Impor Polypropylene dari Vietnam Meningkat, Industri Desak Pemerintah Terapkan BMAD
Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI) tengah melakukan penyelidikan terhadap dugaan praktik dumping impor polypropylene
Ringkasan Berita:
- Total impor sektor plastik dan barang jadi plastik Indonesia mencapai US$ 10,59 miliar pada tahun 2024, data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa ketergantungan impor masih sangat besar
- Pemerintah diminta untuk segera menerbitkan regulasi BMAD agar industri nasional tidak terus ditekan oleh arus impor yang semakin menguat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asosiasi Industri Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia (INAPLAS) mendesak pemerintah segera menetapkan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) produk turunan petrokimia seperti polypropylene (PP) homopolymer.
Polypropylene adalah sejenis plastik termoplastik yang berasal dari polimerisasi propilena, banyak digunakan dalam kemasan, tekstil, otomotif, dan berbagai produk rumah tangga.
Seperti diketahui, Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI) tengah melakukan penyelidikan terhadap dugaan praktik dumping impor polypropylene dari delapan negara.
Baca juga: BSN Hapus SNI Lama untuk Pipa Polietilena, Inaplas: Kepastiaan Hukum Bagi Industri
Penyelidikan dilakukan karena adanya indikasi bahwa produk impor dijual di bawah harga wajar pasar dan telah menimbulkan kerugian material bagi industri nasional yang semakin tertekan oleh lonjakan volume harga impor.
Sekretaris Jenderal INAPLAS Fajar Budiono, menyatakan proses BMAD kini telah berada di tahap akhir.
“Setahu saya, BMAD saat ini sudah memasuki tahap penyelidikan keempat atau tahap akhir. Selanjutnya, kita tinggal menunggu draft untuk dibahas oleh tim tarif,” ujarnya, Senin (24/11/2025).
Delapan negara yang menjadi objek penyelidikan tersebut adalah China, Malaysia, Filipina, Arab Saudi, Korea Selatan, Singapura, Thailand, dan Vietnam. KADI memberikan kesempatan hingga 7 November 2025 kepada negara-negara tersebut untuk mengajukan pembebasan dari kemungkinan pengenaan BMAD.
Pelaku industri kini terus menunggu kejelasan waktu. “Untuk waktu pastinya, kami belum dapat memastikan apakah akan memakan waktu satu, dua, atau tiga bulan, karena semuanya bergantung pada keputusan tim tarif. Dalam kasus anti-dumping, besaran tariff yang dikenakan untuk masing-masing perusahaan akan ditentukan oleh tim tariff. Jadi, sampai saat ini belum ada timeline yang jelas,” ungkap Fajar.
Baca juga: Kebijakan HGBT Berlanjut, Kadin dan Inaplas Sebut Industri Nasional Bisa Makin Kompetitif
Kebutuhan percepatan keputusan semakin mendesak karena utilisasi kapasitas produksi nasional dilaporkan telah turun di bawah 70 persen, kondisi yang dapat berujung pada penutupan pabrik jika tidak ada intervensi kebijakan.
Fajar menegaskan, “Utilisasi produksi saat ini turun di bawah 70%, dan hal ini tentu berdampak pada pengurangan kapasitas produksi. Langkah pertama yang kami lakukan adalah menormalkan kondisi operasional agar tetap aman. Namun apabila situasi ini terus berlanjut, perusahaan terpaksa akan merumahkan sebagian pekerja.
"Saat ini saja sudah ada kebijakan kerja bergilir, satu minggu bekerja dari rumah dan satu minggu masuk kantor, dan dampaknya sudah mulai terasa. Jika kondisi memburuk, bukan tidak mungkin terjadi perumahan sementara tanpa tunjangan tambahan, di mana pekerja hanya menerima gaji pokok. Kekhawatiran kami, pada tahap berikutnya dapat terjadi penutupan operasional dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK),” tegasnya.
Baca juga: INAPLAS Apresiasi Penyelidikan KPPI Terkait Lonjakan Impor LLDPE
Dalam kondisi pasar global yang bergerak sangat cepat, INAPLAS berharap pemerintah mampu memberikan keputusan tepat waktu agar tidak menimbulkan kerugian lebih jauh.
“Yang jelas, dalam situasi dengan dinamika yang sangat cepat seperti saat ini, kami berharap pemerintah dapat mengambil keputusan secara tepat waktu, sehingga aspek perlindungan, pengamanan, dan keseimbangan dapat benar-benar tepat sasaran. Jika prosesnya terlalu lama, industri bisa terlanjur terdampak berat, dan sektor lainnya juga bisa ikut terganggu,” tegas Fajar.
Dengan total impor sektor plastik dan barang jadi plastik Indonesia mencapai US$ 10,59 miliar pada tahun 2024, data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa ketergantungan impor masih sangat besar. Kondisi ini memperkuat urgensi pemerintah untuk segera menerbitkan regulasi BMAD agar industri nasional tidak terus ditekan oleh arus impor yang semakin menguat.
Sumber: Tribunnews.com
| SEA Games 2025 - Insiden Eks Gresik Petrokimia Memperuncing Konflik Volimania Thailand & Vietnam |
|
|---|
| Transfer Pemain Proliga 2026: Gresik Petrokimia Rekrut Best Setter Livoli Divisi 1 |
|
|---|
| BSN Hapus SNI Lama untuk Pipa Polietilena, Inaplas: Kepastiaan Hukum Bagi Industri |
|
|---|
| Prabowo Kagum dengan Bangsa Korea: Tangguh dan Pekerja Keras |
|
|---|
| Prabowo Resmikan Pabrik Ethylene Terbesar di Cilegon Milik Lotte Chemical |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/tribunnews/foto/bank/originals/pusat-industri-petrokimia-PT-Lotte-Chemical-Indonesia.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.