Pemilihan Presiden Amerika Serikat
Pemenang Pilpres AS Bukan Ditentukan Publik tapi Electoral Collage? Bagaimana Cara Kerjanya?
Di beberapa negara bagian, elector dapat memilih capres mana pun yang mereka sukai terlepas dari siapa yang didukung para pemilih.
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Pemilihan presiden Amerika Serikat ( pilpres AS) akan berlangsung pada 3 November, dan sebagaimana pilpres-pilpres sebelumnya kemenangan bukan ditentukan oleh suara publik ( popular vote) tapi Electoral College (Dewan Elektoral).
Setiap empat tahun, orang-orang yang duduk di Dewan Elektoral adalah yang sebenarnya menentukan siapa presiden dan wakil presiden baru AS.
Berikut adalah penjelasan apa itu Electoral College dan mengapa jadi kunci kemenangan di pilpres AS.
Ketika orang-orang Amerika pergi ke TPS, mereka sebenarnya memilih sekelompok pejabat yang akan menduduki Electoral College.
Kata "college" di sini bermakna sekelompok orang dengan tugas bersama. Orang-orang ini disebut electors, dan tugasnya adalah memilih presiden serta wakil presiden.
Pertemuan Dewan Elektoral dilakukan 4 tahun sekali, beberapa minggu setelah hari pemilihan.
Bagaimana cara kerja Electoral College?
Dilansir dari BBC pada Rabu (28/10/2020), setiap negara bagian secara kasar punya jumlah electors sesuai jumlah penduduknya. Semakin banyak penduduknya, maka elector-nya semakin banyak.
Masing-masing dari 50 negara bagian AS ditambah Washington DC memiliki jumlah electoral votes yang sama dengan jumlah anggotanya di DPR ditambah dua Senator mereka.
California memiliki jumlah electors terbanyak yaitu 55, sedangkan negara-negara bagian yang berpenduduk sedikit seperti Wyoming, Alaska, dan North Dakota (serta Washington DC sebagai ibu kota) minimal punya 3, sehingga total ada 538 electors.
Setiap elector mewakili jatah satu electoral vote, dan capres harus meraup minimal 270 electoral votes untuk melenggang ke Gedung Putih.
Biasanya negara bagian memberikan semua suara Dewan Elektoral untuk capres yang memenangkan suara dari popular votes.
Misalnya jika seorang capres menang 50,1 persen suara di Texas, dia akan mendapat semua dari 38 electoral votes di negara bagian itu.
Oleh karena itu capres bisa menjadi presiden AS dengan memenangkan sejumlah negara bagian krusial, meski memiliki suara publik yang lebih sedikit dari seluruh negeri.
Hanya negara bagian Maine dan Nebraska yang menggunakan metode "distrik kongresional".
Artinya, satu elector dipilih di setiap distrik kongresional berdasarkan pilihan rakyat, sedangkan dua electors lainnya dipilih berdasarkan pilihan terbanyak rakyat di seluruh negara bagian.
Inilah sebabnya mengapa para capres menargetkan negara bagian tertentu, daripada mencoba memenangkan sebanyak mungkin suara publik di seluruh penjuru negeri.
Adakah capres yang kalah popular vote tapi menang pilpres?
Ada dua dari lima pilpres terakhir yang dimenangkan oleh capres dengan suara publik lebih rendah dibandingkan lawannya.
Terbaru, pada 2016 Donald Trump kalah hampir 3 juta suara publik dari Hillary Clinton tapi berhak menduduki kursi nomor 1 di Gedung Putih karena menang mayoritas di Electoral College.
Sebelumnya pada 2000 George W Bush juga menang di Electoral College dengan 271 suara, meski Al Gore dari Partai Demokrat unggul lebih dari 500.000 suara di popular votes.
Mundur lebih jauh ke belakang, ada tiga presiden lain yang menang pilpres walau kalah di popular votes yaitu John Quincy Adams, Rutherford B Hayes, dan Benjamin Harrison. Semuanya pada abad ke-19.
Kenapa AS pakai sistem ini?
Ketika konstitusi AS dibuat pada 1787, pemungutan suara secara nasional untuk memilih presiden tidak mungkin dilakukan karena saking luasnya negara dan sulitnya komunikasi.
Pada saat bersamaan, ada sejumlah dukungan bagi anggota parlemen di Washington DC untuk memilih presiden.
Para perumus undang-undang kemudian membentuk lembaga pemilihan, dan tiap negara bagian memilih para electors-nya.
Negara-negara bagian kecil mendukung sistem ini karena membuat mereka jadi punya lebih banyak suara untuk memilih presiden, ketimbang hanya mengandalkan popular votes.
Electoral College juga didukung di selatan yang mayoritas populasinya saat itu adalah budak. Meski para budak tidak punya hak suara, mereka dihitung dalam sensus AS sebagai tiga perlima orang.
Apakah electors harus memilih capres yang menang popular vote?
Di beberapa negara bagian, elector dapat memilih capres mana pun yang mereka sukai terlepas dari siapa yang didukung para pemilih.
Namun dalam praktiknya, para electors hampir selalu memilih capres yang memenangkan suara terbanyak di negara bagian mereka.
Jika seorang elector memberikan suara yang berlawanan dengan capres yang menang di negara bagian itu, mereka disebut "tidak setia".
Pada 2016 contohnya, ada 7 suara yang begitu tapi tidak signifikan memengaruhi hasil akhir pilpres.
Bagaimana jika tidak ada kandidat yang mendapat suara mayoritas?
DPR AS yang akan memilih presiden. Ini hanya terjadi sekali ketika pada 1824 empat capres sama kuat di electoral votes, tak ada yang mayoritas.
