Virus Corona
Pfizer Bermitra Dengan Biovac Afrika Selatan untuk Produksi Vaksin Covid-19 Afrika pada 2022
Biovac, Pfizer dan perusahaan bioteknologi Jerman BioNTech sepakat memproduksi vaksin virus corona (Covid-19) bersama, mulai 2022 mendatang.
Penulis:
Fitri Wulandari
Editor:
Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, CAPE TOWN - Perusahaan Afrika Selatan (Afsel) Biovac telah mencapai kesepakatan dengan raksasa farmasi Amerika Serikat (AS) Pfizer dan perusahaan bioteknologi Jerman BioNTech untuk memproduksi vaksin virus corona (Covid-19) bersama, mulai 2022 mendatang.
Sebelumnya, Pfizer dan pemerintah Afsel telah berseberangan dalam perdebatan mengenai penghapusan perlindungan IP untuk vaksin Covid-19 selama pandemi, dalam upaya memudahkan vaksinasi massal di negara miskin dan berkembang.
Baca juga: PM Jepang Minta kepada CEO Pfizer Percepat Pesanan 20 Juta Dosis Vaksin
Baca juga: Menag: Kematian Akibat Covid-19 Bukan Sekadar Angka Statistik, Jaga Prokes dan Lakukan Vaksinasi
Sementara itu, Pfizer mengatakan dalam pernyataan resminya pada Rabu lalu bahwa pihaknya akan mulai memproduksi vaksin Covid-19 di fasilitas Biovac di Cape Town, Afrika Selatan, pada 2022.
"Ini untuk memfasilitasi keterlibatan Biovac dalam proses, transfer teknis, dan pengembangan di tempat. Kegiatan pemasangan peralatan itu pun akan segera dimulai," kata Pfizer dalam pernyataan tersebut.

Pada kapasitas operasional penuh, kata Pfizer, produksi tahunan diperkirakan mencapai lebih dari 100 juta dosis jadi setiap tahunnya.
"Semua dosis akan didistribusikan secara eksklusif di dalam 55 negara anggota yang membentuk Uni Afrika," jelas Pfizer.
Namun, bahan kimia yang digunakan dalam vaksin itu sendiri tidak akan diproduksi di dalam negeri.
Karena bahan kimianya akan dikirim dari tempat lain dan diproses menjadi vaksin akhir untuk didistribusikan di Afrika Selatan, sebuah proses yang disebut 'pengisian dan perampungan'.
Dikutip dari laman Sputnik News, Jumat (23/7/2021), kerja sama ini pun diapreasiasi CEO Biovac Dr. Morena Makhoana dalam pernyataan resminya.
"Kami sangat senang dapat berkolaborasi dengan Pfizer dan BioNTech untuk memproduksi dan mendistribusikan vaksin Covid-19 Pfizer-BioNTech di Afrika. Ini adalah bukti hubungan jangka panjang yang kami miliki dengan Pfizer melalui vaksin Prevenar 13, yang melindungi dari pneumonia pneumokokus," kata Dr. Makhoana.
Menurutnya, ini merupakan langkah maju yang penting dalam memperkuat akses berkelanjutan terhadap vaksin dalam memerangi krisis pandemi di seluruh dunia.
"Kami percaya, kolaborasi ini akan menciptakan peluang untuk mendistribusikan dosis vaksin secara lebih luas kepada orang-orang di komunitas yang lebih sulit dijangkau, terutama di benua Afrika," tegas Dr. Makhoana.
'Tidak Cukup' untuk Kemandirian Vaksin
Sementara itu, Lara Dovifat dari Médecins Sans Frontières mengatakan bahwa kesepakatan tersebut memang menjadi 'langkah pertama' titik terang pengadaan vaksin di benua itu.
Namun ia mencatat bahwa kerja sama ini 'jelas tidak cukup untuk mencapai kemandirian vaksin di benua Afrika', karena Pfizer dan BioNTech masih belum setuju untuk berbagi teknologi yang cukup untuk membiarkan Afsel membuat vaksinnya secara mandiri.
Sejauh ini, Afsel dan India telah memimpin gerakan lebih dari 80 negara dalam meyakinkan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk mengabaikan perjanjian Aspek Terkait Hak Kekayaan Intelektual (TRIPS), yang mencegah versi obat generik dibuat di negara miskin dan berkembang.
Padahal jika negara miskin dan berkembang diizinkan memproduksi obat yang cukup murah, tentu ini bisa dijangkau banyak negara miskin di dunia.
Namun faktanya adalah saat ini negara dari dunia ketiga harus membeli obat yang diproduksi dari perusahaan farmasi yang berasal dari negara kategori 'Dunia Pertama'.
Bahkan seringkali obat tersebut ditawarkan dengan harga yang sama dengan pembeli yang berasal dari sesama negara maju yang masuk dalam kategori Dunia Pertama.
Meningkatkan Produksi
Pada akhir Mei lalu, Presiden Afrika Selatan (Afsel) Cyril Ramaphosa sempat menggelar konferensi pers dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron.
Ia mengatakan bahwa Afrika tidak bisa diam saja dan hanya menunggu giliran 'paling belakang' dalam upaya mendapatkan vaksin Covid-19.
Karena mereka terus berpacu dengan waktu saat setiap harinya ada banyak nyawa yang harus dipertaruhkan.
"Vaksin baru saja mengalir ke Afrika, kita tidak bisa terus menunggu di bagian belakang antrian. Semakin lama kita menunggu, semakin banyak nyawa yang kita pertaruhkan," tegas Cyril.
Perlu diketahui, sejauh ini Afsel baru melakukan vaksinasi pada 5 persen dari 59 juta populasinya.
Mirisnya, di seluruh benua Afrika, hanya kurang dari 2 persen orang Afrika yang telah divaksinasi terhadap virus tersebut.
Sementara itu, ada banyak negara yang telah menerima vaksin hasil sumbangan dari negara lain melalui program COVAX yang diinisiasi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), namun langsung kehabisan stok.
Mereka terus 'membunyikan alarm' pada bulan lalu dan menyatakan lebih dari separuh jumlah negara yang didukung fasilitas COVAX saat ini berada dalam risiko kehabisan dosis.
Afsel sudah sangat bergantung pada Pfizer untuk program vaksinasinya dan telah membayar untuk 40 juta dosis.
Negara itu juga telah memproduksi vaksin Johnson & Johnson di fasilitas Aspen Pharmacare di Durban, namun terpaksa membuang lebih dari 300.000 dosis J&J pada bulan lalu karena khawatir adanya kontaminasi yang berasal dari kesalahan manufaktur di fasilitas lain di kota Baltimore, AS.
Tujuan Afsel saat ini adalah melakukan vaksinasi pada dua pertiga dari populasinya pada Februari 2022.
Pada hari Selasa lalu, Konsul Jenderal AS di Cape Town, Will Stevens mengumumkan bahwa AS akan menginvestasikan 200 juta dolar AS ke Aspen, perusahaan farmasi terbesar di Afrika.
Investasi ini ditujukan untuk memungkinkan produksi vaksin di fasilitas itu menjadi berlipat ganda hingga mencapai 400 juta dosis per tahun.
Berbeda dengan vaksin Pfizer yang menggunakan dua dosis, vaksin J&J hanya menggunakan metode satu kali suntik.
Awal bulan ini, Johannesburg di Afsel juga mensertifikasi vaksin Sinovac asal China, bahkan produksi vaksin ini juga sedang dipertimbangkan di Afsel.
Sementara negara Afrika lainnya yakni Mesir dan Maroko telah menandatangani kesepakatan untuk memproduksi vaksin dari perusahaan China lainnya, Sinopharm.
Afsel saat ini berada di tengah gelombang ketiga infeksi Covid-19 yang telah mendorong pemerintahan mereka menerapkan sistem penutupan baru, termasuk larangan sementara untuk membeli alkohol.
Pengangguran besar-besaran dan kurangnya akses untuk mendapatkan barang, telah memicu munculnya protes besar-besaran dan kerusuhan yang terlihat di negara itu selama dua pekan terakhir.
Aksi ini awalnya dipicu oleh penangkapan mantan Presiden Afsel Jacob Zuma, di mana setidaknya ada 276 orang terbunuh.
Pada hari Kamis kemarin, Direktur Jenderal Departemen Kesehatan negara itu, Nicholas Crisp mengatakan kepada parlemen negara itu bahwa sebanyak 25.000 dosis vaksin telah dicuri dalam aksi penjarahan.
Ini yang akhirnya turut melumpuhkan sementara kampanye vaksinasi di Afsel.
Namun kemudian, ia menegaskan bahwa kampanye vaksinasi saat ini telah dilanjutkan dan 250.000 orang telah divaksinasi dalam 24 jam terakhir.
"Kami akan dapat melakukan vaksinasi, setidaknya satu dosis untuk 35 juta orang sebelum Natal," kata Crisp.