Virus Corona
PM Inggris Boris Johnson Mulai Kembali Bekerja Saat Parlemen Dikritik
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson secara tentatif mulai kembali bekerja pada Selasa (21/4/2020).
Penulis:
Andari Wulan Nugrahani
Editor:
Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson secara tentatif mulai kembali bekerja pada Selasa (21/4/2020).
Di sisi lain, dikutip dari dailystar.com, parlemen Inggris kembali dikritik terkait tanggapan pemerintah terhadap wabah Covid-19 yang merebak di negara tersebut.
Sebelumnya, Boris Johnson menjalani perawatan di rumah sakit karena virus corona.
Boris Johnson dikabarkan melakukan panggilan telepon dengan Presiden AS, Donald Trump.
Dalam percakapan tersebut, Boris Johnson mengabarkan kondisi kesehatannya membaik.
Ia juga menyinggung soal tanggapan internasional terhadap Covid-19 dengan Trump.
Baca: Boris Johnson Ungkap Kondisi Kesehatannya kepada Donald Trump Lewat Panggilan Telepon
Baca: Presiden AS Donald Trump: Saya Berharap Kim Jong Un Baik-baik Saja

Lebih jauh, para pejabat pemerintah Inggris mengatakan, Boris Johnson akan melakukan audiensi bersama dengan Ratu Elizabeth II beberapa hari mendatang.
Lebih jauh, juru bicara Boris Johnson menegaskan, PM Inggris itu belum secara resmi melakukan pekerjaan pemerintah.
Saat ini, juru bicara tersebut menerangkan Boris Johnson tengah menjalani pemulihan di Checkers.
Untuk sementara waktu, Menteri Luar negeri Dominic Raab memegang tanggung jawab sementara dan mengambil peran Perdana Menteri dalam sesi virtual House of Commons, Rabu (22/4/2020).
Momen Bersejarah bagi Parlemen
Aturan jarak sosial membuat anggota parlemen menyetujui langkah-langkah baru untuk bekerja.
Commons Speaker, Lindsay Hoyle meminta para anggota parlemen untuk melakukan panggilan video conference melalui fitur Zoom.
Hoyle mengatakan, ini adalah momen bersejarah bagi parlemen yang sudah berusia 700 tahun tersebut.
"Di masa krisis, kita harus menemukan cara baru untuk bekerja," ungkap Hoyle.
Para anggota parlemen kembali bekerja di tengah meningkatnya pertanyaan dan kritik terkait tanggapan pemerintah terhadap penyebaran wabah Covid-19.
Sebagaimana diketahui, Inggris merupakan satu di antara negara yang paling parah dilanda pandemi.
Raab pekan lalu mengumumkan, lockdown nasional mengharuskan orang tinggal di dalam rumah akan berlanjut selama tiga minggu lagi.
Tetapi, perdebatan berkembang terkait bagaimana langkah-langkah tersebut dilonggarkan.
Pertanyaan terkait dampak ekonomi dengan diberlakukan lockdown menyeruak.
Baca: Inggris Mencapai Angka Kematian Terbesar dalam 20 Tahun, Orang Meninggal akibat Non-Corona Meningkat
Baca: Reynhard Sinaga Dipindah ke Penjara Paling Berbahaya Monster Mansion di Inggris
Kritik Pemerintah
Lebih jauh, pemerintahan konservatif Boris Johnson dipersalahkan selama bertahun-tahun karena Pelayanan Kesehatan Nasional yang dikelola pemerintah kurang dana.
Para menteri dipaksa menjelaskan kurangnya alat pelindung diri (APD) untuk staf kesehatan.
Selain itu, tes untuk virus corona pun juga terbatas.
NHS mengatakan, prihatin dengan kurangnya APD bagi para staf medis di garda terdepan.
Kekhawatiran ini muncul ketika muncul laporan media yang menunjukkan, perusahaan-perusahaan Inggris mengeskpor peralatan yang sangat dibutuhkan ke negara-negara Eropa lainnya.
Kematian Meningkat
Lebih jauh, Kementerian Kesehatan saat ini hanya memberikan rincian untuk kematian orang di rumah sakit yang positif mengidap virus corona.
Profesor Penyakit Menular di London School of Hygiene and Tropical Medicine, Martin Hibberd memberikan komentarnya.
Hibberd mengatakan, tanpa pengujian yang merata, angka kematian mungkin akan meningkat.
Mengutip dari worldmeters, angka infeksi di Inggris mencapai 129.044.
Dengan angka kematian mencapai 17.337 kasus.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)