Akan tetapi dengan sistem dua partai yang diusung AS saat ini, kemungkinan serupa sangat kecil peluangnya untuk terulang.
Uni Eropa tak ingin Trump Menang?
Hubungan trans-Atlantik merenggang selama empat tahun terakhir sejak Donald Trump menjabat Presiden Amerika Serikat (AS).
Janis Emmanouilidis, Direktur Pusat Kebijakan Eropa, meyakini masih ada harapan untuk memperbaiki hubungan kemitraan Uni Eropa (UE) dengan AS, jika kandidat dari Partai Demokrat Joe Biden menang dalam pemilihan presiden (pilpres) AS pada Selasa (03/11) besok.
"Tak ada satu pun yang naif, berpikir bahwa kami akan kembali ke suatu bentuk status quo ante. Anda tidak akan dapat mengembalikan waktu ke masa lalu yang indah. Jadi masih akan ada masalah dalam hubungan trans-Atlantik. Tetapi sehubungan dengan kepemimpinan Biden, ada harapan bahwa situasinya bisa membaik secara substansial, "kata Emmanouilidis.
Dia menambahkan bahwa dirinya khawatir hubungan UE-AS akan semakin memburuk jika Biden tidak mampu menggulingkan Donald Trump dari Gedung Putih.
"Kemungkinan dia (Trump) akan memberikan lebih banyak tekanan pada Eropa dalam masa jabatan keduanya dibanding yang dia lakukan di masa jabatan pertama. Dia juga mengidentifikasi Eropa sebagai kejahatan yang lebih besar daripada pemain global lainnya," katanya kepada DW.
Kerja sama AS-UE dibutuhkan
Reinhard Bütikofer, anggota Parlemen Eropa dengan Partai Hijau Eropa dan pakar kebijakan luar negeri, tidak terlalu memikirkan pernyataan geopolitik Trump.
"Ketika kami mendengar bahwa Presiden Trump mengatakan Uni Eropa adalah musuh, itu tidak membuat argumen dari Washington lebih kuat dalam diskusi publik Eropa," ujar Bütikofer.
Meski demikian, Bütikofer menilai masih banyak politisi di Washington dan Kongres AS - termasuk Partai Republik - yang sadar bahwa kerja sama dengan Eropa diperlukan untuk menghadapi Cina, Rusia, dan para pemain global lainnya.
Dia mengatakan terlepas dari siapa yang menang pada 3 November, UE-AS harus berinvestasi dalam urusan kerja sama.
Penurunan kepercayaan trans-Atlantik
Sebuah studi yang dilakukan musim panas ini oleh Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri, menunjukkan bahwa orang Eropa telah kehilangan kepercayaan pada AS, sekutu yang telah lama mereka hargai dan bekerja sama dengan erat.
"Kekacauan domestik" di AS terkait penanganan pandemi COVID-19 oleh pemerintahan Trump telah memberikan kontribusi signifikan terhadap persepsi negatif di Eropa.
Para peneliti di Dewan Eropa percaya bahwa sebagai presiden, Biden akan membuat hubungan kerja sama AS dengan Eropa kembali dekat.
Mereka juga mengatakan AS akan bergabung kembali dengan perjanjian perubahan iklim Paris 2015 dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), serta memperkuat NATO, bahkan jika Partai Demokrat dan Republik terus mendesak Eropa untuk berkontribusi lebih banyak pada anggaran aliansi militer.
Banyak pendahulu Trump, termasuk Presiden Barack Obama, yang telah mendorong peningkatan anggaran pengeluaran militer.
Jika Trump terpilih kembali, NATO perlu bersiap untuk masa-masa sulit ke depan, demikian prediksi penasihat keamanan nasional Trump yang digulingkan, John Bolton.
Menurut Bolton, Trump mengancam akan menarik AS keluar dari NATO, yang berarti menjadi akhir dari aliansi kedua belah pihak.
Biden juga punya tuntutan terhadap Eropa
Banyak orang di Eropa berharap bahwa kepresidenan Biden dapat membantu mewujudkan perubahan hubungan kerja sama UE-AS.
Tetapi Emmanouilidis memperingatkan bahwa perlakuan Eropa yang ''agak lembut'' kepada Cina sejauh ini juga tidak akan membuat capres Partai Demokrat itu senang.
"Salah satu tantangan, misalnya, adalah pemerintahan Biden yang baru mengatakan: 'Kami siap untuk bekerja sama dalam hal urusan multilateral, kami siap untuk bekerja sama dalam urusan iklim, kami siap untuk bekerja sama dalam WTO. Tapi kami ingin Eropa sebagai gantinya bersikap keras, misalnya, terhadap Cina, '"katanya.
AS di bawah kepemimpinan Biden dapat terus menuntut agar Eropa menegakkan sanksi terhadap perusahaan teknologi Cina Huawei tanpa pengecualian, dan bereaksi terhadap provokasi militer di Laut Cina Selatan.
Uni Eropa dipersatukan oleh hubungan perdagangan
Terlepas dari siapa yang memenangkan pilpres AS pada Selasa (03/11) besok, negara-negara Eropa ingin segera membahas terkait hubungan perdagangan.
Ancaman Trump untuk menaikkan tarif besar-besaran pada mobil dan barang impor UE lainnya terus membayangi.
Para pengamat yakin sebagian besar pemimpin pemerintah Eropa akan memiliki hubungan yang lebih baik dengan Biden, karena dia lebih condong ke liberal dan tidak terlalu agresif secara retoris.
Sebagian berita ini tayang di Kompas.com dengan judul: Mengenal Electoral College, Kunci Kemenangan di Pilpres AS