Perangkap Asmara 3 Korban Warga Jepang Dijerat Narkoba, Keterlibatan Oknum Polisi Indonesia?
Tsutsumotase merupakan jenis pemerasan atau penipuan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan secara kolusi.
Editor:
Johnson Simanjuntak
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Tsutsumotase atau perangkap asmara kepada warga Jepang di Indonesia diberitakan media Jepang Daily Shincho kemarin (24/10/2021) mulai bermunculan di Indonesia.
Bukan hanya perangkap asmara, wanita meninggalkan narkoba di kamar asmara hotel.
Setelah wanita ke luar kamar, oknum polisi menjebak mencari dan menemukan narkoba di ruangan kamar tersebut, memeras warga Jepang itu.
"Saat ini, di Indonesia, ada serangkaian kasus di mana pria Jepang ditangkap karena memiliki narkotika secara ilegal, terutama di ibu kota Jakarta. Tapi mereka adalah korban dari Tsutsumotase," tulis Tomohiko Otsuka pada Daily Shincho kemarin (24/10/2021).
Tsutsumotase merupakan jenis pemerasan atau penipuan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan secara kolusi.
Pancingan sengaja seorang istri mengundang seorang pria yang menjadi umpan untuk melakukan perzinahan, dan sang suami muncul selama atau segera setelah tindakan itu selesai, menyalahkan hubungan dengan istri dan mengancam uang.
Setidaknya tiga orang dirugikan dalam enam bulan hingga akhir September 2021, tambah Otsuka.
Menurut informasi yang mengalir di antara penduduk Jepang, caranya adalah sebagai berikut.
Setelah dapat wanita dari bar atau karaoke di Blok-M, mereka check-in di hotel berdua, seorang wanita "berbelanja sedikit" lalu meninggalkan kamar sambil berkata, "Ada yang ketinggalan di mobil mau ambil dulu."
Pria Jepang yang tersisa bersemangat dengan harapan mereka dan menunggu para wanita kembali.
"Pria Jepang tidak menyadari bahwa wanita itu meninggalkan dompetnya di kamar. Kemudian pintu kamar diketuk, dan pria tak dikenal yang mengaku sebagai polisi masuk. "Kami sedang menyelidiki dengan informasi tentang kepemilikan narkoba." Mereka menemukan obat di tas tangan wanita yang tertinggal di kamar berisi narkoba."
Wanita sudah kabur tak diketahui ke mana arahnya. Tinggallah pria menyadari adanya kesalahan tersebut.
Setelah itu, petugas polisi berkata menjelaskan dan pria Jepang menjawab, "Saya tidak ingin diekspos" dan "Saya tidak ingin diketahui oleh perusahaan dan keluarga," dan merekomendasikan penyelesaian.
"Pengacara yang diperkenalkan oleh petugas polisi untuk melanjutkan negosiasi penyelesaian juga merupakan pengacara nakal (akutoku bengoshi). Ini adalah permainan yang ditujukan untuk uang penyelesaian. Mungkin sulit untuk percaya dalam pengertian Jepang bahwa polisi akan bertindak secara ilegal sebagai seorang guru. Tapi di Indonesia, itu bukan hal yang aneh. Petugas polisi, yang gajinya rendah dan sulit hidup tanpa pekerjaan paruh waktu, melakukan "pekerjaan sampingan" seperti memimpin penjaga malam gedung, seorang penjaga pribadi, dan mobil VIP dengan mobil polisi atau sepeda motor polisi. Dan pekerjaan seperti itu terkadang ilegal. Tidak ada keraguan bahwa petugas polisi yang mengincar emas juga bekerja sama dalam metode ini," tulis Otsuka lagi.
Pria dalam kasus ini diberitahu oleh seorang pengacara bahwa dia akan bernegosiasi dengan polisi sehingga dia bisa dibebaskan pada hari yang sama jika dia menyiapkan 5 juta yen dalam yen Jepang, dan dia mengatakan dia membayar tunai langsung.
"Belum lagi kuitansi, tidak ada catatan yang ditinggalkan polisi. Tidak ada cara untuk memverifikasi identitas petugas polisi dan pengacara."
Pertama-tama, bahkan sebagai korban, dia peduli dengan dunia dan tidak ingin mengajukan kasus.
Kasus lainnya lewat aplikasi kencan, korban akhirnya membayar 8 juta yen sebagai biaya penyelesaian.
"Dalam beberapa kasus, dia dengan tegas menolak penyelesaian, mengklaim bahwa obat itu ditinggalkan oleh wanita itu, bukan miliknya. Pria itu didakwa dengan kepemilikan obat-obatan terlarang dan akhirnya dijatuhi hukuman penjara dan dipenjara."
Pada titik ini, sangat mungkin bahwa bahkan hakim telah menjadi seorang guru.
"Di Indonesia, keputusannya "tergantung uang". Tersangka kaya telah dengan murah hati menginvestasikan uang untuk membeli pembebasan, sementara hakim yang tidak menerima suap ini telah diancam dan dalam beberapa kasus dibunuh," tulis Otsuka lagi.
Contoh di atas tidak boleh dipenjara jika itu adalah persidangan yang mengikuti prosedur yang benar.
"Tidak ada keraguan bahwa baik pengacara dan jaksa telah berbicara satu sama lain sebelum persidangan, dan masing-masing memiliki bagian. Tentu saja, tidak ada bukti untuk membuktikan bahwa itu adalah seorang guru. Dia bukan seorang amatir yang meninggalkan petunjuk seperti itu. Tidak ada seorang pun di media lokal yang benar-benar mengejarnya. Inilah realita Indonesia," tulis Otsuka lebih lanjut.