Rabu, 17 September 2025

Kejar Pertumbuhan 8 Persen, Investor Inginkan Konsistensi Kebijakan dan Kenyamanan

Para pelaku industri mengeluhkan banyaknya hambatan investasi di Indonesia dan menyulitkan target pertumbuhan ekonomi 8 persen.

Penulis: Sanusi
Editor: Choirul Arifin
Kolase Tribunnews
DIGANGGU ORMAS - Proses pembangunan pabrik mobil BYD di Subang, Jawa Barat. Para pelaku industri menyoroti banyak hambatan investasi di Indonesia, sehingga akan sangat sulit guna memetik pertumbuhan 8 persen hingga 2030 sebagaimana dipatok pemerintah.  

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Para pelaku industri menyoroti banyak hambatan investasi di Indonesia, sehingga akan sangat sulit guna memetik pertumbuhan 8 persen hingga 2030 sebagaimana dipatok pemerintah. 

Dalam diskusi Bisnis Indonesia Forum bertema “Beragam Teror bagi Investor” yang dilaksanakan, pada Rabu (21/5/2025), para pelaku industri mengungkapkan persoalan hambatan investasi bukan sekadar premanisme, melainkan pula inkonsistensi kebijakan termasuk ketidakselarasan pusat dan daerah. 

Peristiwa premanisme yang menimpa salah satu manufaktur petrokimia di Cilegon, Banten beberapa waktu lalu, jadi pemantik pemerintah membereskan berbagai persoalan hambatan investasi

“[Peristiwa Cilegon], harus jadi momen membenahi persoalan banyak hambatan investasi,” ungkap Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Sarman Simanjorang selaku salah satu narasumber diskusi.

Dia mengatakan, sejumlah kendala tersebut dapat memengaruhi kinerja pertumbuhan ekonomi nasional yang ditargetkan tumbuh hingga 8 persen dalam 5 tahun ke depan.  

"Pertumbuhan ekonomi kita yang ditargetkan 8 persen dalam 5 tahun ke depan, hitung-hitungan kita itu investasi dibutuhkan sekitar Rp 13.000 triliun sampai Rp 14.000 triliun, itupun kalau ICOR-nya 3," kata Sarman.

Sementara itu, ICOR atau incremental capital output ratio, yang menjadi alat ukur tingkat efisiensi investasi suatu negara, di Indonesia masih tinggi yakni di atas 6.

Sementara negara-negara Asean berkisar 3-4 yang artinya biaya investasi lebih efisien.

Bukan tanpa sebab, dia pun menerangkan, Indonesia masih memiliki ragam persoalan yang harus diselesaikan untuk dapat meningkatkan investasi lebih besar.  

"Pertama, regulasi ini harus terus kita perbaiki, bagaimana perizinan ini dipercepat, jangan berbelit-belit, birokrasi yang ringkas, kami melihat ini masih perlu dipersingkat, meski sudah ada UU Cipta Kerja," tuturnya. 

Kedua, persoalan terkait pertanahan atau izin lahan yang seringkali membuat proses realisasi investasi terhambat. Ketiga, minimnya tenaga kerja terampil yang dibutuhkan sesuai dengan kebutuhan usaha sektoral. 

Apalagi, menurut Sarman, banyak investor yang mau masuk ke Indonesia dengan membawa teknologi tinggi. Faktanya, tenaga kerja di Indonesia dinilai belum siap untuk terlibat dalam hal itu. 

Baca juga: Susul Industri F&B Lain, Investor Singapura Akan Akuisisi Teguk

"Sebanyak 90 persen tenaga kerja kita ini kan masih berpendidikan menengah ke bawah sehingga tumpuan kita bagaimana lebih banyak lagi masuk yang namanya industri padat karya, sedangkan industri padat karya kita ini kan boleh dikatakan dalam kondisi tertekan saat ini," tambahnya. Keempat, masalah keamanan dan kenyamanan berusaha. 

Tak dipungkiri, dunia usaha masih diwarnai dengan pungutan liar (pungli), gangguan oknum premanisme, dan lainnya. Terakhir, polemik upah juga seringkali membuat investor maju mundur. Menurut dia, isu perubahan regulasi upah hanya terjadi di Indonesia.

"Hanya melihat pada kenaikan upah, tapi tidak dilihat produktivitas naik apa enggak? Pendapatan perusahaan naik apa enggak? Jadi saya rasa ini juga menjadi hal yang harus kita benahi," pungkasnya.

Baca juga: Airlangga, Bahlil, Hingga Rosan Dipanggil Prabowo Bahas Investasi Huayou yang Gantikan LG

Hal lain, seperti diungkapkan Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas), soal pasokan energi yang tak pernah pasti. Salah satunya terkait harga gas bumi tertentu (HGBT) untuk bahan baku industri. 

Untuk diketahui, kebijakan HGBT resmi dilanjutkan tahun ini melalui Keputusan Menteri ESDM No 76/2025 tentang Pengguna Gas Bumi Tertentu yang mulai berlaku pada Februari 2025. 

Adapun, untuk gas sebagai bahan baku dipatok sebesar US$6,5 per MMbtu dan gas sebagai bahan bakar US$7 per MMbtu.  

Sekjen Inaplas Fajar Budiono mengatakan meski aturan tersebut telah diberlakukan, pasokan gas yang mestinya digulirkan oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) tak berjalan optimal. Pelaku industri masih dikenakan alokasi kuota gas tertentu dalam pemakaiannya.  “Inkonsistensinya itu masih ada. Meskipun Kepres sudah turun,” ungkapnya.  

Untuk itu, Inaplas berharap pasokan gas domestik dapat meningkat seiring dengan dihentikannya ekspor gas ke Singapura dan dioptimalkan untuk mengisi kekosongan gas di jalur Sumatra-Jawa. Di sisi lain, pihaknya kini juga mengandalkan energi listrik untuk operasional produksi. Penggunaan listrik dinilai lebih murah dan minim hambatan.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan