Selasa, 19 Agustus 2025

Krisis Myanmar

Lagi, Sembilan Demonstran di Myanmar Tewas, Inggris dan AS Jatuhkan Sanksi pada Bisnis Militer

Myanmar telah diguncang aksi protes hampir setiap hari sejak tentara menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi pada 1 Februari 2021.

STR / AFP
Para pelayat melakukan penghormatan tiga jari kepada seorang pengunjuk rasa yang terbunuh. Foto diambil di Rumah Sakit Thingangyun di Yangon, Myanmar pada 15 Maret 2021. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau

TRIBUNNEWS.COM, YANGON - Aparat keamanan Myanmar kembali menembak mati sembilan demonstran militer, sebagai upaya membungkam suara penolakan atas kudeta militer 1 Februari 2021.

Ribuan orang mengadakan aksi protes terhadap kudeta yang menjatuhkan pemimpin sipil yang sah Aung San Suu Kyi, di ibukota komersial Yangon dan kota-kota lain pada Kamis (25/3/2021), menurut para saksi dan postingan media sosial, seperti dilansir Reuters, Jumat (26/3/2021).

"Apakah kita bersatu? Ya kita satu," teriak demonstran di Monywa.

"Revolusi harus menang," terdengar pekikan demonstran.

Myanmar telah diguncang aksi protes hampir setiap hari sejak tentara menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi pada 1 Februari 2021. Suu Kyi dan tokoh sipil lainnya ditahan.

Setidaknya 320 orang telah tewas dalam tindakan brutal militer per Kamis malam, menurut angka yang dihitung oleh kelompok aktivis Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP).

Aksi protes terhadap miitasi dilanjutkan pada Kamis setelah aksi pada hari Rabu meninggalkan area yang biasanya ramai di pusat komersial seperti Yangon dan Monywa.

AAPP mencatat sembilan kematian demonstran di tangan pasukan keamanan pada hari Kamis - di kotapung Thingangyun Yangon, kota Khin-U di Wilayah Sagaing, kota Mohnyin di Negara Bagian Kachin, dan Kota Taunggyi di Negara Bagian Shan.

Outlet media lain melaporkan setidaknya tujuh demonstran terluka ketika pasukan keamanan melepaskan tembakan di berbagai tempat. Reuters tidak dapat memverifikasi laporan secara independen.

Militer berusaha menahan aksi protes sebelum Hari Angkatan Bersenjata pada hari Sabtu, kata AAPP.

Seorang warga Yangon mengatakan tentara menembaki gedungnya setiap malam pada minggu ini dan memeriksa rumah-rumah yang mereka anggap mencurigakan.

"Bahkan jika mereka tidak menemukan apa-apa, mereka mengambil semua yang mereka inginkan," katanya kepada Reuters.

Sementara itu Amerika Serikat dan Inggris muncul dengan tekanan internasional kepada junta penguasa Myanmar pada hari Kamis memberikan sanksi baru terhadap bisnis-bisnis yang dikendalikan militer.

Baca juga: Bertemu Menlu Retno, Menlu Singapura Bahas Investasi Hingga Kudeta Myanmar

Baca juga: Jaringan Rahasia Bantu Ratusan Polisi Myanmar Melarikan Diri ke India

Di Washington, Departemen Keuangan AS mengumumkan sanksi baru yang menyasar Myanma Economic Holdings Public Company Limited (ed. correct) dan Myanmar Economic Corporation Limited.

Kedua perusahaan itu adalah bagian dari jaringan yang dikendalikan militer dan mencakup berbagai sektor dari pertambangan ke pariwisata. Perusahaan-perusahaan ini telah memperkaya para jenderal.

Langkah Washington membekukan aset apa pun yang dipegang oleh mereka di Amerika Serikat.

Ini juga melarang perusahaan atau warga AS untuk berdagang atau melakukan transaksi keuangan dengan mereka yang masuk dalam daftar hitam tersebut.

"Tindakan-tindakan ini secara khusus akan menargetkan mereka yang memimpin kudeta, kepentingan ekonomi militer, dan aliran dana yang mendukung penindasan brutal militer Myanmar," kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dalam sebuah pernyataan.

"Perusahaan-perusahaan itu tidak ditujukan untuk rakyat Burma."

Dalam sebuah langkah yang dikoordinasikan dengan Amerika Serikat, bekas kekuatan kolonial Inggris mengatakan akan membidik Myanma Economic Holdings Ltd, atas pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga sipil dengan tokoh-tokoh militer senior di dalamnya.

Menteri Luar Negeri Dominic Raab mengatakan sanksi-sanksi itu akan membantu menguras sumber keuangan mereka atas tindakan represi militer.

Langkah-langkah AS sebelumnya telah memukul individu yang terkait dengan kudeta, sementara pemimpin junta dan komandan tentara Jenderal Min Aung Hlaing sudah masuk daftar hitam karena masalah hak asasi manusia sebelumnya.

Uni Eropa mengumumkan sanksi terhadap 11 individu pada hari Senin dan diperkirakan akan segera menargetkan para konglomerat lainnya.

Baca juga: Jaringan Rahasia Bantu Ratusan Polisi Myanmar Melarikan Diri ke India

Baca juga: Sudah Lebih dari 300 Orang Tewas Akibat Aksi Brutal Militer Myanmar, Sebagian Besar Ditembak Mati

Tetapi meskipun banyak pemerintah asing telah mengutuk tindakan militer, Thomas Andrews, pelapor khusus PBB tentang hak asasi manusia di Myanmar, mengatakan respons diplomatik itu lambat dan "keluar dari langkah dengan skala krisis".

"Kondisi di Myanmar memburuk dan kemungkinan akan jauh lebih buruk tanpa "respons internasional segera, kuat, untuk mendukung mereka yang dikepung," katanya, menyerukan pertemuan puncak darurat tentang krisis tersebut.(Reuters)

Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan