Konflik Rusia Vs Ukraina
PM Inggris Boris Johnson akan Telepon Putin untuk Hentikan Invasi Rusia ke Ukraina
Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson berencana telepon Presiden Rusia Vladimir Putin untuk menghentikan invansi ke Rusia.
TRIBUNNEWS.COM - Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson berencana menghubungi Presiden Vladimir Putin melalui telepon sebagai upaya menghentikan invasi Rusia ke Ukraina.
Bahkan, Boris Johnson akan dijadwalkan melakukan kunjungan ke Ukraina secara langsung.
Hal ini disampaikan oleh seorang juru bicara pemerintah Inggris kepada The Independent pada Jumat (28/1/2022).
Ia menyebut perdana menteri akan mengunjungi Ukraina dalam beberapa hari mendatang, meski ketegangan akan potensi invasi ke Ukraina terus meningkat.
"Perdana Menteri bertekad untuk mempercepat upaya diplomatik dan meningkatkan pencegahan untuk menghindari pertumpahan darah di Eropa," kata sang juru bicara, dikutip Tribunnews dari The Hill.
"PM Johnson akan mengatakan perlunya Rusia untuk mundur dan terlibat secara diplomatis ketika berbicara dengan Presiden Putin minggu ini," tambahnya.
Diketahui, kini Rusia telah mengumpukan sekitar 100.000 tentara di dekat perbatasan Ukraina.
Rusia juga telah mengancam akan melakukan tindakan jika tuntutan untuk tidak memasukkan Ukraina ke dalam aliansi keamanan NATO tidak dipenuhi.

Sementara, Presiden AS Joe Biden mengatakan akan mengirim sebagian kecil pasukan AS ke Eropa Timur di tengah meningkatnya potensi invasi pada Jumat (28/1/2022).
Menurutnya, sebanyak 8.500 tentara militer AS dikerahkan dalam siaga tinggi untuk mencegah invansi.
Menurut laporan The Independent, pemerintah Inggris akan mempertimbangkan berbagai opsi untuk mencegah invasi Rusia.
Termasuk pemberian sanksi dan memperkuat pertahanan NATO.
PM Johnson selama ini meyakini invasi Rusia akan menjadi "bencana bagi dunia".
Invasi juga akan melahirkan hal yang menyakitkan, penuh kekerasan, dan pertumpahan berdarah.
Namun, Johnson mengatakan, dia masih percaya bahwa invasi dapat dihentikan.
"Saya tidak berpikir invansi tidak bisa dihindari saat ini."
"Tapi saya pikir itu masih bisa dicegah," katanya kepada BBC, pada Senin.
Baca juga: Presiden AS Joe Biden Ancam Sanksi Pribadi Terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin Terkait Ukraina
Baca juga: Ketegangan Rusia-Ukraina Berlanjut, PM Inggris Boris Johnson Peringatkan Vladimir Putin
PM Inggris Sempat Telepon Putin pada Desember 2021
Sebelumnya diberitakan Tribunnews.com, Perdana Menteri Inggris sempat memperingatkan Vladimir Putin bahwa akan ada "konsekuensi signifikan" jika Rusia menginvasi Ukraina pada Desember lalu.
Dilansir Sky News, Boris Johnson berbicara dengan Putin melalui telepon pada hari Senin (13/12/2021) untuk menekankan komitmen Inggris ke Ukraina.
Johnson memberi tahu sang presiden bahwa setiap tindakan destabilisasi di kawasan Ukraina oleh Moskow akan menjadi "kesalahan strategis".
Para pemimpin barat saat ini tengah berusaha membujuk Kremlin untuk mundur atas penumpukan pasukan Rusia di Ukraina.
Seorang juru bicara Nomor 10 mengatakan:
"Perdana menteri menegaskan kembali pentingnya bekerja melalui saluran diplomatik untuk mengurangi ketegangan dan mengidentifikasi solusi yang berkepanjangan."
Baca juga: Presiden Rusia Vladimir Putin Mengaku Pernah Jadi Sopir Taksi setelah Jatuhnya Uni Soviet

"Perdana menteri menekankan komitmen Inggris untuk integritas teritorial dan kedaulatan Ukraina dan memperingatkan bahwa setiap tindakan destabilisasi akan menjadi kesalahan strategis yang akan memiliki konsekuensi signifikan."
Akankah ketegangan mengarah pada perang?
Pada 12 Desember, pertemuan para menteri luar negeri G7 di Liverpool mengeluarkan pernyataan yang mengingatkan Moskow bahwa "setiap penggunaan kekuatan untuk mengubah perbatasan sangat dilarang berdasarkan hukum internasional".
G7 berjanji untuk menerapkan "konsekuensi yang berat" pada Rusia jika Rusia melakukan tindakan terhadap tetangganya.
Pada hari Senin, Uni Eropa mengumumkan bahwa mereka menjatuhkan sanksi pada kontraktor militer Grup Wagner Rusia yang dituduh berusaha mengacaukan Ukraina.
Menurut intelijen AS, Rusia telah mengirim sekitar 70.000 tentara di dekat perbatasan Ukraina.
Rusia juga dicurigai telah mulai merencanakan kemungkinan invasi paling cepat awal tahun depan.

Moskow membantah pihaknya sedang mempersiapkan invasi dan menuduh pemerintah di Kyiv memicu ketegangan di kawasan itu dengan mengerahkan senjata baru.
Rusia dan Ukraina telah bersitegang sejak 2014.
Saat itu pasukan Rusia mencaplok Semenanjung Krimea dan mendukung pemberontakan separatis di Ukraina timur.
Awal Desember lalu, Presiden AS Joe Biden berbicara dengan Putin untuk memperingatkannya tentang "konsekuensi ekonomi yang belum pernah dilihat" jika Rusia melakukan serangan baru.
Presiden Rusia kemudian mendesak adanya jaminan bahwa NATO tidak akan diperluas untuk memasukkan Ukraina.
Rusia yang diduga mencoba menginvasi Ukraina dianggap sebagai langkah Kremlin untuk membangun kembali Uni Soviet.
Putin pun pernah mengungkapkan kekecewaannya atas runtuhnya Uni Soviet.
Ia mengatakan kejadian itu masih menjadi "tragedi" bagi "sebagian besar warga negara."
Berakhirnya Uni Soviet membawa serta periode ketidakstabilan ekonomi yang parah yang menjerumuskan jutaan orang ke dalam kemiskinan, ketika Rusia yang baru merdeka berevolusi dari komunisme ke kapitalisme.
Sang presiden pun sempat menjadi sopir taksi untuk memenuhi kebutuhan hidup, ungkap kantor berita milik negara RIA Novosti pada hari Minggu (12/12/2021).

Dilansir DW, dalam sebuah film dokumenter, RIA-Novosti mengutip kata-kata pemimpin Rusia tersebut yang menyebut, "Kadang-kadang saya harus mendapatkan uang tambahan."
"Maksud saya, mendapatkan uang tambahan dengan mobil, sebagai sopir pribadi."
"Tidak menyenangkan untuk berbicara jujur, tetapi sayangnya, itulah masalahnya."
Putin menyebut runtuhnya Uni Soviet berarti akhir dari "Rusia historis."
Dilansir Britannica, Uni Republik Sosialis Soviet (U.S.S.R.), atau Uni Soviet, adalah negara pertama yang membentuk pemerintahan berdasarkan sistem yang dikenal sebagai Komunisme.
Uni Soviet hanya ada dari tahun 1922 hingga 1991.
Namun, untuk sebagian besar waktu itu, Uni Soviet disebut-sebut sebagai salah satu negara paling kuat di dunia.
(Tribunnews.com/Maliana/Tiara Shelavie)