Prosedur Pengadilan di Jepang Membuat Pihak Bersengketa Berdamai
Kepala Biro Seoul koran Sankei Jepang Tatsuya Kato sempat kaget saat dipanggil ke pengadilan di Seoul karena dianggap mencoreng nama baik Presiden.
Editor:
Dewi Agustina
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Tokyo
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Kepala Biro Seoul koran Sankei Jepang Tatsuya Kato sempat kaget saat dipanggil ke pengadilan di Seoul karena dianggap mencoreng nama baik Presiden Park Geun-hye.
"Saya kaget prosedur persidangan di Korea lain sekali dengan di Jepang. Kalau di Jepang orang didamaikan dulu, dicari dulu bukti dan kesalahannya, tapi kalau di Korea langsung disidangkan dianggap kita sebagai pihak yang salah," kata Tatsuya Kato kepada Tribunnews.com di Tokyo baru-baru ini.
Lalu bagaimana sebenarnya prosedur persidangan di Jepang sebenarnya, benarkah kita didamaikan terlebih dulu?
Di Indonesia sebenarnya juga menggunakan sistem mediasi untuk didamaikan terlebih dulu, meniru sistem Jepang dengan menggunakan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2008 setelah memperhatikan secara mendalam peluang-peluang yang dimungkinkan oleh sistem hukum Indonesia.
Dalam PERMA, para pihak dibolehkan untuk menggunakan jasa mediator lebih dari satu orang yang terdiri atas hakim dan profesi lainnya yang dianggap memahami masalah pokok sengketa.
Konsep ini menyerupai dengan konsep Chotei dalam sistem hukum Jepang.
Jika dalam PERMA No. 2 Tahun 2003, hakim pemeriksa perkara tidak dibolehkan menjadi mediator perkara yang diperiksanya, sebaliknya dalam PERMA No. 1 Tahun 2008, hakim pemeriksa perkara tidak dibolehkan menjadi mediator perkara yang diperiksanya, hanya apabila dikehendaki oleh para pihak atau atas dasar ketentuan Pasal 12 ayat (6).
Hakim pemeriksa perkara boleh menjadi mediator dalam perkara yang diperiksanya menyerupai dengan konsep Wakai dalam sistem hukum Jepang.
Selanjutnya, dalam sistem hukum Jepang dikenal konsep Sokketsu Wakai, yaitu perdamaian di luar pengadilan dapat dimintakan pengesahannya kepada pengadilan.
Konsep Sokketsu Wakai memberikan inspirasi bagi Kelompok Kerja untuk mengadopsinya ke dalam PERMA seperti yang dirumuskan dalam Pasal 24.
Seorang Profesor kelahiran Fukuoka, Yoshiro Kusano mantan hakim Jepang, melalui bukunya “WAKAI, Terobosan Baru Penyelesaian Sengketa”, memaparkan secara komprehensif apa dan bagaimana Wakai dipraktikkan di Jepang.
Buku setebal 216 halaman itu khusus menyajikan pembahasan tentang Wakai, satu dari dua metode penyelesaian sengketa berdasarkan kesepakatan para pihak yang dikenal di Jepang.
Jadi pada saat kita mulai bersengketa, biasanya pengadilan mengajukan melakukan Wakai.
Wakai adalah kesepakatan antara para pihak yang bersengketa dalam gugatan tertentu, yang berisi penyelesaian sengketa di muka hakim yang menangani kasus litigasi tersebut.
Sementara, Chotei adalah kesepakatan antara para pihak dalam suatu perkara Chotei tertentu, yang berisi penyelesaian sengketa di muka Komisi Chotei.
Buku Kusano juga mengungkapkan segala kritikan dan ketidakpuasan yang mengiringi praktik Wakai. Namun begitu, Yoshiro memandang kritikan tersebut hanya berkisar pada metode dan isi, tetapi tidak menafikan pentingnya Wakai.
"Hakim hendaknya secara aktif berupaya keras tanpa sikap menonjolkan diri untuk melangsungkan Wakai baik yang memuaskan kedua belah pihak," tulis Kusano pada halaman 28.
Implisit, mantan hakim yang telah mengabdi selama 35 tahun ini ingin mengatakan bahwa sukses atau tidaknya Wakai terletak di pundak para hakim.
Kerja sama dengan panitera pengadilan merupakan hal yang sangat penting dalam proses Wakai.
Diibaratkannya hubungan hakim-panitera layaknya dua pemegang tandu, di mana tanpa salah satunya tandu tidak mungkin terangkat.
Nasihat penting Kusano adalah agar tidak lemah dalam melaksanakan Wakai.
Dengan cara Wakai model ini, kesepakatan para pihak tentunya akan menyedot energi dan biaya yang lebih murah dibandingkan dengan berproses di pengadilan.
Kusano juga mengingatkan bahwa Jepang dan Indonesia pada dasarnya memiliki kondisi hukum yang berbeda. Makanya buku ini tidak begitu saja dapat diterapkan di Indonesia.
Laiknya sebuah kajian perbandingan, penyesuaian di sana-sini tentunya perlu dilakukan.
Budaya masyarakat Jepang yang sungkan berselisih, enggan ribut di pengadilan, tampaknya semakin mudah melakukan Wakai, melakukan kesepakatan di luar pengadilan.
Hanya pihak yang benar-benar sudah tak bisa didamaikan lah yang biasanya masuk dan muncul di pengadilan di Jepang. Butuh uang banyak dan butuh waktu berkepanjangan kalau sudah masuk pengadilan di Jepang.
Jadi mungkin unsur budaya masyarakat ternyata mungkin perlu menjadi pertimbangan untuk pelaksanaan di Indonesia.
Lebih ingin berdamai di luar pengadilan dengan baik, atau langsung masuk ke pengadilan saling "bertempur"?
Karakter manusia inilah yang mungkin ikut mempengaruhi proses Wakai bisa tidaknya diimplementasikan di Indonesia.