Sabtu, 16 Agustus 2025

Rusuh di Amerika Serikat

Autopsi Independen Ungkap Kematian George Floyd Karena Tak Bisa Bernapas

Autopsi independen atau para ahli yang disewa keluarga George Floyd menyimpulkan kematian Floyd disebabkan oleh asfiksia.

Ilyas Tayfun Salci / ANADOLU AGENCY / Anadolu Agency via AFP
Orang-orang berkumpul dalam aksi protes atas kematian George Floyd, di Trafalgar Square pada 31 Mei 2020 di London, Inggris. 

TRIBUNNEWS.COM - Autopsi independen atau para ahli yang disewa keluarga George Floyd menyimpulkan kematian Floyd disebabkan oleh asfiksia.

Sebagai catatan, afiksia merupakan gangguan dalam pengangkutan oksigen ke jaringan tubuh, yang disebabkan terganggunya fungsi paru-paru, pembuluh darah, atau pun jaringan tubuh.

Menurut temuan awal dari pemeriksaan yang dirilis Senin (1/6/2020), pada kasus kematian, afiksia yang dialami George Floyd karena kompresi leher dan punggung yang menyebabkan kurangnya aliran darah ke otak.

Dikutip Tribunnews dari ABC News, para ahli menemukan, berat badan di punggung George Floyd, borgol, dan posisi merupakan faktor yang berkontribusi.

Baca: Polisi Pembunuh George Floyd Dipindah ke Oak Park Heights, Penjara Berkeamanan Maksimum

Baca: Identitas Pria Bertato Peta Indonesia di Foto Viral Kerusuhan Demo Kasus George Floyd di AS

Dari foto yang beredar, tubuh George Floyd ditindih oleh Derek Chauvin, dan lutut polisi tersebut menekan leher George Floyd.

Para ahli menegaskan, hal tersebut menganggu kemampuan diafragma Floyd.

Petugas polisi maju setelah menembakkan gas air mata saat demonstrasi pada 31 Mei 2020 di Atlanta, Georgia. Demonstrasi terjadi setelah kematian George Floyd
Petugas polisi maju setelah menembakkan gas air mata saat demonstrasi pada 31 Mei 2020 di Atlanta, Georgia. Demonstrasi terjadi setelah kematian George Floyd (ELIJAH NOUVELAGE / GETTY IMAGES NORTH AMERICA / GETTY IMAGES VIA AFP)

Laporan tersebut menyimpulkan George Floyd meninggal di tempat kejadian.

Sebagaimana diketahui, saat kejadian itu terekam, George Floyd merintih "Aku tidak bisa bernapas".

Kemudian, Kantor Pemeriksaan Medis Hennepis merilis temuan awal autopsi mereka pada Senin (1/6/2020).

Mereka menyatakan, kematian George Floyd merupakan pembunuhan yang disebabkan oleh penangkapan kardiopulmoner saat ditahan aparat penegak hukum.

Temuan Awal

Lebih jauh, Dr Michael Baden dan Direktur Layanan Autopsi dan Forensik Universitas Michigan Medical School, Dr Allecia Wilson menangani pemeriksaan independen yang baru diumumkan.

Sebagai catatan, Baden merupakan pemeriksa medis New York pada 1978 dan 1979.

Sebelumnya, Baden melakukan autopsi independen terhadap Eric Garner, yang dibunuh oleh polisi di Staten Island, New York (2014) dan Michael Brown, yang ditembak di Ferguson, Missuori di tahun yang sama.

Baden mengatakan, George Floyd dalam keadaan sehat sebelum kematiannya.

Ia mengatakan video kematiannya menunjukkan kompresi leher dan punggungnya dengan sangat jelas.

"Ketika dia mengatakan 'Saya tidak bisa bernafas,' sayangnya, banyak polisi mendapat kesan bahwa jika Anda dapat berbicara itu berarti Anda bernafas," katanya saat konferensi pers.

Baca: Berbicara Langsung dengan Keluarga George Floyd, Kepala Polisi Minneapolis Lepas Topi Dinas

Baca: Pengunjuk Rasa Kematian George Floyd: Kami Tak Butuh Jam Malam, Kami Perlu Keadilan

Lebih lanjut, Wilson menambahkan, laporan toksikologi dan pemeriksaan lainnya masih berlangsung.

Dia mengakui tidak memiliki akses ke sampel jaringan George Floyd.

"Kami meraa tidak akan mengubah atau mengubah penyebab kematian asfiksia mekanik," ungkap Wilson.

Lebih jauh, temuan awal pemeriksaan medis menyatakan, George Floyd memiliki kondisi kesehatan yang mendasarinya.

Termasuk penyakit arteri koroner dan penyakit jantung hipertensi.

Pengunjukrasa melemparkan matras ke mobil yang terbakar di dekat Kantor Polisi di Minneapolis, Minnesota, Kamis (28/5/2020). Amerika Serikat dilanda kerusuhan hebat, pasca meninggalnya George Floyd akibat kehabisan nafas, setelah lehernya ditindih seorang petugas Polisi Minneapolis dalam sebuah penangkapan. AFP/KEREM YUCEL
Pengunjukrasa melemparkan matras ke mobil yang terbakar di dekat Kantor Polisi di Minneapolis, Minnesota, Kamis (28/5/2020). Amerika Serikat dilanda kerusuhan hebat, pasca meninggalnya George Floyd akibat kehabisan nafas, setelah lehernya ditindih seorang petugas Polisi Minneapolis dalam sebuah penangkapan. AFP/KEREM YUCEL (AFP/KEREM YUCEL)

Demo Membela George Floyd, Kematian Pria Kulit Hitam yang Membangkitkan Luka Lama

Dikutip Tribunnews dari Al Jazeera, huru-hara demonstran meletus di AS.

Mereka tidak hanya menyampaikan pembelaan atas kematian George Floyd.

Para pemrotes juga mengingat luka lama, atas pembunuhan yang dilakukan oknum polisi dan kekerasan terharap orang Afrika-Amerika tak bersenjata.

Pada 2015 lalu, para pengunjuk rasa berdemonstrasi selama lebih dari dua minggu, setelah polisi membunuh Jamar Clark (24) di Minneapolis.

Tak ada tuntutan yang diajukan terhadap petugas polisi yang terlibat.

Tahun berikutnya, Philando Catile (32) terbunuh oleh polisi pada saat pemberhentian lalu lintas di pinggiran kota Saint Paul.

Teman dekat Catile membagikan aksi penembakan di Facebook.

Petugas yang terlibat dalam insiden ini juga dilaporkan dibebaskan dari dakwaan pembunuhan.

(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)

Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan