantan.

Namun, pelemahan ekonomi China terhadap negara mitra dagang khususnya di Indonesia seharusnya tidak akan terlalu berdampak signifikan dikarenakan porsi neraca dagang dalam ekonomi tidak terlalu signifikan.

"Saat ini Indonesia hanya bisa mengandalkan pada konsumsi domestic, belanja pemerintah dan Foreign Direct Investment (FDI) dikala kondisi global bermasalah, termasuk ekonomi china yang melambat," pungkasnya.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan