Pengamat UIN Sesalkan Pernyataan Sekjen PBB Terkait Status Sahara Barat
Sengketa Sahara Barat berawal dari keinginan Maroko menyatukan kembali wilayah yang sempat dibelah oleh dua negara Eropa.
Editor:
Robertus Rimawan
Untuk mencapai keinginan tersebut, Aljazair sejak 1973 secara aktif memberikan dukungan kepada kelompok Polisario yang mereka tampung di kamp Tindouf di Aljazair.
Di Tindouf, Polisario berkuasa dan mendeklarasikan Negara Demokratik Arab Sahrawi, dan sejak itu melakukan kampanye untuk mendapatkan pengakuan internasional.
Maroko sempat terlibat dalam konflik bersenjata dengan Polisario dan Aljazair, hingga gencatan yang ditandatangani pada 1991.
“Sejak gencatan hingga 1994 dilakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan sengketa, lalu mandek, dan kembali dibuka pada tahun 2007 hingga sekarang,” sambung Teguh.
PBB meminta para pihak yang bersengketa untuk menyampaikan proposal demi mengakhiri sengketa.
Maroko mengusulkan otonomi khusus sebagai jalan keluar. Sementara Polisario dan Aljazair di belakangnya meminta referendum.
“Dalam catatan resminya, PBB menilai bahwa poroposal otonomi khusus dari Maroko merupakan solusi yang serius dan credible untuk menyelesaikan sengketa."
"Proposal otonomi khusus ini pun mendapatkan dukungan dari semua negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB,” kata Teguh lagi.
Dia mengatakan, bahwa kritik yang disampaikannya ini ditujukan untuk Ban Ki-moon secara pribadi, bukan kepada PBB sebagai sebuah lembaga internasional yang memiliki peran agung menjaga perdamaian dunia.
Pernyataan Ban Ki-moon secara pribadi memperlihatkan ketidakmampuan mengikuti proses perdamaian, atau bisa jadi merupakan pembangkangan serius terhadap tugas dan tanggung jawabnya sebagai Sekjen PBB.
Dengan demikian, sambung Teguh, Ban Ki-moon bukan saja menjadi masalah bagi Maroko dan proses perdamaian di Sahara Barat.
Pernyataannya blunder seperti itu bisa diulangi di tempat-tempat lain yang sedang mengalami konflik atau rawan konflik.
Pada gilirannya, Ban Ki-moon bisa membahayakan perdamaian dunia.
“Bayangkan juga bila Ban Ki-moon datang ke Indonesia atau ke negara tertentu di kawasan Pasifik, dan lalu memberikan pernyataan blunder terkait status Papua, misalnya."
"Bila ini terjadi, dan melihat apa yang terjadi di Afrika Utara, hal ini mungkin terjadi, Indonesia akan menghadapi persoalan besar terkait keutuhan teritori NKRI."
"Pernyataan Ban Ki-moon selagi dia masih menduduki kursi Sekjen PBB tentulah memiliki arti yang sangat serius,” demikian Teguh. (*)