Pria asal China yang Bunuh Mantan Istrinya saat Sedang Live Streaming Dijatuhi Hukuman Mati
Seorang pria di China dijatuhi hukuman mati karena telah membunuh mantan istrinya yang saat itu sedang melakukan live streaming.
Penulis:
Tiara Shelavie
Editor:
Arif Fajar Nasucha
TRIBUNNEWS.COM - Pria di China dijatuhi hukuman mati setelah membunuh mantan istrinya tahun lalu.
Kasus ini sempat menghebohkan media sosial China karena aksi pembunuhan itu dilakukan saat korban sedang melakukan live streaming.
Seperti yang dilansir The Guardian, pengadilan rakyat menengah di prefektur otonomi minoritas etnis Tibet di provinsi Sichuan mengatakan, Tang Lu menyiram Lhamo (30) dengan bensin dan membakarnya pada September 2020.
Pengadilan menuduh Tang melakukan pembunuhan yang disengaja, mengatakan kejahatannya "sangat serius", metodenya "sangat kejam", dan dampak sosialnya "sangat buruk".
Lhamo adalah broadcaster media sosial populer di daerah barat daya Jinchuan, Sichuan.
Ia memiliki ratusan ribu pengikut di Douyin, TikTok versi China.

Video-videonya memperlihatkan kehidupannya sehari-hari tanpa memperlihatkan adanya kasus kekerasan.
Pengikutnya hanya melihat pemandangan indah pedesaan, di mana Lhamo memetik tanaman obat, berjalan melalui pegunungan, memasak makan malam dan bekerja di sekitar rumahnya.
Apa yang tidak terlihat oleh follower-nya adalah perjuangannya untuk melindungi dirinya dan anak-anaknya dari mantan suaminya yang kejam yang telah dua kali dia ceraikan.

Lhamo pernah bercerai dari Tang tapi mantan suaminya itu berhasil merayunya untuk rujuk kembali.
Kronologi Kejadian
Pada awal September tahun lalu, Lhamo sedang melakukan live streaming dari dapur ayahnya ketika seorang pria masuk.
Ratusan penonton dilaporkan menonton saat terdengar suara Lhamo berteriak dan kemudian layar menjadi gelap.
Lhamo kemudian dirawat di unit perawatan intensif rumah sakit prefektur Aba dengan luka bakar hingga 90%.
Ia lalu dipindahkan ke Sichuan.
Keluarganya meminta donasi untuk membantu membayar perawatannya.
Saat itulah kasus rumah tangganya menjadi perhatian.
Namun pada akhir bulan, ia akhirnya meninggal.
UU KRDT yang Dirasa Lemah
Kematian Lhamo menyoroti kekerasan dalam rumah tangga di China dan kegagalan otoritas untuk melindungi para korban meskipun ada perubahan undang-undang dan janji pemerintah.
Kampanye atas kematian Lhamo semakin intensif ketika presiden China, Xi Jinping, memberikan pidato di konferensi PBB.
Ia mengatakan bahwa perlindungan hak dan kepentingan perempuan harus menjadi komitmen nasional.
Beberapa tagar termasuk #LhamoAct, menyerukan undang-undang mempermudah proses perceraian bagi korban KDRT.
Tagar itu sempat tersebar di internet tetapi dengan cepat disensor.

Ada seruan untuk ditegaskannya lagi undang-undang kekerasan dalam rumah tangga yang sebenarnya sudah berjalan empat tahun saat itu.
Laporan tahun 2020 oleh Beijing Equality, sebuah kelompok advokasi hak-hak perempuan, mengatakan bahwa sejak undang-undang itu diberlakukan tahun 2016 lalu, lebih dari 920 perempuan telah meninggal karena kekerasan dalam rumah tangga, atau rata-rata tiga kasus setiap lima hari.
Lu Xiaoquan, seorang pengacara bantuan hukum untuk hak-hak perempuan dan direktur eksekutif firma hukum Qianqian di Beijing, mengatakan kematian Lhamo telah menarik perhatian negara.
Bukan hanya karena statusnya sebagai influencer, tetapi karena undang-undang yang dirancang untuk melindungi wanita seperti dirinya sebenarnya sudah ada.
"Masyarakat China telah memahami kekerasan dalam rumah tangga dengan lebih baik," ujar Lu.
"Tetapi ada lebih sedikit orang yang berpikir kekerasan dalam rumah tangga hanyalah sekadar 'masalah keluarga'."
"Toleransi kasus kekerasan dalam rumah tangga yang serius telah turun secara signifikan."
Lu mengatakan undang-undang KRDT itu telah memperkuat definisi kekerasan dalam rumah tangga yang meliputi pelecehan emosional serta fisik.
UU juga berlaku bagi korban dan pelaku yang tinggal bersama meskipun bukan keluarga.
"Ini menunjukkan konsep dasar hukum negara hukum dalam hal anti kekerasan dalam rumah tangga," katanya.
Namun penegakannya dirasa kurang.
Masih ada rintangan termasuk mengatasi tabu dan nilai-nilai tradisional di antara masyarakat dan pihak berwenang, khususnya di daerah pedesaan, ungkap Lu.
Lu menyebut banyak wanita di daerah pedesaan sering kembali kepada suaminya yang kasar, hanya karena mereka tidak memiliki dukungan finansial atau lainnya setelah mencoba untuk pergi.
"Kurangnya sistem dukungan sosial bagi perempuan yang mengalami kekerasan gender, termasuk pelecehan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga," kata Lu.
"Korban sendirian menghadapi pelakunya."
Saudara perempuan Lhamo, Dolma, mengatakan Tang sudah sering dilaporkan ke polisi oleh istrinya.
Tang sudah berulang kali melakukan kekerasan pada Lhamo setelah pernikahan mereka.
Setelah Lhamo meninggalkannya pertama kali pada Maret 2020, Tang diduga memaksanya untuk rujuk dengan mengancam anak-anak mereka.
"Tang terus melakukan kekerasan," kata Dolma kepada New York Times.
Lhamo kemudian mengajukan gugatan cerai untuk kedua kalinya pada bulan Juni.
Ia lalu menjauh dan tinggal bersama keluarganya.
Tang terus mencarinya.
Ia bahkan dilaporkan menyerang Dolma karena tidak diberitahu di mana Lhamo tinggal.
Pengadilan saat itu mengabulkan perceraian tetapi memberi hak asuh anak-anak kepada Tang.
Lhamo lantas menghabiskan berbulan-bulan di pegunungan, terus memposting video ringan.
Dua hari sebelum serangan, Lhamo memberi tahu penggemarnya bahwa dia akan pulang.
KRDT Dianggap Sekadar Masalah Keluarga
Lu mengatakan polisi setempat masih sering menganggap kekerasan dalam rumah tangga sebagai masalah keluarga atau masalah pribadi antar pasangan saja.
Otoritas publik, biasanya tidak ikut terlibat.
"Jadi mereka tidak melakukan intervensi tepat waktu untuk memutus lingkaran setan," kata Lu.
"Ini menunjukkan kurangnya pemahaman tentang sifat kekerasan dalam rumah tangga, dan kurangnya pelatihan tentang kesadaran kekerasan dalam rumah tangga bagi polisi setempat, yang pada akhirnya tidak membuat mereka mengambil tindakan yang tepat."
Polisi sebelumnya menolak laporan Lhamo tentang kekerasan mantan suaminya, menyebut hal itu sebagai "masalah keluarga",
Barulah setelah kematian Lhamo, kejaksaan di Jinchuan menyetujui penangkapan Tang atas dugaan pembunuhan yang disengaja.
Pihak berwenang akhirnya menganggap keluhan Lhamo sebagai masalah yang serius.
Tetapi tindakan polisi nampaknya sudah terlambat bagi Lhamo.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)