Laporan dari Doha: Pelaut Indonesia Jutawan Muda
Masih muda, sekitar 30-an. Gajinya sekitar 2.000 dolar AS (kurang dari Rp 20 juta rupiah) sebulan. Di Indonesia, ini gaji kebanyakan direktur
Editor:
Dahlan Dahi

Sebelum bergabung ke tim Oslo, dia hanya berlayar di kawasan Asia. Basisnya di Singapura. Keahliannya adalah mualim tiga. Tugasnya terkait keselamatan pelayaran. Pemadam kebakaran di atas kapal adalah tanggung jawabnya.
Anak muda Makassar ini mendapatkan jaringan Oslo melalui internet. Para pelaut atau calon pelaut mencari pekerjaan dengan menjelajali dunia maya.
Bantuan Mbah Google terasa sekali. Mereka sudah paham kata kunci apa yang digunakan di mesin pencari, menemukan alamat perusahaan yang membutuhkan pelaut, mengajukan aplikasi dalam bahasa Inggris, dan menunggu panggilan.
Begitulah. Internet menghubungkan para pelaut di seluruh dunia. “Sekarang ini hampir semua kapal sudah dilengkapi WiFi. Saya berkomunikasi dengan keluarga di rumah dengan Skype,” begitu kata anak muda Makassar itu.
Ada lagi seorang pelaut kelahiran Palopo, Sulsel, menikah dengan orang Parepare tapi tinggal di Bogor, Jawa Barat. Dia ini lulusan Akademi Maritim Indonesia (AMI) di Makassar dan merampungkan pendidikan lanjutan di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta tahun 1999.
Sejak itu ia bekerja di kapal di Singapura, tempat pemilik kapal dan para agen kapal internasional bermarkas. Lewat internet dia menemukan jaringan Oslo.
Bersama tiga temannya yang orang Indonesia, dia mengoperasikan kapal dengan misi membantu eksplorasi minyak lepas pantai di Afrika Tengah. Semua perwira kapal orang Indonesia, sementara rating (pegawai rendahan di kapal seperti olimen) semuanya dari Nigeria.
"Jarang ada perwira kapal dari Nigeria atau negara Afrika lainnya. Indonesia beruntung karena memiliki sekolah pelayaran yang bagus," katanya.
Kampus-kampus dan sekolah pelayaran memang bertebaran di beberapa kota di Indonesia. Di Semarang ada PIP, Politeknik Ilmu Pelayaran, sekolah tingginya, STIP, ada di Jakarta. Sedangkan di Makassar ada setidaknya tiga sekolah pelayaran, yakni BP2IP, AMI, dan AMIK.
Jelang pukul 08 waktu Doha, saya berpisah dengan para pelaut yang menjadi jutawan muda itu.
Mereka menuju Oslo, saya menanti penerbangan ke Moskow. Sambil menunggu jam boarding, saya merenung: barangkali kalau sekolah di Indonesia lebih baik maka bangsa ini tidak akan mengeskpor pembantu rumah tangga.
Pukul 18.55, Qatar Airways mendarat mulus di Demodedovo International Airport setelah terbang sekitar empat jam dari Doha. Suhu di bandara tersibuk di Rusia ini cukup bersahabat, 26 derajat Celcius.
Panitia II World Media Summit menunggu di persis di pintu ke luar bandara, menyediakan jemputan, dan membantu registrasi hotel.(*)