Virus Corona
Mengapa Jepang Bisa Tenang Hadapi Pandemi Covid-19?
Kepatuhan warga Jepang terlihat dengan tetap di rumah selama 2 minggu, lalu toko banyak yang tutup, kegiatan, events ditunda ditiadakan.
Editor:
Dewi Agustina
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Banyak negara yang panik dan terdampak pandemi Covid-19, berhadapan dengan masyarakatnya yang tidak sabaran, berontak hingga membuat keributan dengan petugas, berakibat semakin banyak lagi korban terpapar Covid-19.
Namun Jepang masih tenang saja, dan kenaikan pesat hanya di Tokyo karena tidak sedikit warga Tokyo terpengaruh budaya barat, orang asing yang banyak masuk ke Tokyo.
"Tokyo seolah sudah jadi melting pot country. Anak mudanya mudah terpengaruh budaya barat, yang arogan, tak mau diatur, serta pengaruh bebasnya internet saat ini," ungkap Keiko Ishihara, seorang guru etika dan budaya Jepang kepada Tribunnews.com, Sabtu (28/3/2020).
Baca: Jemaah yang Diisolasi di Masjid Kebon Jeruk Dibawa ke Rumah Sakit Wisma Atlet Kemayoran
Baca: #DonasikanOngkosmu Kontribusi Sosial Bagi Korban Dampak Virus Corona
Meskipun demikian Jepang bukanlah Tokyo dan sampai saat ini masih lima perfektur tidak ada korban Covid-19.
Sedangkan perfektur Kagoshima yang dua hari lalu masih bersih, akhirnya ada yang positif Corona karena baru pulang dari Inggris.
"Intinya sebenarnya Jepang memiliki budaya bersih-bersih yang tinggi, tingkat pendidikan yang tinggi, penyabar sekali (gaman), umumnya ikut perintah pemerintah dan punya kesadaran tinggi pula di bidang kesehatan," kata Keiko Ishihara.
Itulah sampai detik ini Jepang tetap normal walaupun dikritik pemegang Nobel Kedokteran 2012, Shinya Yamanaka (57) bahwa belakangan Jepang agak lambat menangani Pandemi Covid-19.
"Kepatuhan warga Jepang terlihat dengan tetap di rumah selama 2 minggu, lalu toko banyak yang tutup, kegiatan, events ditunda ditiadakan, kegiatan olahraga besar ditiadakan, dan antisipasi lain yang dipatuhi warga Jepang," ungkapnya.
Kereta api bergerak normal dan jumlah penumpang sudah mulai berkurang karena orang sudah banyak di rumah.
Baca: Dipicu Istri Curhat Ke Pria Lain, Pria ini Cemburu dan Tikam Korban
Baca: Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia Kecewa Surat PSSI Terkait Gaji Pemain
"Selain itu kini mulai banyak penggunaan mobil karena risiko menggunaka transportasi umum seperti bus dan kereta yang ramai, gampang tertular, disadari banyak warga Jepang," ujar dia.
Tenangnya Jepang juga dengan tetap membuka bandara untuk umum, pendatang asing, walaupun harus dikarantina saat ini beberapa warga negara termasuk WNI mulai 28 Maret lalu, karantina 14 hari di rumahnya.
Jepang juga memiliki persentase orang tua (lansia) yang tinggi seperti Italia dan korban meninggal sedikitnya 18 persen adalah kalangan lansia di Jepang.

Acara publik dihentikan namun kini sekolah akan dioperasikan kembali mulai April dengan berbagai antisipasi terhadap pandemi Covid-19.
"Kami akan lakukan terbaik untuk antisipasi pandemi Covid-19 khususnya bagi pelajar yang mau bersekolah kembali April mendatang," tegas PM Jepang Shinzo Abe, Sabtu (28/3/2020) malam.
Warga Jepang juga mendengarkan semua teori tentang memutus rantai. Mereka jadi enggan berpindah ke perfektur lain karena takut menyusahkan warga lain.
Baca: Camat yang Ditemukan Tewas di Lampung Punya Riwayat Sakit Jantung dan Stroke
Baca: Jenderal Andika Perintahkan Penyemprotan Disinfektan di Lima Museum TNI AD
"Itulah Jepang penuh filosofi Meiwaku Shinai Youni, jangan menyusahkan orang lain selalu jadi patokan kehidupannya," kata Keiko Ishihara.
Kebiasaan dan budaya bersih-bersih Jepang sejak anak-anak itu membuat mereka sering pakai masker setiap saat.
"Itulah sebabnya saat ini tak begitu banyak yang terinfeksi karena adanya kebiasaan pakai masker sejak lama," katanya.
"Pembuangan sampah sudah sangat terinci sehingga mudah dilakukan daur ulang. Sangat bersih, buang sampah pada tempatnya. Memang budaya Jepang 100 persen mengenai kebersihan," lanjutnya.
"Kelihatan sekali sebelum sekolah dimulai dengan acara bersih-bersih meja belajarnya, ruangan kelasnya dan sebagainya," kata dia.
Selain itu anak-anak juga dibawakan bento (bekal makanan) dari ibunya, makan di sekolah, sehingga tidak ada budaya jajan di luar sekolah saat sedang berada di sekolah.
"Mungkin juga menarik tidak ada budaya berjabatan tangan, tetapi hanya ojigi (menunduk) sebagai salam satu sama lain," tambah Keiko Ishihara.
Baca: Curhat Sejumlah Ibu Hamil di Eropa: Antara Sikap Optimistis dan Dirundung Kecemasan
Baca: 4 Makanan yang Bisa Tingkatkan Imun Tubuh untuk Cegah Infeksi Virus Corona
Budaya cuci tangan selalu setiap saat di mana pun ada. Bahkan tersedia selalu sabun dan tissue pembersih di setiap toilet di Jepang.
"Paket tisu basah untuk membersihkan tangan mereka sesekali saat mereka ke luar, sebelum makan di luar, dan sebagainya juga jadi kebiasaan orang Jepang," ujar Keiko Ishihara.
Memang umumnya orang Jepang juga menjaga jarak sosial dengan sesama, terutama yang baru pertama kali dikenalnya.

"Berusaha menjaga jarak tak mau dekat-dekat bukan karena sombong, tetapi karena takut membuat orang lain tidak senang kepada kita, ingin memberikan ruang semaksimal mungkin kepada orang lain agar nyaman. Pikiran menyamankan orang lain ini selalu ada di warga Jepang, sehingga seolah kok jauh-jauh ya kalau kita bersama mereka," katanya.
Hal-hal tersebut mungkin bisa menjawab mengapa pandemi Covid-19 tidak begitu membuat panik Jepang, warga tetap tenang saja, tak ada lockdown hanya siaga satu saja khususnya di Tokyo karena banyak warga Tokyo belakangan ini yang membandel dengan ke luar rumah hingga berkumpul.
Diskusi mengenai Jepang dalam WAG Pecinta Jepang terbuka bagi siapa pun. Kirimkan email dengan nama jelas dan alamat serta nomor whatsapp ke: info@jepang.com