Minggu, 7 September 2025

Ahli: Pembunuhan Ilmuwan Nuklir Iran Tak Akan Gagalkan Program Nuklir

Ahli mengatakan, meski ada kebijakan tekanan maksimun dari Presiden Donald Trump, pembunuhan ilmuwan senior Iran tak akan menggagalkan program nuklir

KHAMENEI.IR / AFP
Foto yang disediakan oleh situs web resmi Pemimpin Tertinggi Iran pada 27 November 2020, menunjukkan ilmuwan Iran Mohsen Fakhrizadeh pada 23 Januari 2019. Iran mengatakan Mohsen Fakhrizadeh, salah satu ilmuwan nuklir paling terkemuka, tewas dalam serangan terhadap mobilnya di luar Teheran yang dituduh musuh bebuyutan Israel berada di belakang dan bersumpah akan membalasnya. Terbaru, Ahli mengatakan, meski ada kebijakan 'tekanan maksimun' dari Presiden Donald Trump, pembunuhan ilmuwan senior Iran tak akan menggagalkan program nuklir Teheran. 

Tak hanya itu saja, para ahli khawatir pembunuhan ilmuwan nuklir Iran juga merusak rencana Presiden terpilih AS Joe Biden untuk menghidupkan kembali diplomasi dengan Teheran.

Mereka mengatakan, pembunuhan ilmuwan nuklir tampaknya merupakan upaya untuk melemahkan presiden berikutnya.

Biden telah berjanji untuk mengembalikan Amerika Serikat ke perjanjian nuklir 2015, yang dikenal sebagai JCPOA.

Perjanjian nuklir tersebut memberlakukan batasan ketat pada pekerjaan nuklir Iran dengan imbalan pelonggaran sanksi ekonomi.

Sebelumnya, Trump menarik Amerika Serikat dari kesepakatan multinasional pada 2018 lalu.

Sejak itu, Iran semakin melanggar ketentuan perjanjian, melampaui batas pengayaan uranium dan sentrifugal.

Baca juga: Iran Mulai Prosesi Pemakaman Ilmuwan Nuklir yang Terbunuh

Donald Trump menandatangani dokumen yang memulihkan sanksi terhadap Iran setelah mengumumkan penarikan AS dari kesepakatan nuklir 2015
Donald Trump menandatangani dokumen yang memulihkan sanksi terhadap Iran setelah mengumumkan penarikan AS dari kesepakatan nuklir 2015 (Sky News)

Dilema yang Dihadap Iran

Setelah pembunuhan Mohsen Fakhrizadeh, ditambah dengan dugaan sabotase lokasi perakitan sentrifuse di Natanz dan pembunuhan jenderal tinggi Qassem Soleimani, Iran menghadapi dilema.

Jika memilih untuk tidak membalas dengan tetap membuka pintu diplomasi, Iran akan terlihat lemah dan mengundang lebih banyak serangan rahasia.

Tetapi jika Iran membalas dendam pada target Israel atau AS, Teheran bisa kehilangan kesempatan terbaiknya untuk mencabut sanksi yang telah membuat ekonominya berantakan.

Pembalasan Iran "berisiko memicu reaksi berantai," ungkap Robert Malley, mantan pejabat senior di Gedung Putih Obama yang membantu merundingkan kesepakatan Iran.

"Israel dapat memilih untuk menanggapi dengan cara yang sama dan langkah semacam itu dapat semakin memperumit kembalinya AS ke perjanjian nuklir," tulis Malley, presiden lembaga pemikir International Crisis Group, baru-baru ini di Foreign Policy.

Langkah tersebut, menurutnya juga berpotensi menolak bantuan ekonomi yang sangat dibutuhkan Iran.

Dalam beberapa minggu dan bulan mendatang, Iran harus mempertimbangkan bagaimana menjaga pejabat nuklirnya yang tersisa aman.

"Iran juga harus memikirkan bagaimana mencegah serangan di masa depan dan apakah pembalasan akan meningkatkan atau merusak prospek perjanjian diplomatik dengan pemerintahan Biden yang akan datang," kata mantan pejabat AS.

Halaman
1234
Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan