Guru Besar IPB: Kebijakan Denda Sawit Ilegal Berpotensi Timbulkan Konflik Hukum
Banyak lahan yang diklaim sebagai kawasan hutan sebenarnya telah lebih dulu dimanfaatkan masyarakat, baik untuk kebun karet, kopi.
Penulis:
Dennis Destryawan
Editor:
Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Guru Besar Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr. Sudarsono Soedomo, menilai langkah pemerintah melalui Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) untuk menagih denda kepada pelaku usaha perkebunan sawit ilegal berpotensi menimbulkan masalah baru.
Sudarsono menyoroti revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2021 tentang sanksi administrasi pelanggaran kawasan hutan. Sebab, lanjut dia, persoalan utama bukan semata pada kebun sawit yang dituding ilegal, melainkan pada status kawasan hutan itu sendiri.
“Kalau tanah yang ditanami sawit benar-benar kawasan hutan yang dibentuk sesuai UU No 41/1999, silakan pemerintah menindak. Tetapi faktanya, sebagian besar kawasan yang diklaim sebagai kawasan hutan baru sebatas penunjukan, belum melalui empat tahap sesuai pasal 15, yaitu penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan,” ujar Sudarsono dikonfirmasi Selasa (16/9/2025).
Baca juga: Pabrik Gas Biometan Pertama Berbahan Baku Limbah Sawit Dibangun di Simalungun
Sudarsono mengatakan, banyak lahan yang diklaim sebagai kawasan hutan sebenarnya telah lebih dulu dimanfaatkan masyarakat, baik untuk kebun karet, kopi, cokelat, sawit, maupun pemukiman yang sudah ada bahkan sebelum Indonesia merdeka.
“Yang ilegal itu dalam banyak kasus adalah justru kawasan hutannya. Fakta ini yang diabaikan, bahkan menjadi rujukan,” jelasnya.
Sudarsono menilai, revisi PP ini tidak serta-merta memperbaiki iklim investasi. Selama definisi kawasan hutan masih keliru, kepastian hukum bagi investor tetap kabur.
“Kehutanan menguasai dua pertiga tanah Indonesia, tapi kontribusinya ke PDB kurang dari 1 persen. Klaim kawasan hutan yang keliru justru menghambat pembangunan di luar Jawa, dan ini membuat investasi tidak menarik,” ujarnya.
Dia mencontohkan kasus tanah transmigrasi yang sudah bersertifikat hak milik, namun tiba-tiba diklaim masuk kawasan hutan. Menurut keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 34/2011, dalam kasus seperti ini maka Pasal 4 UU No 41/1999 tentang Kehutanan batal. Artinya, klaim kawasan hutan itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Jika keputusan MK No 34/2011 itu diikuti, maka tidak ada yang namanya tumpang tindih SHM atau HGU dengan kawasan hutan, karena kawasan hutannya batal. Ini juga diabaikan, sehingga timbul ketidakpastian,” jelasnya.
Bagaimana dengan petani plasma atau masyarakat kecil yang menggantungkan hidup pada sawit di kawasan yang disebut ilegal? Sudarsono menyarankan pendekatan keadilan.
“Petani mampu bayar sewa 500 ribu rupiah per hektare per tahun. Bandingkan dengan HTI (hutan tanaman industri) yang kontribusinya hanya sekitar 280 ribu rupiah per hektare per tahun. Pilihlah kebijakan yang lebih memakmurkan rakyat,” tegasnya.
Selain itu, Sudarsono juga mengingatkan otoritas kehutanan tentang tata batasnya.
“Saya jamin, mereka tidak akan bersedia menunjukkannya karena memang tidak ada,’’ paparnya.
Ia juga mengingatkan risiko besar konflik hukum. Bukan hanya korporasi yang merasa dirugikan, tetapi juga masyarakat kecil yang lahannya terperangkap dalam klaim kawasan hutan.
“Saya berharap Presiden Prabowo menyadari situasi ini. Kalau masalah ini bisa diselesaikan, rakyat kecil yang paling banyak diuntungkan,” ucapnya.
Sudarsono menegaskan harapannya agar Presiden Prabowo segera mengambil langkah tegas untuk menyelesaikan kontroversi kawasan hutan tersebut.
“Hanya tinggal melaksanakan peraturan perundangan yang sudah ada dengan benar. Rakyat sudah terlalu lama menunggu dibebaskan dari jeratan kawasan hutan. Rakyat menunggu pertolongan dari satria pembebas,” tandasnya.
Sebelumnya, Ketua Pelaksana Satgas PKH Febrie Adriansyah mengatakan pengusaha sawit dan tambang ilegal tetap harus membayar denda administratif, meski lahannya telah disita negara. Dalam delapan bulan terakhir, Satgas PKH berhasil menertibkan sedikitnya 3.325.133,2 hektar lahan yang dikuasai secara ilegal.
Mekanisme denda administratif termaktub dalam Perubahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
Presiden Prabowo Subianto telah menandatangani revisi PP 24/2021 pada 10 September 2025. Berdasarkan aturan tersebut, Satgas PKH akan menghitung dan menagih denda kepada korporasi yang menggunakan kawasan hutan menjadi lahan sawit atau tambang ilegal.
WAWANCARA EKSKLUSIF: Nenek Dimaafkan Uya Kuya: Demi Allah, Aku Enggak Nyolong! |
![]() |
---|
Polisi Tetapkan 15 Tersangka Penjarahan Rumah Uya Kuya, Satu di Antaranya Anak di Bawah Umur |
![]() |
---|
Polisi Jadwal Ulang Pemanggilan Sherina Munaf Jumat Ini Untuk Klarifikasi Soal Kucing Uya Kuya |
![]() |
---|
IDSurvey Dorong Praktik Bisnis Hijau Lewat Pendekatan Riset dan Teknologi |
![]() |
---|
Batasi Konsumsi Gula Harian Anak dan Remaja, Ini Kata Ahli Gizi IPB |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.