Jumat, 19 September 2025

Tambang Nikel di Raja Ampat

Empat Perusahaan Tambang Nikel di Raja Ampat Diduga Langgar UU Lingkungan Hidup dan Putusan MK

Perusahaan tambang tersebut diduga melanggar sejumlah ketentuan hukum, termasuk Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Putusan MK.

|
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNSORONG.COM/SAFWAN ASHARI
TAMBANG NIKEL - Alat berat terparkir di area tambang PT. Gag Nikel di Pulau Gag, Distrik Waigeo Barat, Raja Ampat, Papua Barat Daya, Minggu (8/6/2025). Operasional perusahaan disetop sementara oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyusul masifnya kabar soal kerusakan lingkungan imbas pertambangan nikel. 


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Publik bertanya-tanya, apa alasan pemerintah menutup izin usaha pertambangan (IUP) terhadap 4 dari 5 perusahaan yang menambang nikel di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya.

Menurut Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar, perusahaan tambang tersebut diduga melanggar sejumlah ketentuan hukum, termasuk Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2023.

Pada UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengatur bahwa kawasan pesisir & pulau kecil harus diprioritaskan untuk konservasi, penelitian, pariwisata, perikanan, dan melarang penambangan di kawasan ini jika bisa menyebabkan kerusakan lingkungan atau sosial.

IUP empat perusahaan tambang di Raja Ampat yang dicabut adalah PT Anugerah Surya Pratama (PT ASP) di Pulau Manuran, PT Kawei Sejahtera Mining (PT KSM) di Pulau Kawei, serta PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) di Pulau Manyaifun dan Pulau Batang Pele. Serta PT Nurham.

Sementara itu, IUP tambang nikel PT Gag Nikel, anak usaha PT Aneka Tambang Tbk, tidak dicabut. 

Menurut Bisman, kegiatan usaha pertambangan wajib mengacu pada prinsip berwawasan lingkungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

Artinya, setiap operasi tambang harus mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

"Operasi pertambangan di Raja Ampat patut disesalkan karena kerusakan yang ditimbulkan terjadi di wilayah yang dikenal sebagai salah satu surga alam dengan kekayaan hayati luar biasa," kata Bisman dikutip Kontan.

Bisman menekankan, pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap izin tambang nikel di wilayah tersebut.

Evaluasi mencakup seluruh proses, mulai dari penerbitan izin, pengawasan pelaksanaan operasi, penerapan prinsip good mining practice, hingga komitmen perusahaan dalam menjalankan reklamasi dan pemulihan lingkungan.

Bisman mengatakan, pemerintah tidak boleh ragu untuk menghentikan dan mencabut izin tambang jika ditemukan pelanggaran.

Kegiatan ini patut diduga telah melanggar UU Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta UU Lingkungan Hidup. Apalagi Putusan MK 2023 telah mempertegas perlindungan hukum atas kawasan pesisir dan pulau kecil.

Baca juga: PB HMI: Menteri Hanif Faisol Seperti Humas Korporasi, Sebut Kerusakan di Raja Ampat Tak Serius

Bisman menambahkan, kerusakan lingkungan akibat tambang bukan hal baru di Indonesia. Ia mencontohkan kondisi di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah yang mengalami degradasi lingkungan akibat aktivitas tambang yang tidak terkendali.

"Risiko lingkungan yang ditimbulkan terlalu besar. Oleh karena itu, dibutuhkan langkah tegas dari pemerintah untuk menyelamatkan lingkungan, khususnya di wilayah-wilayah yang memiliki nilai ekologis tinggi seperti Raja Ampat," pungkasnya.

Direktur Eksekutif Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai perlu dilakukan evaluasi total dan moratorium izin tambang.

"Bukan hanya soal Cirebon dan Raja Ampat, bahkan Yogyakarta yang dikenal destinasi pariwisata saja sedang bermasalah soal tata kelola tambang," kata Bhima kepada Kontan, Minggu (8/6/2025).

Baca juga: Bahlil Cabut Empat dari 5 Izin Usaha Tambang di Raja Ampat, PT Gag Nikel Tetap Beroperasi

Menurut Bhima, selain masalah lingkungan dan hilangnya nilai karbon, pertambangan yang terlalu meluas dan ekspansif berisiko tinggi terhadap hilangnya pendapatan masyarakat lokal jangka panjang khususnya di sektor pertanian dan perikanan. 

"Kalau pemerintah pusat serius bisa segera bentuk tim moratorium izin tambang baik nikel dan galian C, berkoordinasi dengan akademisi independen dan kepala daerah," jelasnya.

Bhima menambahkan, selama ini banyak pemerintah daerah merasa ekspansi tambang tidak banyak membantu pendapatan daerah sementara biaya kerusakan jalan dan biaya kesehatan yang sangat besar.


Laporan Reporter: Diki Mardiansyah | Sumber: Kontan

Sumber: Kontan
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan