Sesosok Pria Membelot dari Korea Selatan ke Korea Utara, Diduga Dulunya Pesenam Asal Korut
Heboh aksi seseorang melintasi perbatasan Korea Selatan menuju Korea Utara.
TRIBUNNEWS.COM - Heboh aksi seseorang melintasi perbatasan Korea Selatan menuju Korea Utara.
Dilansir Reuters dari laporan Yonhap, diduga orang tersebut sebelumnya adalah warga dari Kim Jong Un yang membelot ke Selatan.
Kepala Staf Gabungan Korea Selatan (JCS) mengatakan, pihaknya sudah melakukan operasi pencarian setelah mendeteksi orang tersebut pada Sabtu lalu.
Orang misterius itu terdeteksi saat berada di sisi timur Zona Demiliterisasi (DMZ) yang memisahkan kedua Korea.
"Pihak berwenang menganggap orang itu adalah pembelot Korea Utara dan sedang dalam proses memverifikasi fakta terkait," kata kementerian, menurut Yonhap.
Baca juga: Peristiwa Langka, Warga Korea Selatan Membelot ke Korea Utara
Baca juga: Tentara Korea Utara Wajib Menjaga Kim Jong Un Meski Nyawa Taruhannya

Si pembelot ini, diduga berjenis kelamin laki-laki.
Yonhap melaporkan, pria itu menggunakan pengalamannya sebagai pesenam untuk melintasi pagar perbatasan dan membelot ke Korea Selatan pada 2020 silam.
Sama seperti kali ini, pria itu juga melintasi area DMZ untuk masuk Korsel.
Penyeberangan perbatasan itu, terjadi saat Korea Utara memberlakukan pembatasan Covid-19 yang ketat sejak menutup perbatasannya di awal 2020.
Kim Jong Un memutuskan menutup negaranya walaupun belum mengonfirmasi adanya kasus infeksi Covid-19.
Meski ribuan warga Korea Utara berhasil membelot dan menetap di Selatan, cara kabur dengan melintasi zona DMZ cenderung jarang terjadi.
Sebagian besar pembelot Korea Utara memilih melewati China.
Di sisi lain, pembelot dari Korea Selatan ke Korea Utara lebih langka lagi.
Hanya segelintir orang yang tercatat dalam beberapa tahun terakhir.
Sebelumnya, Kepala Staf Gabungan (JCS) diketahui mendeteksi orang tersebut sekira pukul 21.20 waktu setempat pada Sabtu.
"Kami telah mengkonfirmasi bahwa orang tersebut melintasi perbatasan Garis Demarkasi Militer sekitar pukul 22:40 (1340 GMT) dan membelot ke Utara," kata JCS.
JCS belum bisa memastikan apakah orang itu masih hidup.
Namun pihaknya telah mengirim hotline militer ke Korea Utara untuk meminta perlindungan.
Melintasi perbatasan antar Korea adalah hal yang dilarang di Korsel.
Pada 2020 lalu, dua Korea dihebohkan dengan insiden pasukan Kim Jong Un menembak mati seorang pejabat perikanan Korsel yang hilang di laut pada September.
Situasi politik sempat memanas, namun akhirnya Pyongyang minta maaf.
Dua bulan sebelumnya, pemimpin Korea Utara Kim Jong Un mengumumkan keadaan darurat nasional dan menutup kota perbatasan setelah seorang pembelot Korea Utara yang katanya memiliki gejala Covid-19 secara ilegal melintasi perbatasan ke Utara dari Selatan.
Kim Jong Un Bahas Krisis Makanan di Negaranya
Pemimpin Tertinggi Korea Utara, Kim Jong Un mengakhiri tahun 2021 dengan berpidato soal pembangunan ekonomi hingga seragam sekolah, alih-alih membahas nuklir atau Amerika Serikat.
Demikian dilaporkan Reuters, menurut ringkasan media pemerintah Korea Utara pada Sabtu (1/1/2022).
Di tahun 2022, kata Kim Jong Un, Korea Utara akan mulai membangun ekonomi dan meningkatkan kehidupan masyarakat yang akan menghadapi "perjuangan hidup dan mati yang hebat".
Pidato ini disampaikan Kim di akhir Rapat Pleno ke-4 Komite Sentral ke-8 Partai Pekerja Korea (WPK), pada Jumat (31/12/2021).

Baca juga: Kim Jong Un Sambut Tahun Baru, Bicara Krisis Pangan dan Kondisi Ekonomi
Baca juga: Korea Utara Gelar Rapat Paripurna, Tandai 10 Tahun Berkuasanya Kim Jong Un
Padahal di hari-hari mendekati tahun baru sebelumnya, Kim selalu mengumumkan kebijakan utamanya termasuk membahas hubungan dengan Korea Selatan dan AS.
Namun menurut ringkasan pidato yang diterbitkan media pemerintah Korut pada akhir tahun 2021 ini, Kim Jong Un tidak menyebutkan AS secara spesifik.
Pidato itu hanya menuliskan adanya diskusi soal hubungan antar-Korea dan "urusan luar".
Pidato Kim menyambut 2022 ini didominasi masalah domestik dari rencana pembangunan pedesaan hingga pola makan masyarakat, seragam sekolah, dan kebutuhan untuk menindak "praktik non-sosialis."
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)